Translate

Mengatasi Sengketa Tanah Sesuai Syariah


Ini saya ambil dari BULETIN AL-ISLAM EDISI 358
dan dari blog syariah islam , saya akan mengabungkan semuanya semoga ini bisa bermanfaat yang sedang terlibat masalah sengeketa tanah
Pekan-pekan terakhir ini, sejumlah media menjadikan kasus penembakan warga Desa Alastelogo di Pasuruan Jawa Timur oleh pasukan Marinir sebagai headline(berita utama). Sebagaimana
diberitakan, penembakan yang berujung pada tewasnya 4 orang warga dan 8 orang luka-luka itu dipicu oleh persoalan sengketa tanah. Sengketa tanah ini sudah berlangsung sejak tahun 1998. Berdasarkan informasi dari Dinas Informasi dan Komunikasi Pemprov Jatim, sengketa tanah itu bermula ketika pada tahun 1960 TNI AL membeli tanah di Grati Pasuruan seluas 3.569 hektar. Pembayaran tanah dan penggantian bangunan diselesaikan tahun 1963. Upaya-upaya penyelesaian sertifikasi tanah yang dilaksanakan Lantamal III Surabaya sejak 20 Januari 1986 dapat terealisasi oleh BPN pada tahun 1993 dengan terbitnya sertifikat sebanyak 14 bidang dengan luas 3.676 hektar. Meski demikian, di lapangan masih ditemukan penduduk yang belum melaksanakan pindah dari tanah yang telah dibebaskan oleh TNI AL. Lalu pada 30 Mei 2007 lalu, pecahlah bentrokan antara Marinir dengan warga setempat. (Detik.com, 30/05/07).
Sebelumnya, persoalan di seputar sengketa tanah yang nyaris menimbulkan bentrokan berdarah juga terjadi di Meruya Selatan Jakarta Barat. Sengketa terjadi antara PT Porta Nigra dan warga Meruya Selatan. Dalam sengketa ini, Porta Nigra mengajukan bukti berupa 104 girik. Porta Nigra kemudian mengajukan kasasi ke MA dan memenangi perkara ini tahun 2001. Ketika Porta Nigra menang, ternyata telah terbit setidaknya 6.426 sertifikat milik warga dalam kurun waktu 1995-2000. (Republika.co.id, 23/05/2007).
Terkait dengan banyak mencuatnya kasus sengketa tanah ini, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto mengatakan, bahwa terdapat sedikitnya terdapat 2.810 kasus sengketa tanah skala nasional. Kasus sengketa tanah yang berjumlah 2.810 kasus itu tersebar di seluruh indonesia dalam skala besar. Yang bersekala kecil, jumlahnya lebih besar lagi, katanya. (Antara.co.id, 22/05/07).

Akar Masalah Sengketa Tanah
Melihat berbagai kasus di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa setidaknya ada 3 (tiga) faktor yang menyebabkan mengapa masalah sengkata tanah tersebut sering mencuat ke permukaan. Pertama: Sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang tidak beres. Adanya sertifikat kepemilikan tanah ganda, misalnya, adalah salah satu dampaknya. Masalah ini muncul boleh jadi karena sistem administrasi yang lemah dan mungkin pula karena banyaknya oknum yang pandai memainkan celah-celah hukum yang lemah. Dalam kasus sengkata tanah di Meruya Selatan, misalnya, hal itu diakui oleh anggota Komisi II Anhar Nasution. Dia menyatakan, ada dugaan kasus ini muncul ketika Pemda DKI mengalihkan aset tanahnya seluas 301 hektar di daerah itu. Namun, pengalihan aset itu tidak dilakukan secara tertib sehingga terjadi penggelapan data dan informasi. Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Priyo Budi Santoso menduga, kesimpangsiuran kepemilikan lahan tersebut disebabkan adanya “kongkalingkong” oknum Pemda, aparat BPN, dan pihak lain. (Republika.co.id, 23/05/2007).
Kedua: Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi pemilikan tanah ini—baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian—telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan, tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil-alih oleh para pemodal dengan harga murah. Di Pulau Jawa saja dalam kurun waktu tiga tahun (1991–1993) lahan sawah produktif yang beralih fungsi seluas 57.987,50 ha, 16.452,30 ha untuk perumahan dan industri, 5.210,20 ha untuk perusahaan/perkebunan, dan 26.774,20 ha untuk peruntukan lainnya di luar sektor pertanian seperti misalnya, tempat rekreasi elitis, lapangan golf, dan lain-lain. (Firmasnyah, Psdal.lp3es.or.id, Juli-Agustus 1999).
Ketiga: Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Di Jabotabek saja, misalnya, luas lahan yang dikuasai pengembang swasta sejak tahun 1998 mencapai sekitar 100.000 hektar dan 75% di antaranya dibiarkan terlantar. (Indonesia-house.org,14/10/03). Ironisnya, ketika masyarakat miskin mencoba memanfaatkan lahan terlantar tersebut dengan menggarapnya, bahkan ada yang sampai puluhan tahun, dengan gampangnya mereka dikalahkan “hak”-nya di pengadilan tatkala muncul sengketa.
Tidak jarang pula, karena tidak adanya bukti legal-formal atas kepemilikan tanah, banyak warga masyarakat, khususnya masyarakat miskin yang tinggal di kota-kota besar, digusur oleh penguasa. Di DKI Jakarta, misalnya, selama tahun 2002 saja terjadi 26 kasus penggusuran pemukiman: sedikitnya 4.908 rumah dihancurkan dan 18.732 jiwa kehilangan tempat tinggal. Kemudian tahun 2003 terjadi 15 kasus penggusuran pemukiman: sedikitnya 7.280 KK kehilangan tempat tinggal. (Sumber: diolah kembali dari hasil investigasi Institut Sosial Jakarta [ISJ], Forum Warga Kota Jakarta [FAKTA], dan pemberitaan media massa ibukota 2001 – 2003).
Di sisi lain, statistik menunjukkan, semasa 1960-2002 terjadi distribusi 885.000 hektar tanah bagi petani, tetapi tidak lebih dari 2 persen total luas tanah pertanian. Tanah seluas itu dibagikan kepada 1,3 juta jiwa keluarga petani, yang hanya tujuh persen dari total jumlah rumah tangga di sektor pertanian. Rata-rata yang diredistribusi hanya mencapai 25.000 bidang tanah per tahun. (Gabriel Triwibawa,Bpn.go.id, 31/10/2006). Bandingkan dengan penggundulan hutan dalam industri kayu oleh segelintir konglomerat yang mencapai luas enam kali lapangan bola permenit! Hanya dalam kurun waktu 50 tahun, hutan alam Indonesia mengalami penurunan luas sebesar 64 juta hektar (55%), terutama karena penebangan oleh sejumlah perusahaan besar pemilik HPH.

Solusi Islam
Dari akar persoalan di atas, syariah Islam setidaknya memberikan 4 (empat) solusi mendasar. Pertama: Kebijakan menghidupkan tanah mati (ihyâ’ al-mawât). Dalam hal ini, syariah Islam mengizinkan siapa saja yang memiliki kemampuan untuk menghidupkan tanah-tanah yang mati (tidak produktif) dengan cara mengelola/menggarapnya, yakni dengan menanaminya. Setiap tanah yang mati, jika dihidupkan/digarap oleh orang, adalah milik orang yang bersangkutan. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw. berikut:
«مَنْ أَعْمَرَ أَرْضًا لَيْسَتْ ِلأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ»
Siapa saja yang telah mengelola sebidang tanah, yang bukan milik orang lain, maka dialah yang paling berhak(HR al-Bukhari).
«مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَهُ»
Siapa saja yang memagari sebidang tanah (kosong) dengan pagar, maka tanah itu menjadi miliknya. (HR Abu Dawud).
«مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ»
Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya(HR al-Bukhari).
Hadis ini berlaku mutlak bagi siapa saja, baik Muslim ataupun non-Muslim. Hadis ini menjadi dalil bagi kebolehan (mubah) bagi siapa saja untuk menghidupkan/memagari tanah mati tanpa perlu izin kepala negara (khalifah). Alasannya, karena perkara-perkara yang mubah memang tidak memerlukan izin khalifah. (An-Nabhani, 1990: 138).
Kedua: Kebijakan membatasi masa berlaku legalitas kepemilikan tanah, dalam hal ini tanah pertanian, yang tidak produktif alias ditelantarkan oleh pemiliknya, selama 3 (tiga) tahun. Ketetapan ini didasarkan pada kebijakan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. yang disepakati (ijmak) oleh para Sahabat Nabi saw. Beliau menyatakan:
«لَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ حَقٌ بَعْدَ ثَلاَثِ سَنَوَاتٍ»
Orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagarinya itu) setelah (menelantarkannya) selama tiga tahun.
Dengan ketentuan ini, setiap orang tidak bisa seenaknya memagari tanah sekaligus mengklaimnya secara sepihak, sementara dia sendiri telah menelantarkannya lebih dari tiga tahun. Artinya, setelah ditelantarkan lebih dari tiga tahun, orang lain berhak atas tanah tersebut.
Ketiga: Kebijakan Negara memberikan tanah secara cuma-cuma kepada masyarakat (iqthâ‘ ad-dawlah). Hal ini didasarkan pada af‘âl (perbuatan) Rasulullah saw., sebagaimana yang pernah Beliau lakukan ketika berada di Madinah. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin sepeninggal Beliau (An-Nabhani, 1990: 120). Pemberian cuma-cuma dari negara ini berbeda faktanya dengan menghidupkan tanah mati. Perbedaannya, menghidupkan tanah mati memang berhubungan dengan tanah mati, yang tidak dimiliki seseorang dan tidak ada bekas-bekas apapun (pagar, tanaman, pengelolaan dll) sebelumnya. Adapun pemberian tanah secara cuma-cuma oleh negara tidak terkait dengan tanah mati, namun terkait dengan tanah yang pernah dimikili/dikelola oleh seseorang sebelumnya yang—karena alasan-alasan tertentu; seperti penelantaran oleh pemiliknya—diambilalih oleh negara, lalu diberikan kepada siapa saja yang membutuhkannya.
Keempat: Kebijakan subsidi Negara. Setiap orang yang telah memiliki/menguasai tanah akan dipaksa oleh negara (khalifah) untuk mengelola/menggarap tanahnya, tidak boleh membiarkannya. Jika mereka tidak punya modal untuk mengelola/menggarapnya, maka negara akan memberikan subsidi kepada mereka. Kebijakan ini pernah ditempuh oleh Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. Beliau pernah memberikan dana dari Baitul Mal (Kas Negara) secara cuma-cuma kepada petani Irak, yang memungkinkan mereka bisa menggarap tanah pertanian serta memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Pendek kata, tidak ada cara lain bagi kaum Muslim saat ini selain bersegera untuk menerapkan syariah Islam secara total, termasuk menyangkut pertanahan, dan mengangkat seorang khalifah yang akan menjadi pelaksananya. Hanya dengan itulah, problem sengketa tanah, termasuk problem-problem lainnya, akan dapat diselesaikan secara tuntas; sesuatu yang—selama puluhan tahun—gagal diselesaikan oleh sistem hukum sekular saat ini, yang terbukti bobrok! Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb[]


JANGAN LUPA FOLOW @IslamMotivator dan @KeajaibanSholat , dan jika ingin berkonsul bisa mention twitter saya @FebrianMaulanaP


wslam wr. wb 




0 komentar:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...