Translate

DOSA DALAM HUKUM AHMADIYAH


Masalah Keempat

Karma yakni apa dampak amal perbuatan di dunia dan di akhirat ?

Jawaban permasalahan ini adalah apa yang telah kami terangkan sebelumnya, yaitu peranan syariat yang benar dan sempurna dari Allah Ta’ala pada hati manusia di dalam kehidupan mereka di dunia ini ialah: merubahnya dari keadaan seperti binatang menjadi manusia, kemudian dari manusia menjadikannya manusia berakhlak, lalu dari manusia berakhlak menjadikannya manusia berTuhan. Dan lagi, satu fungsi syariat praktis dalam kehidupan di dunia ini adalah, dengan mematuhi syariat yang benar, pengaruh orang yang demikian terhadap umat manusia ialah: dia mengenali hak-hak mereka tahap demi tahap; dia menggunakan kemampuan-kemampuan adil, ihsan, dan solidaritas sesuai tempatnya masing-masing; apa pun yang telah diberikan Tuhan kepadanya berupa ilmu, makrifat, harta benda dan kebahagiaan-kebahagiaan, dia mengikut-sertakan semua orang di dalam nikmat-nikmat tersebut sesuai martabat masing-masing. Ia memancarkan seluruh caha­yanya kepada sekalian umat manusia bagaikan matahari. Dan laksana bulan, ia menerima nur dari Wujud Yang Maha Agung lalu menyampaikannya kepada orang-orang lain. Laksana siang, dia terang-benderang menunjukkan jalan-jalan kebaikan dan kebajikan kepada orang-orang. Laksana malam, dia menyelimuti setiap yang lemah dan memberikan ketenteraman kepada orang-orang penat dan letih. Laksana langit, dia memberikan tempat di bawah naungannya kepada setiap orang yang memerlukan dan pada waktu-waktunya dia mencurahkan hujan rahmatnya. Laksana bumi, dengan penuh kerendahan hati, dia menjadi lantai pijakan bagi kebahagiaan-kebahagiaan setiap orang, dan dia menarik semua orang ke dalam curahan kedermawanannya serta menghidangkan aneka ragam buah‑buahan rohani kepada mereka. Jadi, inilah dampak syariat yang sempurna. Yaitu mengantarkan orang yang mematuhi syariat yang sempurna tersebut sampai pada titik kesempurnaan hak Allah dan hak sesama manusia. Ia menjadi hilang sirna dalam Allah dan menjadi pengkhidmat sejati bagi makhluk. Ini adalah dampak syariat praktis pada diri orang itu di dalam kehidupan ini. Akan tetapi dampak yang timbul sesudah kehidupan ini adalah, pada hari itu perjumpaan rohani dengan Tuhan akan nampak olehnya secara nyata. Dan pengkhidmatan terhadap makhluk Allah yang telah dia lakukan atas dasar kecintaan kepada Tuhan -- yang didorong oleh kedambaan akan iman dan amal saleh -- akan nampak dalam bentuk pohon-pohon dan sungai-sungai surga. Firman Allah Ta’ala berkenaan dengan itu ialah:

Yakni, demi matahari dan cahayanya. Dan demi bulan yang meng­ikuti matahari, yakni mendapat sinar dari matahari dan kemudian seperti matahari ia menyampaikan sinarnya kepada benda‑benda lain. Dan demi siang yang memperlihatkan kecemerlangan mata­hari dan menunjukkan jalan. Dan demi malam yang menimbulkan gelap dan menutupi segala sesuatu dengan tirai kegelapannya. Dan demi langit serta tujuan yang menyebabkan ia diciptakan. Dan demi bumi serta tujuan yang menyebabkannya telah dihamparkan seperti lantai semacam ini. Dan demi jiwa serta kesempurnaannya yang telah membuatnya setara dengan segala benda tersebut, yakni kesempurnaan-kesempurnaan yang terdapat secara terpisah pada benda‑benda itu, jiwa manusia sempurna (insan kamil) menghimpun semua itu di dalam dirinya. Dan seperti halnya seluruh benda itu secara masing-masing mengkhidmati umat manusia, seorang manusia sempurna melaksanakan semua tugas itu seorang diri, sebagaimana yang baru saja telah saya tuliskan. Kemudian Dia berfirman: barangsiapa telah mensucikan jiwanya seperti ini -- seperti halnya mata­hari, bulan, bumi, dan sebagainya, yakni ia telah sirna di dalam Allah dan menjadi pengkidmat makhluk Allah -- berarti ia telah mendapat keselamatan dan terhindar dari maut. Hendaknya diingat bahwa yang dimaksud dengan kehidupan adalah kehidupan abadi yang akan diraih oleh manusia sempurna di kemudian hari. Hal ini mengisyaratkan bahwa buah syariat praktis di dalam kehidupan mendatang adalah kehidupan abadi yang akan senantiasa kekal karena makanan berupa curahan pandangan Tuhan. Kemudian Dia telah berfirman, binasalah dan putus-asalah dia dari kehidupan, yakni orang yang telah mencemari jiwanya dan tidak berhasil meraih kesempurnaan‑kesem­purnaan padahal ia telah dianugerahi kemampuan-kemampuan untuk itu, dan pulang setelah menjalani kehidupan yang kotor. Dan kemudian sebagai contoh Dia berfirman, bahwa kisah Tsamud menyerupai kisah orang yang malang itu. Mereka telah melukai unta betina yang dijuluki unta betina Tuhan, dan mereka telah menghalanginya minum air dari sumber mata air mereka. Jadi, pada hakikatnya orang itu telah melukai unta betina Tuhan dan telah membuatnya luput dari mata air tersebut. Hal ini mengisyaratkan bahwa jiwa manusia merupakan unta betina Tuhan yang manusia tunggangi. Yakni, kalbu manusia merupakan tempat penampakkan-penampakkan Ilahiyah. Sedangkan air bagi unta betina tersebut adalah kecintaan dan makrifat Tuhan yang darinya ia hidup. Kemudian difirmankan bahwa ketika kaum Tsamud telah melukai unta betina itu dan menghalanginya dari air minumnya, maka azab pun turun atas mereka. Dan Allah Ta’ala sedikit pun tidak memperdulikan bahwa setelah kematian mereka bagaimana nasib anakanak serta janda‑janda mereka (91:2-16). Jadi, seperti itu pulalah orang yang telah melukai unta betina -- yakni jiwa tersebut -- dan tidak berkeinginan untuk mengantarkannya sampai pada kesempurnaan serta menghalanginya minum air, maka dia pun akan binasa.
Hikmah Sumpah Allah Ta’ala dengan Berbagai Benda

Disini pun hendaknya diingat bahwa sumpah Tuhan dengan matahari, bulan dan lain-lain mengandung rahasia yang dalam sekali sehingga kebanyakan para penentang kami, disebabkan ketidak-tahuan mereka, mengecam: apa perlunya Tuhan bersumpah dan mengapa Dia bersumpah dengan makhluk? Akan tetapi karena pemahaman mereka bersifat ardhi (bumi) dan bukan bersifat samawi (langit), maka mereka tidak dapat memahami hikmah yang bertalian dengan rahasia-rahasia kebenaran. Jadi, hendaknya jelas bahwa tujuan sebenarnya dari persumpahan itu ialah, orang yang bersumpah biasanya ingin mengemukakan kesaksian bagi pernyataannya. Sebab, andaikata bagi suatu pernyataan tidak terdapat kesaksian lain, maka sebagai gantinya manusia akan bersumpah atas nama Allah Ta’ala. Sebab Allah adalah ‘alimul ghaib (mengetahui hal-hal yang gaib) dan merupakan saksi pertama dalam setiap perkara. Seakan-akan orang itu mengemukakan kesaksian Tuhan sedemikian rupa sehingga jika Allah Ta’ala tetap saja diam sesudah sumpah itu dan tidak menurunkan azab atas dirinya, maka berarti Allah telah memberi cap restu terhadap keterangan orang tersebut, seperti halnya para saksi. Oleh karena itu makhluk hendaknya jangan bersumpah dengan nama makhluk lain. Sebab, makhluk bukanlah ‘alimul ghaib dan tidak pula dia berkuasa untuk memberi hukuman atas sumpah palsu. Akan tetapi sumpah Allah di dalam ayat-ayat ini tidak dapat diartikan sama dengan bersumpahnya makhluk. Melainkan ini merupakan sunnatullah (kebiasaan Allah). Yakni, ada dua macam pekerjaan Allah. Pertama, pekerjaan nyata yang dapat dipahami oleh semua orang dan tidak ada seorang pun yang berselisih pendapat mengenainya. Sedangkan yang kedua adalah pekerjaan tidak nyata, yang dunia sering salah paham serta berselisih satu sama lain mengenainya. Jadi, Allah Ta’ala ingin membuktikan pekerjaan-pekerjaan tidak nyata itu di hadapan orang-orang melalui kesaksian dari pekerjaan-pekerjaan nyata.

Jadi sudah jelas bahwa di dalam matahari, bulan, siang-malam, langit dan bumi terdapat khasiat‑khasiat seperti telah kami uraikan. Akan tetapi khasiat‑khasiat semacam itu yang terdapat di dalam jiwa manusia yang memiliki kekuatan berbicara, tidak setiap orang mengenalinya. Maka Allah telah mengemukakan pekerjaan‑pekerjaan­ nyata-Nya sebagai saksi untuk menjelaskan pekerjaan-pekerjaan tidak nyata. Seakan-akan Dia berfirman bahwa jika kamu ragu terhadap khasiat-khasiat yang terdapat di dalam jiwa manusia yang memiliki kekuatan berbicara itu, maka kajilah oleh kamu matahari, bulan dan sebagainya, karena khasiat-khasiat tersebut secara nyata terda­pat di dalam benda-benda itu. Dan kamu mengetahui bahwa manusia merupakan suatu alam kecil (mikro kosmos), yang di dalam jiwanya tertera gambaran seluruh alam secara ringkas. Lalu apabila sudah terbukti bahwa benda-benda besar alam raya (makro kosmos) mengandung khasiat‑khasiat tersebut, dan dengan demikian benda-benda itu memberi faedah kepada makhluk-makhluk, maka manusia yang disebut paling besar dari semua itu dan yang telah diciptakan dengan derajat tinggi, bagaimana mungkin manusia hampa dan luput dari khasiat-khasiat tersebut? Tidak! Bahkan di dalam manusia pun, seperti halnya matahari, terdapat suatu cahaya ilmu dan akal yang dengan perantaraan itu dia dapat menyinari seluruh dunia. Dan bagaikan bulan, dia menerima cahaya kasyaf, ilham dan wahyu dari Wujud Yang Maha Agung, lalu dia memantulkan cahaya tersebut kepada orang‑orang lain yang belum mencapai kesempurnaan manusiawi. Lalu bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa kenabian adalah suatu kebatilan dan seluruh kerasulan, syariat dan kitab-kitab merupa­kan tipu‑daya serta egoisme manusia. Kamu juga menyaksikan bahwa apa dengan terangnya siang seluruh jalan menjadi nampak dan segala lembah serta tebing menjadi kelihatan. Jadi, insan kamil merupakan siang yang memancarkan cahaya rohani. Dengan semakin siang maka setiap jalan menjadi jelas. Ia menunjukkan di mana dan ke mana arah jalan yang benar, sebab dialah cahaya siang bagi hak dan kebenaran. Demikian pula kita menyaksikan bagaimana malam memberi tempat bagi orang-orang letih dan penat. Semua buruh yang sepanjang hari tenaga mereka dikuras habis, dapat tidur dengan lelap di dalam kemurahan hati sang malam dan memperoleh ketenangan setelah bekerja keras. Dan malam pun merupakan tabir penyelubung bagi setiap orang. Demikian pula hamba-hamba kamil Tuhan datang ke dunia untuk memberikan ketenteraman. Orang‑orang yang menerima wahyu dan ilham dari Tuhan, dengan kerja keras memberikan ketenteraman kepada segenap orang bijak. Berkat mereka, rahasia-rahasia besar menjadi terpecahkan dengan mudah. Demikian pula wahyu Ilahi menyelubungi akal manusia, sebagaimana malam menyelubungi. Kekhilafan-kekhilafan kotor manusia tidak akan dibiarkannya zahir kepada dunia. Sebab, orang-orang bijak melakukan perbaikan dari dalam terhadap kekhilafan-kekhilafan mereka setelah memperoleh cahaya wahyu. Dan berkat ilham suci Allah, mereka berhasil menye­lamatkan diri mereka dari terbukanya aib itu. Inilah sebabnya, berbeda dengan Plato, tidak ada seorang filsuf Islam pun yang mempersembahkan ayam sebagai tumbal bagi berhala. Dikarenakan Plato tidak memperoleh cahaya ilham, maka ia telah berbuat kekeliruan dan telah melakukan suatu sikap yang tercela dan bodoh, padahal ia dinamakan filsuf. Akan tetapi berkat mengikuti junjungan kita Rasulullah saw., para cendekiawan Islam telah terpe­lihara dari perbuatan‑perbuatan tercela dan bodoh seperti itu. Kini lihatlah bagaimana telah terbukti, bahwa ilham seperti malam, menyelubungi orang-orang bijak. Ini pun anda sekalian ketahui bahwa hamba‑hamba kamil Allah -- seperti langit -- menarik setiap orang yang menderita ke dalam naungan mereka. Lebih istimewa lagi para nabi dari Dzat Yang Maha Suci itu serta para penerima ilham, pada umumnya seperti halnya langit, mereka mencurahkan hujan berkat. Demikian pula mereka juga memiliki khasiat-khasiat bumi. Dari jiwa mereka yang suci tumbuh pohon-pohon berbagai ilmu yang tinggi, yang dari naungan dan buah serta bunganya, orang-orang memperoleh manfaat. Jadi, hukum kodrat yang terbuka nyata ini yang ada di hadapan mata kita, merupakan suatu saksi bagi hukum yang terselubung itu. Kesaksiannya telah dipaparkan oleh Allah Ta’ala di dalam ayat-ayat tersebut dalam dua bentuk persumpahan. Jadi, lihatlah betapa kalam yang terkan­dung dalam Alquran Suci ini penuh dengan hikmah. Kalam itu keluar dari mulut seorang ummi (yang buta huruf) penghuni gurun pasir. Seandainya ini bukan Kalam Ilahi, maka orang‑orang awam maupun mereka yang disebut terpelajar, sesudah gagal mendalami rahasia ma’rifatnya, pasti tidak akan mencelanya. Sudah merupakan ketentuan bahwa jika seseorang de­ngan pemikirannya yang ringan tidak dapat memahami suatu hal, dari segi apa pun, maka barulah dia menjadikan suatu perkara hikmah sebagai bahan celaan. Dan celaannya itu merupakan saksi bahwa rahasia hikmah tersebut jauh lebih baik dan lebih tinggi dari pemikiran-pemikiran awam. Itulah sebabnya orang-orang yang bijak walaupun dijuluki sebagai orang bijak, tetap saja mencela hal itu. Namun, sekali rahasia ini terbuka, maka setelah itu tidak ada seorang bijak pun yang akan mencelanya, bahkan ia akan mengambil kelezatan dari itu.

Hendaknya diingat bahwa untuk memaparkan kesaksian dari hukum kodrat tentang tradisi wahyu dan ilham yang sudah berlaku semenjak awal, Alquran Suci pada tempat lain pun telah mengambil sumpah semacam itu. Yakni:

Yakni, demi langit yang darinya turun hujan, dan demi bumi yang menumbuhkan bermacam‑macam tumbuhan dari hujan itu, Alquran Suci ini adalah kalam Ilahi dan wahyu‑Nya, yang memutuskan antara hak dan batil, dan bukan merupakan hal yang sia-sia serta percuma. Yakni datang tepat pada waktu­nya. Datang seperti hujan yang turun pada musimnya (86:12‑15).

Kini, Allah Ta’ala telah memaparkan suatu hukum kodrat nyata dalam bentuk sumpah sebagai bukti bagi Alquran Suci yang merupakan wahyu-Nya. Yakni, di dalam hukum kodrat selalu kita lihat dan saksikan bahwa hujan turun dari langit, pada waktu sangat diperlukan. Kehijauan bumi bergantung sepenuhnya pada hujan dari langit. Sekiranya hujan tidak turun dari langit maka lambat-laun sumur‑sumur pun menjadi kering. Jadi, pada hakikat-nya air di bumi pun bergantung pada hujan dari langit. Itulah sebabnya bila saja air mengucur dari langit, maka air sumur-sumur di bumi pun jadi naik. Mengapa jadi naik? Sebabnya adalah, air langit menarik air bumi naik ke atas. Hubungan ini jugalah yang terdapat antara wahyu Ilahi dan akal. Wahyu Ilahi, yakni ilham Ilahi, merupakan air samawi. Sedangkan akal merupakan air bumi. Dan air ini senantiasa memperoleh tarbiyat (tuntunan dan bimbingan tahap demi tahap) dari air samawi, yaitu ilham. Dan seandainya air samawi yakni wahyu berhenti turun, maka air bumi pun lambat laun menjadi kering. Tidakkah untuk itu dalil ini sudah mencukupi bahwa apabila suatu kurun masa yang panjang telah berlalu dan di bumi tidak lahir seorang penerima ilham, maka akal pikiran orang-orang bijak menjadi sangat kotor dan rusak, seperti halnya air bumi yang kering dan busuk. Untuk memahami hal itu, cukup dengan menelaah zaman sebelum kedatangan Nabi kita saw., yang menampakkan warnanya ke seluruh dunia. Dikarenakan pada waktu itu zaman Nabi Isa a.s. telah berlalu enam ratus tahun dan selama jangka waktu itu tidak ada seorang penerima ilham pun yang lahir, maka seluruh dunia telah merusak kondisinya sendiri. Sejarah tiap‑tiap negeri memberi kesaksian bahwa pada zaman Rasulullah saw., yakni sebelum pendakwaan beliau, pikiran-pikiran buruk telah tersebar di seluruh dunia. Kenapa telah terjadi demikian dan apa sebabnya? Sebabnya adalah, rangkaian ilham telah lama terputus. Kera­jaan Langit pada waktu itu dikuasai hanya oleh akal. Jadi, betapa akal yang tidak sempurna itu telah menjerumuskan orang-orang ke dalam berbagai kerusakan. Apakah ada juga yang tidak mengetahui hal itu? Lihatlah, apabila air ilham telah lama tidak mengucur, maka air seluruh akal menjadi sangat kering.

Jadi, di dalam sumpah‑sumpah itu Allah Ta’ala mengemukakan hukum alam yang demikian, dan Dia berfirman, “Perhatikan-lah oleh kamu, bukankah ini merupakan hukum kodrat Ilahi yang kokoh dan abadi, bahwa kehijauan bumi seluruhnya bergantung pada air langit.” Jadi hukum kodrat yang nyata ini, merupakan saksi bagi hukum kodrat yang terselubung itu, yakni rangkaian ilham Ilahi. Maka ambillah faedah dari saksi tersebut. Dan jangan jadikan akal itu semata sebagai penunjuk jalan, sebab akal bukan suatu air yang dapat bertahan tanpa air samawi. Sebagaimana keistimewaan air langit, dengan khasiat alaminya ia meninggikan air semua sumur, tidak perduli apakah airnya jatuh masuk ke dalam suatu sumur atau tidak, demikian pulalah tatkala seorang penerima ilham Ilahi tampil di dunia -- tidak perduli apakah ada orang bijak yang mengikutinya atau tidak -- maka pada zaman penerima ilham tersebut akal-akal manusia sendiri sedemikian rupa bercahaya dan bersihnya sehingga belum pernah tampil demikian sebelum itu. Orang‑orang dengan sendirinya mulai mencari kebenaran, dan di dalam daya pikir mereka timbul suatu gerakan secara gaib. Jadi, segenap kemajuan akal dan gejolak hati ini timbul akibat langkah beberkat si penerima ilham tersebut, serta dengan khasiatnya dia mengangkat naik air-air bumi.

Apabila kalian menyaksikan bahwa setiap orang bangkit mencari agama‑agama, dan air bumi pun mulai bergejolak naik, maka bangunlah, waspadalah dan pahamilah dengan seyakin-yakinnya bahwa dari langit hujan deras telah turun dan telah terjadi hujan ilham atas kalbu seseorang.




0 komentar:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...