Persoalan perbedaan tentang terdapatnya seorang tokoh yang bernama Haman antara Al-Qur’an dan alkitab bisa kita temukan dalam ayat-ayat ini :
Al-Qur’an :Dan berkata Fir’aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta”. (Al-Qasas: 38)
Dan berkatalah Fir’aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (Ghaafir: 36)
Alkitab :
Ester 3:1 Sesudah peristiwa-peristiwa ini maka Haman bin Hamedata, orang Agag, dikaruniailah kebesaran oleh raja Ahasyweros, dan pangkatnya dinaikkan serta kedudukannya ditetapkan di atas semua pembesar yang ada di hadapan baginda.
Perbedaan yang sangat bertentangan tentang tokoh ini adalah, kalau Al-Qur’an menyatakan Haman merupakan salah seorang pejabat penting di istana Fir’aun, maka Alkitab menyebut tokoh ini merupakan pejabat penting di kerajaan Persia. Perbedaan ini pada mulanya dijadikan ‘bahan ejekan’ oleh pihak Kristen dengan menyatakan Al-Qur’an sudah salah mencatat fakta sejarah karena berbeda dengan alkitab, dengan suatu alasan bahwa alkitab sudah ditulis jauh lebih awal dibandingkan Al-Qur’an, maka yang ditulis belakangan jelas mengandung cacat sejarah dan telah mengalami penyimpangan.
Namun temuan arkeologis ternyata mengungkapkan fakta sebaliknya. Sejarah Mesir kuno merupakan salah satu dari sedikit kisah-kisah jaman dahulu yang berhasil diungkapkan secara lengkap serta detail, dan didukung dengan adanya prasasti-prasasti tertulis. Saat ini kita bisa memperoleh dengan mudah hasil temuan tersebut melalui internet berupa foto-foto tulisan Hieroglyph dan hasil terjemahan yang dibuat oleh para ahli. Pada salah satu prasasti tersebut tercatat dan tertulis nama Haman, sebagai salah satu tokoh penting di Mesir dengan kedudukan berada dibawah Fir’aun. Fakta ini sangat sulit untuk dibantah, sebaliknya sampai saat ini tidak ada sedikitpun temuan sejarah dan arkeologis yang ditemukan tentang keberadaan tokoh ini dalam istana Raja Persia : Ahasyweros (Xerxes). Mensikapi hal ini, pihak Kristen yang biasanya saya temui dalam diskusi lintas agama memiliki kesamaan sikap, yaitu berkelit dengan menyatakan : kemungkinan perbedaan ini menunjukkan adanya 2 tokoh yang berbeda dengan nama yang sama. Tuduhan yang menyatakan Al-Qur’an telah salah mencatat sejarah karena berbeda dengan alkitab mulai menghilang. Dalam hal ini kita sebenarnya tidak punya kepentingan dengan pembuktian keberadaan Haman di Persia melalui fakta arkeologis dan sejarah, itu semata-mata menjadi urusan orang Kristen sendiri. Biarlah mereka yang berkutat dengan kebenaran kitab suci mereka, benar atau salah juga merupakan tanggungan mereka sendiri.
Pembuktikan sejarah dan arkeologis tentang kebenaran pernyataan Al-Qur’an tentang nama Haman yang berada di Mesir bisa anda temukan dalam tulisan disini :
http://id.wikipedia.org/wiki/Haman_%28Al-Qur%27an%29
http://www.islamic-awareness.org/Quran/Contrad/External/haman.html
Berikut ini tulisan dari buku : Sejarah Bangsa Israel, dalam Bibel dan Al-Qur’an, Sebuah Penelitian Islamiv Archaeology. Penulis : Dr. Louay Fatoohi/Prof Shetha Al-Dargazelli
Salah satu perbedaan penting antara penjelasan Al-Qur’an dengan Bibel tentang konflik antara Musa dan Fir’aun adalah disebutkannya dalam Al-Qur’an figur penting di istana Fir’aun, Haman. Tokoh ini membantu Fir’aun dalam pengambilan keputusan melawan misi Musa. Haman disebut enam kali dalam Al-Qur’an. Salah satu ayat menyebutkannya secara sepintas (QS 29:39), bersamaan dengan penyebutan sejumlah individu dan kaum yang dihancurkan Allah, dan menekankan bahwa dia tenggelam bersama Fir’aun. Berikut ini adalah 3 bagian dalam Al-Qur’an yang menunjukkan pentingnya kedudukan figur ini di istana Fir’aun :
[28:2] Ini adalah ayat-ayat Kitab (Al Qur’an) yang nyata (dari Allah). [28:3] Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman. [28:4] Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. [28:5] Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi) [28:6] dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir’aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu[28:7] Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul. [28:8] Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.
[40:23] Dan sesungguhnya telah Kami utus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami dan keterangan yang nyata, [40:24] kepada Fir’aun, Haman dan Qarun; maka mereka berkata: “(Ia) adalah seorang ahli sihir yang pendusta”.[40:25] Maka tatkala Musa datang kepada mereka membawa kebenaran dari sisi Kami mereka berkata: “Bunuhlah anak-anak orang-orang yang beriman bersama dengan dia dan biarkanlah hidup wanita-wanita mereka”. Dan tipu daya orang-orang kafir itu tak lain hanyalah sia-sia (belaka).
Bibel tidak mengenal figur berpengaruh semacam itu di istana Fir’aun, baik dengan nama Haman atau lainnya. Terlepas dari Fir’aun sendiri, tidak ada karakter Mesir terkemuka dalam penjelasan Bibel tentang eksodus. Namun, ada seseorang yang penting bernama Haman tertera dalam kitab Ester, yang kisahnya diduga terjadi di Persia berabad-abad setelah eksodus. Dalam kitab Ester, kita membaca bahwa orang-orang Yahudi setelah pengasingan Babilonia berada dibawah kekuasaan Ahasyweros, raja Persia dan Media. Suatu saat, raja mempromosikan seseorang bernama Haman ke jabatan Perdana Menteri. Mordekhai, seorang pejabat istana berkebangsaanYahudi, tanpa alasan yang jelas menolak menunduk di hadapan Perdana Menteri baru. Hal ini membuat Haman marah dan kemudian dia berusaha membalas dendam dengan berencana menghancurkan orang-orang Yahudi di kerajaan Persia. Akan tetapi dengan bantuan Ester, sepupu Mordekhai dan istri Ahasyweros, rencana itu gagal dan Mordekhai bersama saudara-saudara Yahudi-nya menang atas Haman yang akhirnya dihukum mati dengan ditancap pada tiang tinggi. Inilah secara singkat beberapa peristiwa penting dalam kisah Ester.
Sejumlah sarjana barat yang mengikuti pandangan umum bahwa Al-Qur’an adalah versi Bibel yang diedit secara bebas, menyatakan bahwa munculnya Haman dalam kisah Musa dan Fir’aun versi Al-Qur’an diakibatkan oleh pembacaan yang keliru atas Bibel, sehingga Haman ‘dipindahkan’ dari istana raja Persia, Ahasyweros, ke istana Mesir. Salah satu contoh pandangan ini ditemukan dalam ‘The Encyclopedia of Islam’ yang – sembari menuduh Nabi Muhammad SAW menulis Al-Qur’an dengan mengambil bahan-bahan dari Bibel – menyatakan dalam entry ‘Haman’ : nama orang yang dikait-kaitkan Al-Qur’an dengan Fir’aun, disebabkan oleh kerancuan yang masih tak terjelaskan dengan menteri Ahasyweros yang disebutkan kitab Ester dalam Bibel (EI 1971 : hal 110). Ini merupakan pengulangan pernyataan bahwa kisah Al-Qur’an tentang Fir’aun dan Haman adalah modifikasi dari narasi kitab Keluaran yang ‘kekeliruan menempatkan kisah dalam kitab Ester dan kisah menara Babel’. Paling banter ‘The Encyclopedia of Islam’ – nama yang ironis jika kita melihat isinya – ketika mengakui beberapa perbedaan penjelasan Al-Qur’an dari Bibel, berpendapat bahwa, “Dalam beberapa penjelasan Al-Qur’an, dapat dideteksi sejumlah unsur non-Biblikal” (EI 1965 : hal 917).
Pernyataan tersebut, dan pernyataan-pernyataan serupa yang diberikan para orientalis , didasarkan pada misrepresentasi dan kesalah-pahaman; misrepresentasi nilai historis kitab Ester dalam Bibel, dan Bibel secara umum, dan kesalah-pahaman terhadap Al-Qur’an secara umum. Mari kita bahas yang pertama terlebih dahulu. Klaim bahwa penjelasan Al-Qur’an tentang Haman mencerminkan kerancuan dengan kisah Ester dalam Bibel mengisyaratkan anggapan bahwa setiap penyebutan tentang Haman pasti berasal dari narasi Bibel. Asumsi ini sendiri mengimplikasikan entah apakah Haman adalah figur ahistoris yang tidak pernah ada diluar Bibel atau jika dia historis, dia pastilah Perdana Menteri raja Persia, Ahasyweros, sebagaimana digambarkan dalam kitab Ester. Kemungkinan pertama akan dibahas dibawah ketika etimologi Haman dibicarakan. Adapun yang kedua, jelas asumsi ini meniadakan kemungkinan bahwa kesalahan terletak pada informasi Bibel tentang Haman historis, yang merupakan figur berpengaruh dalam istana Fir’aun, seperti yang digambarkan Al-Qur’an. Namun, mengesampingkan kemungkinan ini sama sekali tidak logis karena adanya fakta yang diketahui secara umum, bahwa disamping klaim-klaim historis yang tidak dapat dibuktikan, Bibel penuh dengan data historis yang salah. Salah satu aspek kekacauan sejarah dalam Bibel adalah penempatan karakter dalam periode dan tempat historis yang salah. Misalnya Redford melihat secara kritis bahwa Fir’aun Sabtekha (697-690 SM) muncul dalam daftar bangsa-bangsa (Kejadian 10:7) sebagai suku Nubia (Redford 1992: hal 256). Karena itu, pertanyaannya adalah : apakah ada alasan untuk menyatakan bahwa Haman dalam kitab Ester – bukan Haman dalam Al-Qur’an – adalah kasus lain kekeliruan peletakan karakter dalam Bibel..??
Para peneliti menegaskan bahwa ‘Ahasyweros’ bisa jadi ejaan Ibrani untuk sebuah nama Persia yang diterjemahkan oleh orang-orang Yunani menjadi Xerxes (486-465SM). Akan tetapi, sampai sekarang tidak bisa dilakukan identifikasi historis atas nama Haman atau tokoh-tokoh lain dalam kitab Ester, termasuk Ester sendiri yang menjadi nama kitab tersebut. Kisah dalam kitab Ester juga mengandung informasi yang diketahui salah, seperti pernyataan bahwa Persia terbagi menjadi 127 propinsi atau ‘satrapy’ (kegubernuran), padahal sumber historis lainnya hanya menyebutkan tidak lebih dari 30. Para ahli sepakat bahwa kitab Ester mengandung masalah historis yang masif dan sungguh tidak pantas disebut sebagai sebuah buku historis. Buku tersebut sangat ahistoris sehingga salah satu study mutakhir menyimpulkan bahwa ‘kitab Ester sebaiknya dipandang sebagai novel sejarah masa kerajaan Persia’. Pandangan ini diterima oleh kebanyakan sarjana. Buku ini begitu jauh dari sejarah faktual sehingga study di atas menyatakan bahwa ‘menyesatkan jika kita menerjemahkan Ahasyweros dengan Xerxes’, karena hal ini mengisyaratkan adanya korelasi dengan tokoh yang kita ketahui dari sumber-sumber Yunani. Sebaliknya, tampaknya pengarang meminjam nama Xerxes, tetapi hanya sedikit fakta lain tentang dirinya dalam penyusunan novel ini (Levenson 1997:hal 25).
Oleh karena itu jelaslah bahwa tidak ada bukti apapun yang menunjukkan bahwa penyebutan Haman dalam Al-Qur’an pada suatu periode historis yang berbeda dengan penyebutannya dalam kitab Ester disebabkan oleh kesalahan pembacaan Bibel, sebagaimana diklaim oleh sejumlah orientalis. Klaim inilah – dengan menyatakan bahwa penjelasan kitab Ester adalah ahistoris – yang mestinya ditunding memberikan gambaran sejarah yang membingungkan.
Sekarang, mari kita bahas etimologi kata ‘Haman’. Pernyataan bahwa Haman dalam Al-Qur’an sama dengan Haman dalam Bibel mencerminkan kesalah-pahaman mutlak terhadap etimologi kata ‘Haman’. Nama ini dengan mudah dapat dikaitkan dengan nama dewa Mesir ‘Amun’. Karena itu, nama ini adalah kata Mesir dan bukan Persia seperti yang dinyatakan dalam kitab Ester. Dengan kata lain, Bibel-lah yang salah menempatkan Haman, sebagaimana akan dijelaskan lebih jauh nanti.
Berdasarkan korelasi yang nyata antara ‘Haman’ dengan ‘Amun’, Syed (1984) mengemukakan bahwa Haman dalam Al-Qur’an adalah ‘gelar’ seseorang, bukan nama. Dia berpendapat bahwa seperti halnya Fir’aun yang merupakan gelar dan bukan nama seseorang, demikian pula ‘Haman’. Syed menegaskan bahwa ‘Haman’ adalah gelar ‘pendeta tinggi Amun’. Diantara bukti-bukti dalam makalah Syed kita menemukan sebagai berikut :
“Penyebaran penyembahan terhadap Amen dianggap berhubungan dengan asalnya, yaitu daerah-daerah oase. Tampaknya tidak ada alasan untuk mempertanyakan bahwa penyembahan oase primitif terhadap Ammon atau Hammon adalah asal muasal dewa Amen atau Amun pada bangsa Mesir dan Baal Haman pada bangsa Carthage” (Petre 1924 : hal 21).
Dengan mengutip fakta bahwa para pendeta Mesir sering mempersonifikasikan dewa, Syed menyatakan bahwa :”Amon atau Haman adalah gelar umum bagi para pendeta tinggi ketika mempersonifikasikan dewa Amon”. (Syed 1984 : hal 87). Tentang pengaruh posisi ‘Haman’ atau ‘Pendeta tinggi Amun’ di Mesir, Syed menyatakan berikut :
“Jadi, ‘nabi pertama’atau pendeta tinggi Amun adalah sekaligus ‘Pengawas Agung Pekerjaan’. Dalam kapasitas ini, dia diharapkan mengawasi pekerjaan bangunan luas terkait dengan kuil, dan memberikan kemegahan dalam altarnya. Sebagai ‘Panglima Tentara Dewa’ dia mengepalai kekuatan militer kuil, seperti Uskup besar pada abad pertengahan. Sebagai ‘Pengurus Perbendaharaan Negara’, dia harus mengontrol administrasi keuangan yang sama sekali tidak mudah. Otoritasnya juga tidak hanya mencakup kuil Amon dan para pendetanya. Dia juga adalah ‘Pemuka Nabi-nabi Dewa Thebes’ dan ‘Pemuka nabi-nabi segala dewa di selatan maupun utara’. Artinya, semua pendeta di negeri ini berada di bawah otoritasnya dan dialah otoritas spiritual tertinggi kerajaan”. (Steindorff 1905 : hal 96-97).
Identifikasi Syed tentang Haman sebagai ‘pendeta tertinggi Amun’ bisa jadi benar. Meskipun dewa Re dan Ptah juga dipuja selama pemerintahan Ramses II, Amun-lah yang memiliki supremasi atas dewa-dewa lain. Karena itu, keunggulan Amun juga memberi pendeta tertinggi Amun posisi penting di Mesir. Ayat Al-Qur’an yang disebutkan diatas menggambarkan Haman sebagai seseorang yang memiliki otoritas sangat tinggi di istana Fir’aun. Penjelasan Al-Qur’an tentang konfrontasi antara Musa dengan Fir’aun tidak menyebutkan nama pembantu Fir’aun selain Haman. Lalu, seberapa jauh pernyataan ini sejalan dengan apa yang kita ketahui tentang hierarki kekuasaan di Mesir Kuno..??
Menurut Kitchen, jabatan yang dekat dengan Fir’aun adalah para gubernur selatan dan utara, biasanya Thebes dan Memfis. Kitchen menunjukkan bahwa posisi pendeta tinggi suatu dewa tidak disandang seseorang yang menjadi pendeta melalui pendidikan, tetapi sering kali diberikan kepada seorang guberur atau orang terhormat lainnya saat dia purna tugas sebagai penghormatan atasnya, meskipun kadang-kadang tugas itu diemban seorang pangeran (Kitchen 1982 : hal 158). Jika pandangan ini diterapkan pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Ramses II, maka pendeta tinggi setiap dewa, termasuk Amun, tidaklah harus figur yang sangat berpengaruh di bawah Fir’aun, meskipun tetap memiliki kekuasaan besar. Peran yang dimainkan Haman dalam upaya Fir’aun menghambat misi Musa, seperti digambarkan dalam Al-Qur’an, menunjukkan bahwa Haman memiliki otoritas tinggi, tetapi tidak niscaya menggambarkannya sebagai seorang berkedudukan paling tinggi di istana Fir’aun. Dan mungkin sangat menonjol dalam peristiwa-peristiwa itu karena sifat peristiwa-peristiwa itu, yaitu suatu konfrontasi keagamaan. Sebagai pendeta tinggi dari dewa utama kerajaan, pendeta tinggi Amun haruslah diajak bermusyawarah tentang ancaman yang ditimbulkan agama baru ini. Nasihatnya jauh lebih penting ketimbang nasehat pejabat lain di istana Fir’aun, termasuk gubernur selatan dan utara. Sebagai fakta pendukung, harus ditegaskan bahwa misi Musa tidak menimbulkan ancaman militer langsung terhadap Fir’aun, tetapi terutama berupa ancaman keagamaan. Memang Fir’aun tidak membiarkan Bani Israel pergi ke Kanaan karena khawatir mereka akan menggabungkan kekuatan dengan orang-orag Semit yang ambisius dan kembali ke Mesir untuk kembali merebut dengan kekuatan militer Pi-Raamses, ibu kota kuno orang-orang Hyksos. Bahaya ini dengan mudah dapat dicegah dengan menghalangi Bani Israel meninggalkan Mesir, seperti yang dilakukan Ramses II. Akan tetapi, disisi lain, semakin lama Musa tinggal di Mesir – dan dia tidak akan meninggalkan Mesir tanpa kaumnya – semakin besar bahaya yang ditimbulkannya terhadap agama Mesir. Jadi, masalah langsung yang dihadapi Fir’aun adalah ancaman keagamaan dari Musa, sehingga sosok Haman sangat dibutuhkan sebagai penasehat utama Fir’aun.
Faktor penting yang menyebabkan Fir’aun dan anggota istananya menganggap misi Musa sebagai suatu ancaman serius terhadap agama mereka adalah waktu kemunculannya, yaitu hanya 120 – 130 tahun setelah penindasan dan penyembahan dewa Amun itu oleh Amenhotep IV (1350-1334 SM). Fir’aun yang mengubah namanya menjadi Akhenaten (hamba Aten) ini melarang penyembahan terhadap Amun dan menutup kuilnya, menggantikannya dengan bulatan matahari, lambang Aten. Fir’aun yang radikal ini bahkan berpindah ke ibu kota baru yang disebut Akhetaten dan , tidak seperti kota-kota kuno lainnya, tidak didedikasikan kepada dewa terdahulu manapun. Sebenarnya, Seti I dan putranya Ramses II, yang memulihkan Amun sebagai dewa kerajaan. Misi Musa tentulah membangkitkan kembali semua memori itu dan memaksa Fir’aun meminta nasehat dari pendeta tinggi Amun.
[40:26] Dan berkata Fir’aun (kepada pembesar-pembesarnya): “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi”.
[20:63] Mereka berkata: “Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kamu yang utama.
Identifikasi Syed tentang Haman sebagai pendeta tertinggi Amun sejalan dengan penjelasan Al-Qur’an dan pada saat yang sama tidak bertentangan dengan pengetahuan mutakhir tentang Mesir masa Ramses II. Namun, identifikasi secara umum ini baru dapat dipastikan setelah orang yang disebut Al-Qur’an dengan Haman itu teridentifikasi secara tegas.
Pada QS 28:2-8 seperti yang dikutip diatas harus dicatat bahwa ayat-ayat tersebut tidak menunjukkan dengan pasti bahwa Haman yang menasehati Fir’aun dalam konfrontasinya dengan Musa, telah hadir pada saat kelahiran Musa. Dua penyebutan Haman dalam QS 28:6-8 merujuk kepada peristiwa diseputar pengutusan Musa. Ini didukung oleh pengamatan bahwa penyebutan Haman setelah Fir’aun dalam kedua kasus tersebut berkaitan dengan penyebutan ‘tentara mereka’. Jelasnya, tentara yang disebutkan ini adalah yang tengelam dilaut dan tidak mungkin tentara Fir’aun saat kelahiran Musa. Konflik terakhir antara Musa dan Fir’aun beserta tentaranya, seperti telah kita lihat, setidak-tidaknya berlangsung empat dekade setelah kelahiran Musa. Waktu itu, kebanyakan tentara Fir’aun pada masa kelahiran Musa telah mati dan tidak lagi mengabdi. Dalam ayat-ayat tersebut, Allah menyebut peristiwa dilaut itu setelah pembunuhan anak-anak Israel untuk menekankan bahwa pembunuhan tersebut tidak menghalangi-Nya membalas Fir’aun dan Haman beserta tentara mereka pada waktu terkemudian melalui tangan orang yang ingin dibunuh Fir’aun ketika masih bayi. Jadi QS 28 : 6-8 berbicara tentang Haman selama pemukiman kedua Musa di Mesir. Pengamatan ini penting jika kita perupaya menentukan identitas Haman yang turut serta dalam upaya Fir’aun melawan Musa, karena hal ini mengisyaratkan bahwa Haman menduduki posisi ini setidak-tidaknya sejak Musa kembali ke Mesir hingga eksodus, suatu periode sepanjang beberapa tahun, namun tidak ada bukti bahwa dia menduduki posisi itu sejak masa kelahiran Musa.
Namun kesimpulan ini mungkin memunculkan pertanyaan berikut : Jika Haman dan tentaranya – meskipun disebutkan dalam ayat-ayat yang terdapat di tengah-tengah ayat-ayat tentang kelahiran Musa – adalah orang-orang masa terkemudian, mengapa Fir’aun tidak bisa dianggap juga termasuk generasi terkemudian..??. Dengan kata lain, mengapa kita tidak berasumsi bahwa Fir’aun masa eksodus berbeda dengan Fir’aun yang berkuasa pada masa kelahiran Musa..?. Jawaban terhadap pertanyaan ini sebenarnya sangat mudah : Al-Qur’an telah menyatakan secara eksplisit dalam QS 28 :4 bahwa Fir’aun yang disebutkan pada ayat 6 dan 8 adalah Fir’aun yang sama yang membunuh bayi-bayi lelaki Israel.
Dua penyebutan tentang Haman dalam Al-Qur’an terdapat dalam ayat-ayat berikut :
[28:38] Dan berkata Fir’aun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta”.
[40:36] Dan berkatalah Fir’aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, [40:37] (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”. Demikianlah dijadikan Fir’aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian..
Ayat-ayat tersebut mengungkapkan sejumlah fakta penting. Pertama, ada penyebutan eksplisit tentang penggunaan tanah liat yang dibakar sebagai bahan bangunan. Hal ini dibuktikan oleh literatur Mesir kuno. Kedua, fakta bahwa menara tersebut dibangun dari tanah liat menunjukkan bahwa bangunan ini tidak dimaksudkan sebagai kuil, karena kuil biasanya dibangun dari batu. Ketiga, ayat-ayat tersebut menggambarkan Haman sebagai seseorang yang bertugas menjalankan proyek bangunan. Jika tidak, Fir’aun akan memerintahkan pembuatan bangunan itu kepada orang lain. Keempat, perintah pembangunan oleh Fir’aun merupakan reaksi yang sangat sesuai dari seorang Fir’aun yang obsesinya terhadap bangunan melebihi Fir’aun lainnya. Kelima, gagasan Fir’aun bahwa dirinya bisa membuktikan kebenaran klaim Musa tentang Allah dengan naik ke langit melalui sebuah menara sejalan dengan konsep Mesir tentang ‘tangga menjulang ke langit yang semula merupakan unsur agama matahari’, seperti ditegaskan oleh Breasted (1912 : hal 153) dan dikutip oleh Syed (1984). Syed juga mengutip penegasan Petrie terhadap ‘menyebar-luasnya gagasan keagamaan tentang keinginan manusia naik menuju dewa di langit (Petrie 1924 : 84).
Pembahasan dalam bagian ini telah menunjukkan bahwa, berlawanan dengan klaim sejumlah sarjana Bibel dan orientalis, Haman yang disebut dalam kisah Al-Qur’an tentang konfrontasi Musa dan Fir’aun tidaklah sama dengan Haman yang disebutkan dalam cerita Ester. Bagian ini juga telah menunjukkan bahwa informasi yang terkait dengan penyebutan Haman dalam Al-Qur’an sangat sesuai dengan praktek dan konsep yang ada di Mesir pada masa Fir’aun secara umum dan masa Ramses II secara khusus. Akan tetapi, historisitas Haman yang disebut dalam Al-Qur’an dan fakta bahwa dia adalah figur yang sangat berpengaruh yang berperan penting dalam perseteruan Fir’aun dengan Musa memunculkan pertanyaan tak terelakkan tentang ketiadaan penyebutan figur ini dalam kitab Keluaran. Namun, fakta bahwa ada seorang Haman ahistoris dalam kitab Ester memberikan jawaban terhadap pertanyaan ini. Awalnya, kisah eksodus dalam Taurat pasti menyebut Haman sebagai pembantu Fir’aun yang menentang Musa, persis seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an. Akan tetapi para pengarang Perjanjian Lama salah menempatkan Haman – yang nama atau gelarnya diambil dari dewa Mesir, Amun – dalam konteks ahistoris yang sangat berbeda. Fakta bahwa Haman jelas-jelas adalah nama Mesir bukanlah sekedar indikasi kebingungan para penyusun Bibel. Namun ada fakta lain, yaitu bahwa Haman ahistoris dalam kisah Ester digambarkan sebagai perdana menteri, yakni figur kedua di Persia setelah raja, persis seperti peran Haman historis dalam konfrontasi Ramses II dengan Musa. Disamping itu persekongkolan Haman ahistoris Persia untuk menghabisi orang-orang Yahudi di kerajaan Persia sebagai balasan terhadap penolakan Mordekhai untuk menghormati – sebuah reaksi yang tidak dijelaskan Bibel – tampaknya merupakan perubahan dari versi asli yang menyatakan bahwa Haman turut campur dengan menyarankan dan melaksanakan pembantaian kedua atas bayi-bayi lelaki Israel yang baru lahir untuk menakut-nakuti Bani Israel dan mencegah mereka mengikuti Musa.
Allahualam.. tapi kita mempercayai alquran..
ReplyDelete