TUJUAN HIDUP MANUSIA DALAM PANDANGAN AJARAN AHMADIYAHTUJUAN HIDUP MANUSIA DALAM PANDANGAN AJARAN AHMADIYAHTUJUAN HIDUP MANUSIA DALAM PANDANGAN AJARAN AHMADIYAHTUJUAN HIDUP MANUSIA DALAM PANDANGAN AJARAN AHMADIYAHTUJUAN HIDUP MANUSIA DALAM PANDANGAN AJARAN AHMADIYAH
Masalah Ketiga
APA TUJUAN SEBENARNYA MANUSIA HIDUP DI DUNIA DAN BAGAIMANA DAPAT MENCAPAINYA ?
Jawaban terhadap masalah ini adalah, manusia dengan berbagai macam pembawaan alaminya, karena pengetahuan yang dangkal serta kemampuan yang terbatas, menetapkan berbagai tujuan bagi hidupnya. Dan mereka berjalan hanya sampai pada tujuan dan cita-cita duniawi belaka, lalu berhenti. Akan tetapi tujuan yang ditetapkan Allah Ta’ala di dalam Kalam Suci-Nya adalah sebagai berikut:
Yakni, Aku telah menciptakan jin dan manusia agar mereka mengenal‑Ku dan menyembah‑Ku (51:57). Jadi, menurut ayat ini tujuan sebenarnya hidup manusia adalah untuk menyembah Allah Ta’ala dan meraih makrifat Allah Ta’ala serta menjadi milik Allah Ta’ala. Jelas bahwa manusia tidak memperoleh kedudukan untuk -- dengan ikhtiarnya -- menetapkan sendiri tujuan hidupnya. Sebab, manusia bukan atas kemauannya sendiri datang dan bukan pula atas kemauannya sendiri akan kembali. Melainkan dia hanyalah makhluk (hasil ciptaan). Sedangkan Wujud yang telah menciptakan serta telah menganugerahkan kemampuan yang cemerlang dan lebih tinggi kepadanya dibandingkan dengan seluruh hewan, Dia itu jugalah yang telah menetapkan suatu tujuan hidup baginya. Tidak perduli apakah manusia mengerti atau tidak mengerti tujuan itu. Akan tetapi tujuan penciptaan manusia tidak diragukan lagi yaitu untuk menyembah Tuhan dan meraih makrifat Allah Ta’ala serta menjadi fana di dalam Allah Ta’ala. Sebagai-mana Allah Ta’ala berfirman di satu tempat lain di dalam Alquran Suci:
Yakni, agama yang di dalamnya terdapat makrifat yang benar tentang Tuhan dan penyembahan terhadap-Nya dalam bentuk yang terbaik, adalah Islam (3:20). Dan Islam telah ditanamkan dalam fitrat manusia. Dan Allah Ta’ala telah menciptakan manusia dalam keadaan Islam serta telah menciptakannya untuk Islam (30:31). Yakni, Dia telah menghendaki agar manusia dengan segala kemampuannya terus-menerus menyembah, menaati, dan men-cintai Tuhan. Itulah sebabnya Sang Maha Kuasa dan Maha Mulia telah menganugerahkan kepada manusia seluruh kemampuan yang selaras dengan Islam.
Rincian ayat‑ayat ini sangat luas dan kami dalam kadar tertentu telah juga menuliskannya pada bagian ketiga Masalah Pertama. Akan tetapi saat ini kami hanya ingin menzahirkan secara ringkas bahwa segala organ bagian dalam dan luar yang telah dianugerahkan kepada manusia, atau segala kemampuan yang telah diberikan, tujuan sebenarnya dari semua itu ialah untuk mendapatkan makrifat Ilahi dan menyembah Allah serta mencintai Allah Ta’ala. Itulah sebabnya manusia di dunia setelah tenggelam dalam ribuan kesibukan, mereka tetap saja tidak menemukan kebahagiaan sejati dalam suatu apa pun, kecuali pada Allah Ta’ala. Setelah menjadi hartawan, setelah memperoleh kedudukan tinggi, setelah menjadi saudagar besar, setelah mencapai tahta kerajaan besar, setelah dijuluki filsuf besar, akhirnya ia pergi dengan hasrat-hasrat besar karena belenggu-belenggu duniawi itu. Dan kalbunya senantiasa mengecamnya karena tenggelam dalam dunia. Hati nuraninya tidak pernah menyetujui tindakan-tindakannya yang licik, penuh tipu muslihat, dan curang. Seorang manusia bijak dapat juga memahami masalah ini dengan cara demikian: tugas-tugas paling tinggi yang dapat dilakukan oleh kemampuan-kemampuan suatu benda, lalu lebih dari itu kemampuan-kemampuan tersebut terhenti, maka tugas paling tinggi itu dianggap sebagai tujuan penciptaan benda tersebut. Misalnya, tugas paling tinggi seekor lembu jantan ialah membajak tanah atau menimba air sumur untuk pengairan atau menarik pedati. Lebih dari itu ia tidak mempunyai kemampuan lainnya. Jadi, tujuan hidup lembu jantan adalah ketiga tugas tersebut. Lebih dari itu di dalam dirinya tidak ada kemampuan lain. Akan tetapi apabila kita mengukur kemampuan-kemampuan manusia -- yaitu kemampuan apa yang paling tinggi terdapat di dalam dirinya -- maka yang terbukti adalah padanya terdapat pencarian terhadap Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Besar. Sampai-sampai manusia berkeinginan untuk melebur dan tenggelam di dalam kecintaan Tuhan sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi yang tersisa miliknya, semua telah menjadi milik Tuhan. Dalam hal makan dan tidur serta hal-hal alami lainnya, manusia menyerupai hewan-hewan lain. Dalam bidang keterampilan, sebagian hewan sangat jauh melebihi manusia. Bahkan lebah-lebah madu mengambil sari dari setiap bunga lalu menghasilkan madu murni yang sampai sekarang tidak berhasil dibuat oleh manusia. Jadi, jelaslah bahwa kelebihan paling tinggi yang dimiliki manusia yaitu perjumpaan dengan Allah Ta’ala. Oleh karena itu tujuan sebenarnya hidup manusia ialah agar terbuka jendela hatinya ke arah Allah Ta’ala.
Sarana-sarana untuk Mencapai Tujuan Hidup Manusia
Ya, jika yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa dan bagaimana tujuan itu dapat dicapai serta dengan sarana-sarana apa manusia dapat meraihnya, maka hendaknya jelas bahwa sarana paling besar yang dipersyaratkan untuk mencapai tujuan itu adalah: mengenali Allah Ta’ala secara benar dan mengimani Tuhan Yang Hakiki. Sebab, jika langkah pertama saja sudah salah, dan seseorang misalnya menjadikan burung atau hewan atau unsur-unsur zat atau anak manusia sebagai tuhan, maka bagaimana mungkin dapat diharapkan bahwa pada langkah-langkah berikutnya dia akan menempuh jalan yang lurus. Tuhan Yang Hakiki memberikan pertolongan kepada orang‑orang yang mencari-Nya. Akan tetapi bagaimana mungkin benda mati dapat memberikan pertolongan kepada sesuatu yang mati? Dalam hal ini Allah swt. memberikan tamsil yang indah, yaitu:
Yakni, Dia-lah Tuhan Hakiki yang pantas dimintai do’a, yang berkuasa atas tiap sesuatu. Dan orang-orang yang berseru kepada wujud‑wujud selain Dia, wujud-wujud itu sedikit pun tidak dapat menjawab mereka. Keadaan mereka seperti orang yang sambil membuka telapak tangannya ke air lalu berkata, “Hai air datanglah ke mulutku!” Apakah air itu akan datang ke mulutnya? Sekali-kali tidak! Jadi, barangsiapa tidak mengenal Tuhan Yang Hakiki, maka segala do’a mereka menjadi sia-sia (13:15).
Sarana kedua ialah mendapatkan gambaran jelas tentang kejuitaan ( ) serta keindahan yang lengkap lagi sempurna di dalam Wujud Allah Ta’ala. Sebab, kejuitaan adalah sesuatu yang secara alami menawan hati dan dengan menyaksikannya akan timbul kecintaan secara alami. Ada pun kejuitaan Allah Ta’ala itu terletak pada keesaan‑Nya, kebesaran‑Nya, kemuliaan‑Nya, dan sifat‑sifat‑Nya. Sebagaimana berkata Alquran Suci:
Yakni, Tuhan adalah Esa dalam Dzat‑Nya, sifat‑sifat‑Nya dan kegagahan‑Nya. Tak ada sesuatu yang bersekutu dengan Dia. Segala sesuatu bergantung pada Dia. Tiap zarah menerima anugerah hidup dari Dia. Dia sumber karunia bagi segala sesuatu dan Dia tidak menerima karunia dari suatu apa pun. Dia bukan anak seseorang dan bukan pula bapak seseorang. Bagaimana mungkin! Sebab tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia (112:2‑5). Alquran telah menarik perhatian orang‑orang dengan berkali-kali mengemukakan kesempurnaan dan keagungan Tuhan, “Lihatlah, Tuhan seperti itu adalah Wujud yang menarik minat, dan bukan wujud yang mati, lemah, tidak memiliki kasih sayang maupun kekuasaan.”
Sarana ketiga untuk mencapai tujuan sebenarnya yang merupakan tangga kedua ialah, mengenal ihsan Tuhan (kebaikan yang lebih, dari Tuhan). Karena, pendorong rasa cinta itu hanya terdiri dari dua hal, yaitu: kejuitaan ( ) dan ihsan ( ). Sedangkan ringkasan sifat-sifat ihsan Allah Ta’ala terdapat di dalam Surah Al‑Fatihah. Sebagaimana Dia berfirman:
Sebab, jelaslah bahwa ihsan yang sempurna terletak pada kenyataan bahwa Allah Ta’ala menciptakan hamba-hamba‑Nya dari tiada, dan kemudian sifat rabbu biyyat (pemelihara dan penjaga) senantiasa menaungi mereka, dan Dia sendiri yang merupakan penunjang bagi segala sesuatu, serta segala macam rahmat-Nya diwujudkan bagi hamba‑hamba‑Nya, dan ihsan‑Nya tak terbatas sehingga tidak ada yang dapat menghitungnya. Jadi, Allah Ta’ala telah berulangkali menjelaskan tentang ihsan-ihsan‑ Nya yang demikian, sebagaimana pada tempat lain Dia berfirman:
Yakni, jika kamu ingin menghitung nikmat‑nikmat Allah Ta’ala, maka kamu sekali‑kali tidak akan dapat menghitungnya (14:35).
Sarana keempat yang telah ditetapkan oleh Allah untuk mencapai tujuan sebenarnya ialah do’a. Sebagaimana Dia berfirman:
Yakni, kamu berdo’alah, Aku akan kabulkan (40:61). Dan berulang-kali Dia menarik minat untuk berdo’a supaya manusia bukan karena kekuatannya sendiri, melainkan dengan kekuatan Tuhan meraih sesuatu.
Sarana kelima yang telah ditetapkan Allah Ta’ala untuk mencapai tujuan sebenarnya ialah mujahadah. Yakni, mencari Allah Ta’ala dengan cara membelanjakan harta di jalan-Nya; dengan cara menyalurkan kemampuan-kemampuan di jalan Allah Ta’ala; dengan cara mengorbankan jiwa pada jalan Allah, dan dengan cara mengerahkan akal pikiran di jalan Allah. Sebagaimana Dia berfirman:
Yakni, belanjakan harta-bendamu, jiwamu, dan dirimu beserta segenap kemampuannya pada jalan Allah (9:41). Dan apa pun yang telah Kami anugerahkan kepada kamu -- berupa akal, ilmu, pemahaman, keahlian dan sebagainya -- kerahkanlah semuanya di jalan Allah (2:4). Orang-orang yang berusaha dengan segala cara pada jalan Kami, Kami selalu menunjukkan jalan Kami pada mereka (29:70).
Sarana keenam untuk mencapai tujuan sebenarnya yang telah Dia jelaskan ialah istiqamah. Yakni, di jalan ini tidak bosan, tidak putus-asa, tidak lelah, dan tidak gentar menghadapi cobaan. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
Yakni, orang‑orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah dan kami sudah menjauhkan diri dari tuhan‑tuhan palsu,” kemudian mereka istiqamah, yakni tetap teguh dalam menghadapi berbagai-macam cobaan dan musibah, maka malaikat‑malaikat turun kepada mereka sambil berkata, “Janganlah kamu takut dan jangan pula bersedih hati, dan bergembira serta bersuka-rialah. Sebab, kamu telah menjadi pewaris kebahagiaan yang telah dijanjikan kepadamu. Kami adalah sahabatmu di dalam kehidupan dunia ini dan di akhirat” (41:31,32). Ayat ini mengisyaratkan bahwa dengan istiqamah manusia memperoleh keridhaan Allah Ta’ala. Benarlah bahwa istiqamah lebih unggul dari keajaiban. Istiqamah yang sempurna ialah: ketika bala musibah mengepung dari segala penjuru, dan di jalan Allah nyawa, kehormatan dan harga diri dihadapkan kepada bahaya; sementara tidak terdapat sesuatu yang menghibur, sampai-sampai Tuhan pun dengan tujuan hendak menguji, menutup pintu kasyaf atau mimpi atau ilham yang membesarkan hati, lalu membiarkan dalam keadaan-keadaan takut yang mengerikan; pada saat itu tidak memperlihatkan sikap penakut dan tidak mundur ke belakang bagai para pengecut, serta tidak memperlihatkan suatu perubahan apa pun pada sifat kesetiaan, tidak mencemari ketulusan dan ketabahan, rela terhadap kenistaan, pasrah terhadap maut, dan untuk mengokohkan langkah tidak menunggu-nunggu seorang kawan agar dia memberikan pertolongan, tidak menuntut turunnya khabar-khabar suka dari Tuhan sebab masa yang genting, dan walaupun tidak berdaya serta lemah serta tidak memperoleh sesuatu yang menghibur sekali pun, tetap saja berdiri tegak, dan merebahkan leher ke depan seraya mengatakan, “Apa yang akan terjadi biarlah terjadi,” dan tidak mengecam keputusan takdir, serta sama-sekali tidak memperlihatkan kegelisahan dan keluh-kesah sampai selesainya saat cobaan itu. Inilah istiqamah yang karenanya terjadi perjumpaan dengan Allah. Inilah hal yang menyebabkan sampai sekarang masih menimbulkan aroma wangi dari tanah (kubur) para rasul, para nabi, para shiddiq dan para syahid. Ke arah inilah Allah Ta’ala memberikan isyarat dalam do’a berikut:
Yakni, wahai Allah Ta’ala kami, tunjukilah kami jalan istiqamah. Yaitu jalan yang di atasnya diperoleh nikmat‑nikmat dan kemuliaan, dan Engkau meridhainya (1: 6,7). Dan pada tempat lain Allah Ta’ala mengisyaratkan kepada hal itu juga:
Wahai Tuhan, dalam menghadapi musibah, turunkanlah kepada hati kami perasaan tenteram yang karenanya timbul kesabaran, dan semoga kematian kami ada dalam Islam (7:127). Hendaklah diketahui bahwa pada waktu penderitaan dan musibah datang, Allah Ta’ala menurunkan suatu nur atas hati hamba‑ hamba kesayangan-Nya sehingga mereka mendapat kekuatan lalu menghadapi musibah dengan sangat tenang. Dan karena lezatnya iman, mereka menciumi rantai yang membelenggu kaki‑kaki mereka di jalan-Nya. Apabila bala-musibah turun kepada orang yang berTuhan dan tanda-tanda maut sudah zahir, maka dia tidak akan mulai bertengkar dengan Tuhan-nya Yang Maha Mulia supaya dia diselamatkan dari bala-bencana tersebut. Sebab, bersikeras mendesak minta keselamatan pada saat demikian berarti melawan Allah Ta’ala dan bertentangan dengan penyerahan diri secara sempurna. Bahkan dengan turunnya bencana, seorang pencinta sejati melangkahkan kaki lebih maju ke depan. Dan pada saat demikian dia menganggap jiwanya tidak berharga serta mengucapkan selamat tinggal kepada kecintaan terhadap jiwanya lalu dia sepenuhnya mengikuti kehendak Tuhan‑nya, dan menginginkan keridhaan‑Nya. Mengenai hal itu Allah swt. berfirman:
Yakni, hamba kesayangan Tuhan memberikan jiwanya di jalan Allah, dan sebagai imbalannya dia menerima keridhaan Allah Ta’ala. Itulah orang-orang yang memperoleh rahmat istimewa dari Allah Ta’ala (2:208). Ringkasnya, yang telah diuraikan ini adalah ruh istiqamah yang karenanya dapat berjumpa dengan Tuhan. Barangsiapa yang mau memahami, pahamilah.
Sarana ketujuh untuk mencapai tujuan sebenarnya ialah bergaul dengan orang‑orang saleh dan memperhatikan tauladan-tauladan sempurna mereka. Jadi, hendaknya diketahui bahwa salah satu sebab perlunya para nabi ialah, manusia secara alami memerlukan tauladan yang sempurna. Dan tauladan yang sempurna meningkatkan gairah serta membangkitkan semangat. Sedangkan orang yang tidak mengikuti tauladan akan menjadi malas dan sesat. Ke arah inilah Allah swt. mengisyaratkan di dalam ayat berikut:
Yakni, bergaullah kamu dengan orang-orang saleh (9:119). Pelajarilah jalan orang‑orang sebelum kamu yang telah mendapat karunia (1:7).
Sarana kedelapan adalah kasyaf suci, ilham suci, dan mimpi-mimpi suci dari Allah Ta’ala. Dikarenakan menempuh jalan menuju kepada Allah Ta’ala merupakan suatu jalan yang sangat pelik dan dipenuhi oleh berbagai macam musibah serta penderitaan, dan mungkin saja manusia tersesat di jalan yang tidak nampak itu, atau dicekam rasa putus-asa sehingga enggan meneruskan langkahnya ke depan, oleh karena itu rahmat Ilahi menghendaki agar di dalam perjalanan tersebut Dia terus-menerus menghiburnya dan membesarkan hatinya serta terus-menerus mengukuhkan semangat dan meningkatkan gairahnya. Jadi, demikianlah sunnah Allah yang berlaku terhadap orang-orang yang menempuh jalan-Nya. Yaitu, dari waktu ke waktu Dia menghibur mereka dengan kalam dan ilham‑Nya, dan Dia menzahirkan kepada mereka bahwa, “Aku ada bersama kamu.” Barulah mereka memperoleh kekuatan, kemudian dengan sangat cepat menempuh jalan tersebut. Berkenaan dengan itu Dia berfirman:
Demikian pula banyak lagi sarana lain yang telah diterangkan oleh Alquran Suci, akan tetapi sayang sekali kami tidak dapat memaparkannya, karena khawatir terlalu panjang.
0 komentar:
Post a Comment