Masalah
Kelima
SARANA-SARANA DAN JALAN APA SAJA UNTUK MENDAPATKAN ILMU, YAKNI MAKRIFAT ?
Sebagai jawaban masalah ini, hendaknya jelas bahwa disini tidak akan mungkin membahas apa yang telah diterangkan Alquran Suci secara luas tentang hal itu. Namun sebagai contoh akan diuraikan dalam kadar tertentu. Jadi hendaknya dimaklumi bahwa Alquran Suci telah menetapkan ilmu tiga macam, yaitu: ‘ilmul yaqin, ‘ainul yaqin dan haqqul yaqin. Sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya dalam menafsirkan Surah Alhaakumut-Takatsur dan telah diterangkan bahwa ‘ilmul yaqin ialah mengetahui benda tertentu melalui suatu perantara, dan tidak secara langsung. Misalnya, kita menarik kesimpulan tentang adanya api karena melihat asap. Sungguhpun kita tidak melihat api namun hanya melihat asap, maka kita yakin akan keberadaan api itu. Jadi, inilah yang disebut ‘ilmul yaqin. Dan apabila api itu sendiri yang kita lihat, maka hal demikian menurut keterangan Alquran Suci -- yakni Surah Alhaakumut-Takaatsur -- di antara tingkat-tingkat ilmu disebut ‘ainul yaqin. Kini tidak perlu lagi Surah Alhaakumut-Takaatsur dituliskan kembali. Para pemerhati silahkan menyimak tafsir tersebut pada tempatnya.
Kini hendaknya diketahui bahwa ilmu jenis pertama ialah ‘ilmul yaqin. Sarananya adalah akal dan keterangan-keterangan (manqulat). Mengenai para penghuni neraka Allah Ta’ala berfirman:
Yakni, para penghuni neraka berkata, “Sekiranya kami bijak dan menelaah agama serta akidah dengan cara-cara yang masuk akal atau mendengarkan dengan penuh perhatian tulisan-tulisan serta ucapan-ucapan orang-orang yang bijak dan para peneliti, maka tentu hari ini kami tidak akan berada di dalam neraka” (69:11). Ayat ini sesuai dengan ayat lain sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
Yakni, Allah Ta’ala tidak membebani jiwa-jiwa manusia untuk menerima suatu hal yang melampaui kemampuan ilmunya. Dan Dia mengetengahkan akidah yang mampu dipahami oleh manusia agar perintah‑Nya tidak merupakan suatu beban yang tidak sanggup dipikul (2:287). Di dalam ayat‑ayat ini juga diisyaratkan bahwa dengan perantaraan telinga pun manusia dapat memperoleh ‘ilmul yaqin. Misalnya, kami belum pernah melihat London, tetapi hanya mendengar dari orang‑orang yang pernah melihat kota itu. Namun apakah kita dapat meragukan bahwa mungkin mereka semua berdusta? Atau misalnya, kami tidak mengalami zaman Raja Alamgir dan tidak pula pernah melihat wajah Alamgir. Akan tetapi apakah kita masih ragu bahwa Alamgir merupakan seorang raja di antara raja-raja Moghul? Nah, mengapa kita sampai begitu yakin? Jawabannya ialah, karena mendengarkan hal itu secara berkesinambungan. Jadi, tidak diragukan lagi bahwa pendengaran pun dapat mengantarkan sampai ke tingkat ‘ilmul yaqin. Kitab‑kitab para nabi, seandainya pada rangkaian penuturannya tidak ditemukan cacat sedikit pun, itu juga merupakan sarana untuk memperoleh ilmu melalui pendengaran. Akan tetapi, bila sebuah kitab disebut kitab samawi, lalu misalnya terdapat lima puluh atau enam puluh naskahnya dan sebagian bertentangan dengan bagian lainnya, maka walaupun suatu golongan meyakini bahwa di dalam kitab itu hanya dua atau empat naskah saja yang sah -- sedangkan sisanya tidak dapat dipercaya dan palsu -- akan tetapi bagi peneliti, keyakinan yang tidak berlandaskan pada penelitian-penelitian sempurna, itu adalah sia-sia. Dan akibatnya ialah, seluruh kitab tersebut dikarenakan kontradiksi yang dimilikinya akan dinyatakan sebagai sampah dan tak patut dipercaya. Dan sama-sekali tidak dapat dibenarkan bila menetapkan keterangan-keterangan yang saling bertentangan itu sebagai sarana suatu ilmu. Sebab, definisi ilmu ialah sesuatu yang memberikan pengetahuan yang menimbulkan keyakinan. Sedangkan pengetahuan yang menimbulkan keyakinan itu tidak mungkin ditemukan di dalam kumpulan kontradiksi.
Disini hendaknya diingat bahwa Alquran Suci tidak hanya terbatas pada pendengaran saja, sebab di dalamnya terdapat dalil‑dalil hebat yang masuk akal untuk memberikan pemahaman kepada manusia. Dan sekian banyak akidah, prinsip, dan perintah-perintah yang dipaparkan oleh Alquran, tidak ada satu perkara pun yang di dalamnya terkandung kekerasan dan paksaan. Sebagai-mana Alquran sendiri berkata bahwa semua akidah dan sebagainya itu sejak semula memang sudah ada di dalam fitrat manusia. Dan Alquran Suci telah dinamakan Zikir, sebagaimana firman‑Nya:
Yakni, Alquran yang beberkat ini tidak membawa suatu barang baru, melainkan dia mengingatkan kepada apa‑apa yang tertanam di dalam fitrat manusia dan dalam lembaran hukum kodrat (21:51). Kemudian pada tempat lain Dia berfirman:
Yakni, agama ini tidak ingin membuat seseorang percaya terhadap suatu hal secara paksa, melainkan bagi setiap perkara ia mengemukakan dalil‑dalil (2:257). Di samping itu di dalam Alquran juga terdapat suatu khasiat rohaniah untuk menyinari kalbu-kalbu. Sebagaimana Dia berfirman:
Yakni, Alquran dengan khasiatnya menyembuhkan segala penyakit (10:58). Oleh sebab itu Alquran tidak dapat disebut sebagai manquli kitab (kitab yang disampaikan berdasarkan keterangan secara turun-temurun), melainkan ia mengandung dalil-dalil logis yang berderajat tinggi. Dan di dalamnya terdapat cahaya yang bersinar-sinar.
Demikian pula dalil-dalil logika yang bertumpu pada unsur-unsur yang benar, tanpa diragukan mengantarkan sampai kepada ‘ilmul yaqin. Ke arah inilah Allah swt. mengisyaratkan di dalam ayat-ayat yang tertera berikut:
Yakni, apabila orang‑orang cerdik dan para ahli pikir merenungkan kejadian bumi dan benda‑benda langit, dan dengan seksama memperhatikan sebab-sebab peredaran malam dan siang, dengan memperhatikan tatanan itu mereka akan mendapatkan bukti tentang Wujud Allah Ta’ala. Jadi, untuk memperoleh pengertian yang lebih jelas mereka memohon pertolongan kepada Allah dan mereka mengingat Dia sambil berdiri, duduk, dan berbaring, sehingga dengan demikian akal pikiran mereka menjadi amat jernih. Jadi, apabila dengan memakai akal pikiran itu mereka merenungkan kejadian yang demikian indah dan paripurna benda‑benda langit dan bumi, maka serta‑merta mereka akan berseru, “Tatanan yang demikian sempurna dan kokoh itu pasti tidak sia-sia dan tidak tanpa arti, melainkan segalanya itu menampakkan Wajah Sang Pencipta Yang Hakiki.” Nah, sesudah mereka menyatakan pengakuan terhadap Tuhan Yang Menciptakan alam semesta, mereka memohon, “Ya Ilahi, Engkau suci dari sikap seseorang yang mengingkari Wujud Engkau lalu menyatakan sifat‑sifat yang tidak layak kepada Engkau. Maka selamatkan-lah kami dari api neraka. Yakni, penolakan terhadap Wujud Engkau sungguh merupakan neraka. Segala kebahagiaan dan ketenteraman terdapat dalam Wujud Engkau dan di dalam mengenali Engkau. Barangsiapa luput dari pengenalan hakiki Engkau, pada hakikatnya ia berada dalam api di dunia ini” (3:191,192).
Hakikat Fitrat manusia
Demikian pula hati nurani manusia pun merupakan sebuah sarana ilmu yang di dalam Kitab Allah dinamakan fitrat manusia. Sebagaimana Allah berfirman:
Yakni, di atas fitrat Allah-lah orang-orang telah diciptakan (30:31). Dan bagaimana gambaran fitrat itu? Gambaran fitrat itu tidak lain ialah mempercayai Allah Ta’ala sebagai suatu Wujud yang tidak ada sekutu-Nya; Pencipta segala sesuatu; suci dari kematian dan kelahiran. Dan kami katakan hati nurani pada derajat ‘ilmul yaqin, karena walaupun pada zahirnya tidak terjadi peralihan dari satu ilmu ke ilmu lain -- tidak seperti terjadinya peralihan dari ilmu tentang asap kepada ilmu tentang api -- akan tetapi derajat ‘ilmul yaqin ini tidak kosong dari proses peralihan yang halus. Dan proses peralihan itu ialah: Allah telah menanamkan pada setiap benda suatu khasiat yang tidak diketahui -- yang tidak dapat diungkapkan dalam uraian maupun ucapan -- akan tetapi dengan merenungkan hal itu serta dengan membayangkan-nya, maka segera alam pikiran akan beralih ke arah khasiat tersebut. Ringkasnya, khasiat itu mutlak terdapat di dalam benda tersebut sebagaimana mutlaknya asap bagi api. Misalnya, apabila kita memusatkan perhatian pada Dzat Allah Ta’ala -- yakni bagaimana seharusnya Dia, apakah seperti kita Tuhan itu dilahirkan dan seperti kita menanggung derita, serta seperti kita mengalami kematian -- maka beriringan dengan pemikiran itu kalbu kita menjadi perih dan hati nurani bergetar, serta menampakkan gejolak sedemikian rupa yang menolak keras pemikiran tersebut dan bangkit berseru, “Yang patut bagi Tuhan, yang kekuatan-kekuatan-Nya merupakan tumpuan bagi segala harapan, adalah suci dari segala kekurangan, sempurna dan berkuasa.” Dan bila saja di dalam kalbu kita timbul pemikiran tentang Tuhan, maka langsung saja terasa adanya kemutlakan total antara Tauhid dengan Tuhan, seperti halnya asap dengan api, bahkan lebih hebat dari itu. Oleh karenanya ilmu yang kita peroleh melalui hati nurani kita, termasuk ke dalam derajat ‘ilmul yaqin. Akan tetapi di atasnya ada satu derajat lagi yang disebut ‘ainul yaqin. Dan yang dimaksudkan dengan derajat ini ialah ilmu yang apabila di antara keyakinan kita dan benda yang kita yakini itu tidak terdapat suatu perantara. Misalnya, apabila kita mengetahui adanya bau harum dan bau busuk lewat indera penciuman, atau kita mengetahui adanya rasa manis atau asin lewat indera pencicipan, atau kita mengetahui panas atau dingin dengan perantaraan indera perasa, maka semua pengetahuan itu termasuk dalam kategori ‘ainul yaqin. Akan tetapi berkenaan dengan alam ukhrawi, Ilmu Ketuhanan kita baru akan sampai pada batas ‘ainul yaqin bila kita sendiri menerima ilham tanpa perantara; mendengar suara Ilahi dengan telinga sendiri; dan melihat kasyaf-kasyaf (pemandangan gaib) yang terang dan benar dengan mata sendiri. Tidak diragukan lagi, untuk memperoleh makrifat yang sempurna kita sangat memerlukan ilham tanpa suatu perantara, dan di dalam hati kita terdapat rasa lapar serta dahaga akan makrifat yang sempurna itu. Jika seandainya Allah Ta’ala sejak semula tidak menyediakan sarana-sarana makrifat itu bagi kita, maka mengapa telah Dia timbulkan rasa lapar dan dahaga ini di dalam diri kita? Apakah di dalam kehidupan ini -- yang merupakan satu‑satunya takaran untuk khazanah ukhrawi kita -- kita dapat merasa cukup puas beriman kepada Tuhan Yang Sejati, Yang Maha Sempurna, Yang Maha Kuasa dan Maha Hidup, hanya berdasarkan pada kisah‑kisah dan hikayat‑hikayat belaka? Atau kita merasa cukup dengan melandaskannya pada makrifat akal semata yang hingga kini merupakan makrifat yang cacat dan tidak sempurna? Tidakkah hati orang yang sangat asyik dan cinta kepada Tuhan, berkeinginan untuk memperoleh kelezatan dari tutur-kata Sang Kekasih? Apakah orang-orang yang demi Tuhan telah memusnahkan seluruh kehidupan dunianya, telah menyerahkan hatinya, telah menyerahkan jiwanya, mereka dapat merasa puas dengan hanya berdiri dan mati di suatu tempat suram tanpa sedikit pun melihat sinar matahari kebenaran? Bukankah dengan pernyataan Tuhan Yang Mahahidup ini -- “Anal maujud” (Aku ada) -- Dia melimpahkan derajat makrifat sedemikian rupa sehingga jika kita meletakkan buku-buku yang ditulis sendiri oleh seluruh filsuf dunia di satu sisi, dan di sisi lain kita letakkan firman “Anal maujud ” milik Tuhan, maka dalam perbandingan itu seluruh buku tersebut tidak ada artinya. Orang-orang yang disebut filsuf namun tetap saja buta, apa pula yang akan mereka ajarkan kepada kita. Ringkasnya, jika Allah Ta’ala telah berkehendak untuk menganugerahkan makrifat yang sempurna kepada para pencari kebenaran, maka pasti Dia telah membukakan jalan mukalamah dan mukhatabah‑Nya (ilham dan wahyu). Berkenaan dengan ini Allah swt. berfirman di dalam Alquran Suci:
Yakni, ya Tuhan, tunjukilah kami jalan istiqamah itu. Yakni jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat-nikmat kepada mereka (1:6,7). Disini yang dimaksud dengan nikmat-nikmat adalah ilham, kasyaf, dan ilmu‑ilmu samawi lainnya yang diterima oleh manusia secara langsung. Begitu juga di tempat lain Dia berfirman:
Yakni, orang-orang yang telah beriman kepada Allah lalu beristiqamah sepenuhnya, para malaikat Allah Ta’ala turun atas mereka dan menyampaikan ilham ini kepada mereka, “Janganlah kamu takut dan sedih sedikit pun. Bagi kamu tersedia surga yang telah dijanjikan kepadamu” (41:31). Jadi di dalam ayat ini pun telah difirmankan dengan kata-kata jelas bahwa hamba‑hamba saleh Allah Ta’ala memperoleh ilham dari Allah pada saat sedih dan takut. Dan malaikat‑malaikat turun menenteramkan mereka. Dan kemudian di dalam satu ayat lagi Dia telah berfirman:
Yakni, para sahabat Tuhan di dunia ini memperoleh khabar suka melalui ilham dan percakapan dengan Tuhan. Dan di dalam kehidupan mendatang pun akan demikian (10:65).
Apakah yang dimaksud dengan Ilham?
Namun di sini hendaknya diingat bahwa kata ilham di sini bukanlah berarti suatu pemikiran dan gagasan yang timbul di dalam kalbu seperti ketika seorang penyair sedang berusaha membuat syair. Atau, sesudah ia menyelesaikan syair penggalan pertama ia berpikir untuk penggalan berikutnya, maka lahirlah syair penggalan kedua di dalam hatinya. Jadi, yang timbul dalam hati serupa itu bukanlah ilham, melainkan suatu hasil renungan dan pemikiran yang sejalan dengan hukum kodrat Tuhan. Orang yang memikirkan perkara-perkara baik atau yang merenungkan perkara-perkara buruk, sesuai dengan yang dicarinya, maka pasti di dalam hatinya timbul suatu gagasan. Misalnya, seorang saleh dan jujur membuat beberapa syair dalam mendukung kebenaran. Sedangkan seorang lagi yang alam pikirannya kotor dan rucah membuat syair yang mendukung kebohongan serta mengandung caci-makian terhadap orang saleh. Maka tidak diragukan lagi bahwa kedua orang ini memang akan berhasil membuat beberapa syair. Bahkan sedikit pun tidak mengherankan bahwa musuh orang saleh yang mendukung kedustaan itu akan menghasilkan syair yang hebat berkat pengalamannya yang panjang. Jadi, kalau apa saja yang tercetus di dalam hati disebut ilham, maka seorang penyair yang kurang ajar, yang memusuhi kebenaran serta memusuhi orang-orang yang benar, dan senantiasa mengangkat pena untuk melawan kebenaran, serta sudah biasa berdusta, akan dapat pula disebut sebagai orang yang menerima ilham dari Tuhan (mulham). Di dalam buku‑buku roman dan sebagainya kita acap kali membaca ceritera‑ceritera yang menarik hati, dan kita mengetahui bahwa ceritera‑ceritera itu hanyalah karangan khayal belaka. Akan tetapi karangan itu terus-menerus meresap ke dalam hati orang‑orang. Apakah kita dapat menyebut hal itu sebagai ilham? Bahkan kalau beberapa hal yang timbul dalam pikiran dapat disebut ilham, maka seorang pencuri juga dapat kita sebut seorang mulham. Sebab, kadang-kadang setelah berpikir keras ia memperoleh cara‑cara yang jitu untuk membongkar rumah, dan di dalam hatinya timbul rencana-rencana yang hebat untuk merampok dan membunuh. Nah, pantaskah kita menamakan segenap rencana kotor itu sebagi ilham? Sama sekali tidak! Melainkan, itu merupakan pikiran orang-orang yang hingga kini tidak memiliki pengetahuan tentang Tuhan Sejati -- yaitu Tuhan yang menghibur hati melalui percakapan istimewa‑Nya dan melalui ilmu‑ilmu rohaniah menganugerahkan makrifat kepada mereka yang belum mengenal-Nya.
Apakah yang dimaksud dengan ilham? Ilham adalah percakapan dan dialog Tuhan Yang Mahasuci lagi Mahakuasa, dengan menggunakan suatu kalam yang hidup dan perkasa, kepada seorang hamba pilihan‑Nya atau kepada seseorang yang ingin dijadikan‑Nya terpilih. Apabila percakapan dan dialog tersebut mulai berlangsung dengan suatu kesinambungan yang gencar serta menghibur, dan di dalamnya tidak terdapat kegelapan pikiran-pikiran buruk, serta tidak tanggung‑tanggung dan bukan berupa beberapa perkataan yang tidak menentu ujung pangkalnya, melainkan suatu kalam yang lezat, penuh hikmah, dan penuh keperkasaan, maka itu merupakan Kalam Ilahi yang dengan perantaraannya Dia ingin memberi hiburan/ketenangan kepada hamba‑Nya serta menampakkan Dzat‑Nya sendiri pada si hamba itu. Ya, kadang‑kadang sebuah kalam turun semata-mata sebagai ujian, tidak sempurna dan tidak mengandung unsur-unsur beberkat. Dalam keadaan demikian hamba Allah itu diuji pada tingkat permulaan. Yakni, apakah dengan mencicipi secuil ilham itu ia benar-benar akan memperlihatkan keadaan dan ucapan-ucapannya seperti para mulham sejati, atau akan tergelincir. Jadi, apabila ia tidak memilih kebenaran hakiki seperti halnya para shiddiq (orang‑orang yang lurus hati), maka ia akan luput dari kesempurnaan nikmat itu dan ditangannya hanya terdapat kata-kata yang hampa dan sia‑sia belaka. Ilham terus menerus turun kepada jutaan hamba saleh, akan tetapi derajat mereka di sisi Allah tidak sama. Bahkan para nabi suci Allah, sebagai penerima ilham yang paling utama dan paling bersih sekalipun, tidak sama derajat mereka. Allah Ta’ala berfirman:
Yakni, sebagian nabi memperoleh fadhilah (keunggulan/ kelebihan) atas sebagian nabi lainnya (2:254). Dari situ terbukti bahwa ilham merupakan karunia semata, dan tidak ada campur-tangan dalam urusan fadhilah. Melainkan, fadhilah itu sesuai dengan kadar ketulusan, keikhlasan, dan kesetiaan yang diketahui oleh Allah. Ya, ilham pun apabila disertai syarat‑syaratnya yang beberkat, maka buahnya juga akan ada. Dalam hal ini tidak diragukan lagi jika ilham turun dalam corak demikian, yakni sang hamba bertanya dan Allah menjawabnya -- dengan cara itu terjadi tanya-jawab dalam suatu pola tertentu dan di dalam ilham tersebut terdapat keperkasaan dan nur Ilahi serta mengandung ilmu‑ilmu gaib atau makrifat-makrifat sejati -- maka itu adalah ilham Ilahi. Di dalam ilham Ilahi adalah mutlak bahwa seperti halnya seorang sahabat yang bertemu dengan sahabatnya lalu saling bercakap-cakap, maka demikian pulalah hendaknya percakapan yang berlangsung antara Rabb dan hamba‑Nya. Dan tatkala sang hamba bertanya tentang suatu hal, maka dia akan mendengarkan dari Allah Ta’ala suatu kalam yang lezat lagi fasih sebagai jawabannya. Di situ sedikit pun tidak ada campur-tangan nafsu, pemikiran dan renungan sang hamba. Dan mukalamah serta mukhatabah tersebut menjadi suatu hadiah baginya. Jadi, itu adalah Kalam Ilahi. Dan hamba yang demikian itu memperoleh kehormatan di sisi Allah. Akan tetapi derajat ini -- yang di dalamnya ilham merupakan suatu hadiah, dan Allah menjalin suatu hubungan ilham yang hidup dan suci dengan hamba-Nya, serta berlangsung dengan bersih dan suci -- tidak akan diraih oleh siapa pun kecuali mereka yang maju dalam keimanan, keikhlasan, dan amal-amal saleh, serta dalam hal-hal tertentu yang tidak dapat kami jelaskan. Ilham yang sejati dan suci menampakkan keajaiban‑keajaiban agung Ketuhanan. Acapkali terbit suatu sinar yang amat berkilauan, dan bersamaan dengan itu turun suatu ilham yang penuh dengan keperkasaan serta kecemerlangan. Adakah suatu kemuliaan yang lebih besar dari yang diperoleh seorang mulham, yaitu bercakap-cakap dengan Pencipta langit dan bumi? Di dunia ini peluang untuk melihat Allah ialah bercakap-cakap dengan-Nya. Akan tetapi dalam uraian kami ini yang dimaksudkan bukanlah keadaan seorang manusia yang dari lidahnya mengalir suatu kata atau kalimat atau syair tanpa dasar tapi tidak disertai peristiwa mukalamah dan mukhatabah. Bahkan orang demikian itu terperangkap dalam ujian Allah. Sebab, Allah dengan cara itu juga menguji hamba‑hamba yang malas dan lalai. Yakni, adakalanya Dia mencetuskan suatu kalimat atau ungkapan di dalam hati atau lidah seseorang, maka orang itu pun menjadi seperti buta. Ia tidak tahu dari mana kalimat itu datang -- apakah dari Tuhan atau dari syaitan. Jadi, adalah wajib beristighfar terhadap kalimat-kalimat semacam itu. Akan tetapi, apabila seorang hamba yang saleh lagi baik mulai memperoleh percakapan dengan Allah tanpa tabir, dan sebagai mukhatabah serta mukalamah ia mendengar suatu kalam yang bersinar‑sinar, lezat, penuh makna, penuh hikmah serta penuh keperkasaan, dan sedikitnya dia sering mengalami peristiwa dimana terjadi sepuluh kali soal-jawab di antara Tuhan dengan dia dalam keadaan sadar, ia bertanya dan Tuhan menjawab, kemudian dalam keadaan sadar itu juga ia menyampaikan suatu hal lain dan Tuhan pun menjawabnya; lalu ia memohon dengan rendah hati, Tuhan menjawabnya pula, demikian juga sampai sepuluh kali terus berlangsung percakapan antara Tuhan dengan dia, dan Tuhan telah berkali‑kali mengabulkan do’a‑do’anya di dalam percakapan-percakapan itu; membukakan kepadanya makrifat-makrifat yang tinggi, mengabarkan kepadanya peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi, dan di dalam soal-jawab itu berkali-kali Allah menganugerahkan kepadanya percakapan secara terbuka, maka orang yang seperti itu hendaknya banyak bersyukur kepada Allah Ta’ala dan hendaknya paling banyak berkorban di jalan Allah. Sebab, semata‑mata karena kemurahan‑Nya, Allah telah memilih orang itu di antara sekalian hamba‑Nya dan menjadikan dia sebagai pewaris para shiddiq yang telah mendahului dia. Nikmat ini sangat jarang terjadi dan merupakan suatu keberuntungan. Barangsiapa memperolehnya maka segala sesuatu selain itu akan menjadi tidak berarti sama sekali.
Keistimewaan Islam
Di dalam Islam orang-orang yang memiliki martabat dan derajat itu senantiasa ada. Dan hanya dalam Islam sajalah Tuhan mendekati sang hamba dan bercakap‑cakap dengan dia. Tuhan berbicara di dalam dirinya, dan di dalam hatinya Dia mendirikan singgasana‑Nya, dan dari dalam diri orang itulah Dia menariknya ke Langit serta melimpahkan kepada orang itu segala nikmat yang pernah diberikan‑Nya kepada orang‑orang terdahulu. Sungguh sayang sekali, dunia yang buta ini tidak mengetahui kemana manusia akan sampai setelah setapak demi setapak mendekati Tuhan. Mereka sendiri tidak melangkahkan kaki ke arah itu, sedangkan orang-orang yang melangkahkan kaki kesana mereka nyatakan kafir, atau sebaliknya dianggap sembahan dan diberi kedudukan sebagai tuhan. Kedua sikap itu adalah aniaya. Yang satu karena terlalu melebih‑lebihkan, dan yang kedua karena mengecilkan. Akan tetapi orang-orang bijak hendaknya jangan putus-asa serta jangan mengingkari martabat dan derajat itu, dan jangan menghinakan orang yang telah memperoleh martabat tersebut, serta jangan pula mulai menyembahnya. Pada martabat ini Allah Ta’ala memperlihatkan hubungan-hubungan dengan hamba itu sedemikian rupa seakan‑akan jubah Ketuhanan telah dikenakan kepadanya. Dan orang semacam itu menjadi cermin untuk melihat Tuhan. Inilah rahasia yang telah disabdakan oleh Nabi kita saw.: “Barangsiapa yang melihatku, ia telah melihat Tuhan.” Ringkasnya, ini merupakan peringatan keras bagi para hamba dan disitulah berakhir seluruh suluk (perjalanan menuju kesempurnaan rohani) dan disitulah ketenteraman sempurna diraih.
Penceramah Memperoleh Anugerah Mukalamah dan Mukhabatah Ilahiyah
Saya akan merasa berbuat aniaya terhadap umat manusia seandainya pada saat ini saya tidak menyatakan bahwa derajat yang definisi-definisinya telah saya uraikan dan martabat mukalamah mukhatabah yang baru saja saya terangkan secara rinci itu, anugerah Ilahi telah melimpahkannya kepada saya, supaya saya memberikan penglihatan kepada orang-orang yang buta, dan kepada para pencari memberitahukan alamat sesuatu yang telah hilang itu, dan memperdengarkan kabar suka kepada mereka yang mengakui kebenaran mengenai mata air suci yang disebut-sebut oleh banyak orang namun sedikit yang menemukan-nya. Saya ingin meyakinkan para pendengar bahwa Tuhan -- yang dengan menemukan-Nya timbul keselamatan dan kebahagiaan abadi bagi manusia -- sama sekali tidak akan dapat ditemukan tanpa mengikuti Alquran Suci. Ah, seandainya orang‑orang melihat apa yang telah saya lihat, mendengar apa yang telah saya dengar, dan meninggalkan dongeng-dongeng serta berlari ke arah kebenaran. Sarana ilmu sempurna yang melaluinya Tuhan akan tampak, air pembilas segala kotoran yang melaluinya segenap keraguan akan lenyap, dan cermin yang melaluinya akan tampak Wujud Maha Agung itu, adalah mukalamah dan mukhatabah Ilahiyah yang baru saja saya uraikan. Siapa saja yang di dalam ruhnya terdapat kedambaan untuk meraih kebenaran, bangkit dan carilah. Saya mengatakan dengan sebenarnya, jika di dalam ruh timbul gejolak pencarian sejati dan di dalam hati timbul kehausan hakiki, maka orang-orang hendaknya mencari jalan ini dan sibuk dalam upaya untuk menemukannya. Akan tetapi, dari arah mana jalan ini akan terbuka dan dengan obat apa tirai ini akan tersingkap? Saya pastikan kepada para pencari kebenaran bahwa hanya Islam sajalah yang memberikan khabar suka tentang jalan itu. Sedangkan umat-umat lain semenjak lama telah memasang segel penutup ilham Ilahi. Jadi, pahamilah dengan seyakin-yakinnya bahwa segel ini bukanlah berasal dari Tuhan, melainkan suatu dalih yang diciptakan oleh manusia karena dia sendiri tidak menerimanya. Dan pahamilah dengan seyakin-yakinnya bahwa sebagaimana kita tidak mungkin dapat melihat tanpa mata, atau mendengar tanpa telinga, atau berbicara tanpa lidah, demikian pula kita tidak mungkin dapat melihat Wajah Sang Kekasih Tersayang itu tanpa Alquran. Dahulu saya muda, sekarang sudah tua, namun saya tidak menemukan seorang pun yang telah berhasil meneguk minuman dari mangkuk makrifat yang nyata itu tanpa melalui mata air suci ini.
Sarana untuk Memperoleh Ilmu Sempurna adalah Ilham Allah Ta’ala
Wahai saudara‑saudara! Wahai orang-orang tercinta! Tidak ada seorang manusia pun yang dapat melawan kehendak-kehendak Tuhan. Pahamilah dengan seyakin‑yakinnya bahwa sarana untuk memperoleh ilmu sempurna adalah ilham Allah Ta’ala yang telah diperoleh para nabi suci Allah Ta’ala. Kemudian sesudah itu Tuhan yang merupakan sungai karunia, sama-sekali tidak berkehendak memasang segel penutup pada ilham itu selanjutnya guna membinasakan dunia dengan cara demikian. Melainkan pintu‑pintu ilham dan mukalamah serta mukhatabah senantiasa terbuka. Ya, carilah pintu‑pintu itu melalui jalannya masing-masing, barulah kalian akan menemukannya dengan mudah. Air kehidupan itu turun dari Langit dan menetap pada tempatnya yang layak. Sekarang, apa yang seharusnya kalian lakukan agar kalian dapat meminum air itu? Yang seharusnya kalian lakukan adalah, capailah mata air itu dengan jatuh bangun. Kemudian letakkanlah mulut kalian pada mata air itu supaya kalian diminumkan air kehidupan tersebut. Segala keberuntungan manusia adalah, dimana pun terlihat cahaya maka dia berlari ke arah itu. Dan dimana pun nampak jejak sahabatnya yang hilang, dia akan menempuh jalan itu. Kalian menyaksikan bahwa selamanya cahaya turun dari langit dan menerpa bumi. Demikian pula cahaya hakiki petunjuk turun dari Langit juga. Ucapan-ucapan dan dugaan-dugaan manusia sendiri tidak dapat memberikan makrifat sejati kepadanya. Apakah kalian dapat menemukan Tuhan tanpa adanya penampakkan Ilahiyah? Apakah kalian dapat melihat dalam kegelapan tanpa adanya cahaya langit? Seandainya dapat, maka mungkin di tempat ini pun kalian dapat melihat. Akan tetapi, walaupun mata kita dapat melihat, kita tetap saja memerlukan cahaya langit. Dan walaupun telinga kita dapat mendengar, kita tetap saja memerlukan udara yang bergerak dari arah Tuhan. Suatu tuhan yang diam dan membiarkan segala sesuatu bergantung pada dugaan-dugaan kita, bukanlah tuhan yang sejati. Justru tuhan yang sempurna dan hidup adalah Tuhan yang memberitahukan sendiri tentang keberadaan Wujud‑Nya. Dan sekarang pun Dia masih berkehendak untuk memberitahukan sendiri tentang keberadaan Wujud-Nya. Jendela-jendela Langit sedang akan terbuka. Fajar sidik hampir menyingsing. Beberkatlah mereka yang bangkit duduk dan kini mencari Tuhan yang sejati. Itulah Tuhan yang tidak mengenal perubahan dan tidak pernah tertimpa musibah, yang cahaya keperkasaan-Nya tidak pernah pudar. Allah Ta’ala berfirman di dalam Alquran Suci:
Yakni, Tuhan-lah yang setiap saat merupakan cahaya langit dan cahaya bumi (24:36). Cahaya daripadanya menerpa semua tempat. Dia-lah Matahari bagi matahari; Dia-lah Nyawa bagi seluruh makhluk bernyawa yang ada di dunia. Dia-lah Tuhan yang sejati dan yang hidup. Beberkahlah orang yang menerima-Nya.
Sarana ketiga untuk memperoleh ilmu ialah hal-hal yang terdapat pada martabat haqqul yaqin, yaitu segala penderitaan, musibah dan kesusahan yang dialami para nabi serta orang-orang saleh di tangan musuh, atau atas keputusan samawi. Akibat penderitaan-penderitaan dan kesusahan-kesusahan semacam ini, maka semua petunjuk syariat yang tadinya ada dalam hati manusia hanya secara ilmu belaka, akan berlaku padanya dan berubah ke dalam bentuk amalan. Kemudian, setelah tumbuh dan berkembang dari lahan amal, sampailah petunjuk-petunjuk syariat itu ke taraf kesempurnaan total. Dan wujud si pelaku amal itu sendiri menjadi suatu penjelmaan sempurna petunjuk‑petunjuk Tuhan. Semua akhlak -- kepemaafan, pembalasan, kesabaran, dan kasih sayang -- yang tadinya hanya memenuhi otak dan hati, kini seluruh bagian tubuh memperoleh jatah dari akhlak-akhlak itu berkat penerapan secara amal, dan menggoreskan gambaran serta jejak-jejaknya setelah berlaku pada seluruh tubuh. Sebagaimana Allah swt. berfirman:
Yakni, Kami akan menguji kalian dengan ketakutan dan kelaparan dan kerugian harta dan kehilangan jiwa dan kegagalan usaha dan kematian anak keturunan. Yakni, semua penderitaan ini akan menimpa kalian sebagai keputusan takdir atau karena perbuatan tangan musuh. Adalah khabar suka bagi orang-orang yang pada waktu tertimpa musibah hanya berkata, “Kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah-lah kami akan kembali.” Bagi mereka terdapat berkat dan rahmat dari Allah, dan mereka inilah orang‑orang yang telah mencapai kesempurnaan petunjuk (2:156‑158). Yakni, sekedar memiliki ilmu yang memenuhi hati dan otak, tidaklah berarti apa-apa. Justru, pada hakikatnya ilmu adalah sesuatu yang turun dari otak lalu memberikan budaya serta warna kepada segenap bagian tubuh, dan mewujudkan seluruh ingatan dalam bentuk amal. Jadi, sarana utama untuk memperkokoh ilmu dan untuk mengembangkannya ialah menuangkan ilmu itu ke seluruh bagian tubuh dalam bentuk amalan. Tidak ada ilmu yang paling rendah sekalipun dapat mencapai kesempurnaan-nya tanpa penerapan secara amal. Misalnya, sejak lama kita berpendapat bahwa memasak roti adalah pekerjaan yang sangat mudah dan tidak pelik. Pekerjaan itu hanya sekedar membuat adonan tepung gandum, dan dari adonan itu diambil sekepal, cukup untuk sepotong roti, lalu dilebarkan dengan menghimpitnya pada kedua telapak tangan, kemudian ditaruh di atas loyang, lalu dibolak‑balik di atas api supaya bakarannya merata, maka roti pun akan matang. Ini hanyalah teori ilmu kita saja. Tetapi apabila kita tanpa pengalaman mulai memasak, maka pertama-tama kesulitan yang akan kita hadapi ialah membuat adonan yang bagus. Karena, jika tidak, bisa keras seperti batu atau terlalu lembek sehingga tidak dapat digunakan dengan semestinya. Dan andaikata sesudah dipukul-pukul dan dibanting-banting, kita berhasil juga menyiapkan adonan, maka keadaan roti itu ada sebagian yang hangus dan sebagian lagi masih mentah. Di bagian tengah tebal dan di bagian pinggir tidak merata. Padahal sudah lima puluh tahun kita selalu menyaksikan roti dimasak.
Ringkasnya, hanya dengan bekal ilmu saja, yang belum pernah dipraktekkan, kita akan menyia‑nyiakan berkilo‑kilo tepung gandum. Jadi, tatkala dalam hal‑hal kecil saja pun sudah demikian keadaan ilmu kita, maka bagaimana mungkin kita dapat bertumpu sepenuhnya pada ilmu semata dalam perkara-perkara besar tanpa penerapan dan praktek secara amalan. Jadi, di dalam ayat‑ayat ini Allah Ta’ala mengajarkan bahwa, “Musibah-musibah yang Aku timpakan kepada kalian, itu pun merupakan sarana ilmu dan pengalaman. Yakni dengan itu ilmu kalian akan menjadi sempurna.”
Dan kemudian lebih lanjut Dia berfirman: “Kalian akan diuji juga dalam harta dan jiwa kalian. Orang‑orang akan merampas harta kalian, akan membunuh kalian dan kalian akan sangat diganggu melalui tangan orang-orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang musyrik. Mereka akan melontarkan kata‑kata yang sangat hina mengenai kalian. Jadi, apabila kalian sabar dan menghindari hal‑hal yang bukan‑bukan, maka sikap demikian itu merupakan suatu keteguhan dan kekesatriaan” (3:187). Makna keseluruhan ayat ini ialah, ilmu yang beberkat yaitu ilmu yang memperlihatkan kecemerlangannya sampai ke taraf amal terapan. Sedangkan ilmu yang sia-sia ialah yang tetap terkurung dalam batas ilmu saja namun tidak pernah mencapai taraf penerapan secara amalan.
Hendaknya diketahui bahwa seperti halnya harta bertambah dan berlipat ganda melalui perniagaan, demikian pula ilmu akan mencapai kesempurnaan rohaniahnya melalui terapan amal. Jadi, terapan amal merupakan sarana utama untuk menyampaikan ilmu ke taraf sempurna. Melalui terapan, di dalam ilmu akan timbul cahaya. Dan pahamilah, sarana apa lagi untuk dapat mencapai taraf haqqul yaqin ilmu? Tidak lain ialah, menguji segala sisinya secara amal terapan. Demikianlah yang telah berlaku dalam Islam. Segala sesuatu yang telah diajarkan Allah Ta’ala kepada manusia dengan perantaraan Alquran, kepada mereka diberikan kesempatan untuk mencemerlangkan ajaran tersebut dalam bentuk amal terapan serta memperoleh cahaya sepenuhnya dari itu.
Dua Periode Kehidupan Rasulullah saw.
Untuk tujuan itulah Allah Ta’ala membagi kehidupan Nabi kita saw. dalam dua bagian.
Bagian pertama adalah periode penderitaan, kesulitan dan kesusahan. Sedangkan bagian kedua merupakan periode kemenangan. Supaya, pada masa-masa sulit dapat tampil akhlak-akhlak yang memang biasa tampil pada saat-saat kesulitan, dan supaya pada masa-masa kemenangan serta kekuasaan dapat terbukti akhlak-akhlak yang memang tidak dapat dibuktikan tanpa adanya kekuasaan. Maka, demikianlah bahwa kedua jenis akhlak Rasulullah saw. telah terbukti sempurna dan jelas, sehubungan dengan berlakunya kedua periode serta kedua kondisi tersebut. Zaman-zaman penderitaan yang dialami selama 13 tahun oleh Nabi kita saw. di Mekkah Mu’azzamah, dengan membaca riwayat hidup beliau pada periode itu, maka dengan jelas akan diketahui bahwa Rasulullah saw. telah memperlihatkan akhlak-ahklak yang memang seharusnya diperlihatkan oleh seorang saleh sempurna pada saat-saat sulit -- yaitu, tetap tawakkal kepada Allah, tidak berkeluh kesah, tidak memperlihatkan kemalasan dalam tugas, dan tidak takut terhadap sosok seseorang -- sedemikian rupa sehingga orang-orang kafir menjadi beriman karena menyaksikan istiqamah yang demikian itu dan memberikan kesaksian bahwa istiqamah serta ketabahan dalam penderitaan seperti itu tidak dapat dilakukan oleh seseorang sebelum dia bergantung sepenuhnya kepada Allah.
Dan kemudian tatkala periode kedua datang, yaitu zaman kemenangan, kekuasaan dan kemakmuran, pada zaman itu pun akhlak-akhlak luhur Rasulullah saw. -- kepemaafan, kedermawanan, dan keberanian -- tampil sedemikian rupa sempurnanya se-hingga segolongan besar orang kafir menjadi beriman setelah menyaksikan akhlak-akhlak tersebut. Beliau memaafkan orang-orang yang menyakiti beliau dan memberikan perlindungan kepada orang-orang yang mengusir beliau dari Mekkah. Beliau melimpahkan harta kepada orang-orang yang memerlukan dari kalangan mereka. Dan setelah memperoleh kekuasaan, beliau mengampuni musuh-musuh besar beliau. Demikianlah banyak sekali orang yang menyaksikan akhlak beliau saw. lalu memberikan kesaksian bahwa, selama seseorang bukan berasal dari Allah dan benar-benar saleh, sama sekali dia tidak akan dapat memperlihatkan akhlak tersebut. Itulah sebabnya mengapa kedengkian para musuh beliau yang sudah lama berkobar, langsung lenyap. Akhlak paling utama beliau yang telah beliau saw. buktikan adalah akhlak yang telah diuraikan di dalam Alquran Suci, yaitu:
Yakni, katakan kepada mereka, “Ibadahku dan pengorbanan-ku dan matiku serta hidupku ada di jalan Allah” (6:163). Yakni, untuk menzahirkan keperkasaan-Nya dan kemudian untuk memberikan ketenteraman kepada hamba-hamba-Nya, sehingga dengan kematianku mereka memperoleh kehidupan.
Disini yang telah disinggung adalah mati di jalan Allah dan demi kebaikan umat manusia. Jangan pula ada yang berpendapat dari itu bahwa beliau saw. na’uzubillah, seperti halnya orang-orang bodoh dan gila, beliau sungguh-sungguh telah berniat melakukan bunuh diri. Yaitu dengan pemahaman bahwa membunuh diri sendiri melalui suatu alat akan memberikan manfaat kepada orang lain. Justru beliau saw. sangat menentang hal-hal yang sia-sia itu. Dan Alquran telah menetapkan perbuatan bunuh diri itu sebagai suatu dosa besar dan patut dihukum. Sebagaimana Dia berfirman:
Yakni, janganlah kamu bunuh diri dan janganlah kematianmu terjadi karena tanganmu sendiri (2:196). Jelaslah, jika misalnya perut si Khalid sakit, dan karena kasihan kepadanya lalu si Zaid memecahkan kepalanya sendiri, maka Zaid tidaklah berarti melakukan kebaikan terhadap Khalid. Melainkan dia telah memecahkan kepalanya dengan sikap yang tolol. Barulah akan merupakan amal saleh apabila Zaid berusaha keras dengan jalan yang tepat dan bermanfaat bagi si Khalid; menyediakan obat-obat mujarab baginya; merawatnya sesuai dengan kaedah-kaedah kedokteran. Akan tetapi dengan memecahkan kepalanya sendiri tidak ada suatu manfaat pun yang sampai kepada Zaid. Dia dengan sia-sia telah menyakiti salah satu anggota badannya yang mulia. Ringkasnya, maksud ayat ini adalah, Rasulullah saw. telah mewakafkan jiwa untuk kebahagiaan umat manusia melalui solidaritas yang hakiki dan kerja keras. Dan dengan do’a, dengan jalan tabligh, dengan memikul beban penderitaan mereka, dan dengan cara yang tepat serta bijak, beliau telah mengorbankan jiwa dan ketenteraman beliau di jalan itu. Sebagaimana Allah swt. berfirman:
Apakah engkau akan membinasakan diri engkau dalam kesedihan dan kerja keras yang engkau lakukan untuk orang-orang? (26:4). Dan apakah engkau akan melepas nyawa engkau dengan penuh penyesalan bagi orang-orang yang tidak menerima kebenaran itu? (35:9). Jadi, cara bijaksana untuk mengorbankan jiwa demi kaum adalah, menimpakan kerja keras atas jiwa untuk kebaikan kaum, sesuai dengan cara-cara bermanfaat hukum kodrat; mengorbankan jiwa demi mereka dengan menempuh upaya-upaya yang tepat; tidak memukulkan batu ke kepala sendiri setelah menyaksikan kaum itu berada di dalam bencana besar atau kesesatan serta mendapatkannya dalam kondisi yang fatal; atau tidak menelan dua atau tiga butir strychnine (racun) agar mati meninggalkan dunia, dan kemudian beranggapan bahwa, “Kami telah menyelamatkan kaum melalui sikap kami yang sia-sia ini.” Ini bukanlah sikap jantan, melainkan perangai wanita. Cara yang senantiasa ditempuh oleh orang-orang yang tidak punya semangat adalah, tatkala mereka mendapatkan bencana itu tidak sanggup untuk dihadapi, maka mereka segera mengambil sikap bunuh diri. Perbuatan bunuh diri demikian, walaupun di kemudian hari diberi macam-macam penafsiran, namun tidak diragukan lagi bahwa sikap itu merupakan aib bagi akal dan bagi orang-orang yang berakal. Akan tetapi jelas bahwa seseorang yang tidak mempunyai kesempatan untuk membalas, kesabarannya serta sikapnya yang tidak melawan musuh tidaklah dapat dipercaya. Sebab, siapa yang tahu, seandainya dia kuasa untuk membalas maka apa saja yang dia lakukan. Selama manusia belum menjalani kedua zaman tersebut -- pertama zaman penderitaan, dan kedua zaman kekuasaan dan pemerintahan serta kemakmuran -- selama itu pula akhlak-akhlaknya yang asli tidak dapat tampil sama sekali. Sangat jelas bahwa seseorang yang terus-menerus mengalami serangan dari pihak lain hanya ketika berada dalam kondisi lemah, tidak punya apa-apa dan tidak berkuasa, serta tidak memperoleh zaman kekuasaan dan pemerintahan serta kemakmuran, maka sedikit pun tidak ada yang dapat dibuktikan dari akhlak-akhlaknya. Dan jika seseorang tidak pernah turun ke medan perang, maka ini pun tidak akan terbukti, apakah dia seorang pemberani atau pengecut. Kita tidak dapat mengatakan apa pun berkenaan dengan akhlak-akhlaknya. Sebab, kita tidak tahu. Kita tidak mengetahui seandainya dia meraih kekuasaan atas musuh-musuhnya, apa saja sikap yang diambil terhadap mereka. Dan seandainya dia kaya-raya, apakah dia menimbun harta itu, atau membagi-bagikannya kepada orang. Dan seandainya dia turun ke suatu medan pertempuran, apakah dia melarikan diri tunggang-langgang atau memperlihatkan kejantanannya seperti para kesatria. Akan tetapi anugerah serta karunia Ilahi telah memberikan kesempatan kepada Nabi kita saw. untuk memperlihatkan akhlak-akhlak tersebut. Demikianlah bahwa sifat-sifat beliau yang pemurah, pemberani, lemah-lembut, pemaaf dan adil, telah tampil pada kesempatannya masing-masing dengan begitu sempurnanya sehingga tidak dapat dicari bandingannya di dalam lembaran sejarah dunia. Di dalam kedua periode kehidupan beliau -- zaman ketika masih lemah dan ketika berkuasa, zaman ketika tidak memiliki apa-apa dan ketika dipenuhi oleh kemakmuran -- beliau telah memperlihatkan kepada seluruh dunia bahwa wujud suci beliau itu merupakan himpunan akhlak yang bertaraf sangat mulia. Dari antara akhlak fadhilah, tidak ada satu akhlak manusia pun yang untuk menzahirkannya Allah Ta’ala tidak memberikan suatu peluang kepada beliau. Segenap akhlak fadhilah -- keberanian, kemurahan hati, keteguhan, kepemaafan, kelemah-lembutan, dan sebagainya -- telah terbukti sedemikian rupa sehingga mustahil mencari bandingannya di dunia. Ya, memang benar, barangsiapa telah berbuat aniaya sampai melampaui batas dan ingin menghancurkan Islam, mereka pun tidak dibiarkan oleh Allah tanpa hukuman. Sebab, membiarkan mereka tanpa hukuman, berarti seolah-olah mengancurkan orang-orang saleh di bawah kaki mereka.
Tujuan Peperangan Rasulullah saw.
Tujuan peperangan Rasulullah saw. sekali-kali bukanlah untuk sekedar membunuhi orang-orang tanpa sebab. Mereka telah diusir dari tanah leluhur mereka. Dan banyak sekali kaum pria serta kaum wanita Muslim yang tidak berdosa telah dibunuh. Sedangkan orang-orang zalim belum juga berhenti dari berbuat zalim, dan mereka menghambat ajaran Islam. Untuk itu, hukum Tuhan berkenaan dengan keamanan, menghendaki untuk menyelamatkan orang-orang yang teraniaya dari kehancuran total. Jadi, pihak yang telah menghunus pedang, dengan merekalah telah dilakukan perlawanan dengan pedang.
Ringkasnya, untuk mematahkan ancaman para pembunuh, peperangan-peperangan itu telah dilangsungkan sebagai upaya menangkal kejahatan, dan telah dilangsungkan pada saat orang-orang zalim berkeinginan menghancurkan orang-orang benar. Dalam kondisi itu jika Islam tidak menerapkan aksi pembelaan diri, maka ribuan anak dan kaum wanita tak berdosa akan terbunuh, sehingga akhirnya Islam menjadi hancur.
Hendaknya diingat bahwa ini merupakan kebengisan besar para penentang kami, mereka beranggapan bahwa petunjuk ilhamiyah hendaknya tidak mengandung ajaran untuk melawan para musuh pada tempat dan kesempatan apa pun, serta senantiasa memperlihatkan kecintaan dan kasih-sayang dalam bentuk kehalusan dan kelemah-lembutan. Orang-orang ini, di dalam benak mereka beranggapan bahwa dengan membatasi segenap sifat sempurna Allah hanya pada kehalusan dan kelemah-lembutan saja berarti mereka sedang menjunjung tinggi Allah swt. Akan tetapi, orang-orang yang menelaah dan merenungkan masalah ini, dengan mudah dapat terbuka kepada mereka bahwa orang-orang tersebut sedang terperangkap di dalam suatu kekeliruan besar dan nyata. Dengan menelaah hukum kodrat Allah, akan terbukti dengan jelas bahwa Dia memang satu-satunya Rahmat bagi dunia. Akan tetapi rahmat itu tidak selamanya dan tidak dalam setiap kondisi tampil dengan corak kehalusan dan kelembutan. Justru semata-mata karena dorongan rahmat-Nya, Dia -- bagai seorang dokter ahli -- kadang-kadang memberikan sirup yang manis kepada kita dan kadang-kadang memberikan obat yang pahit. Rahmat-Nya menerpa seluruh umat manusia seperti halnya seorang di antara kita yang menyayangi seluruh bagian tubuhnya. Tidak dapat diragukan lagi bahwa tiap orang di antara kita menyayangi seluruh bagian wujudnya. Dan kalau ada yang ingin mencabut sehelai saja rambut kita, maka kita akan sangat marah kepadanya. Akan tetapi, kendatipun kita menyayangi tubuh kita, rasa sayang itu terbagi-bagi di dalam segenap tubuh kita. Dan seluruh bagian tubuh kita itu terasa sayang oleh kita. Kita tidak ingin satu pun di antaranya cedera. Akan tetapi, walaupun demikian, jelas terbukti bahwa kita tidak menyayangi bagian-bagian tubuh kita pada taraf dan kadar yang sama. Melainkan, rasa sayang terhadap anggota-anggota badan yang pokok serta penting, yang sedikit banyak merupakan tumpuan bagi tujuan kita, menguasai hati kita. Demikian pula, pada pandangan kita rasa sayang terhadap seluruh tubuh seutuhnya adalah lebih besar dibandingkan dengan rasa sayang terhadap salah satu anggota tubuh. Jadi, apabila kita menghadapi keadaan bahwa keselamatan suatu bagian tubuh bertumpu pada upaya penyayatan atau pembedahan atau pemotongan bagian tubuh yang kurang penting, maka untuk menyelamatkan jiwa, tanpa ragu kita siap untuk membedah atau memotong bagian tubuh tersebut. Dan walaupun pada saat itu di dalam hati kita juga timbul rasa sedih -- bahwa kita membedah atau memotong satu bagian tubuh kita yang disayangi -- akan tetapi kita tetap terpaksa melakukan pemotongan dengan pemikiran: jangan-jangan peradangan pada bagian tubuh tersebut dapat merusak bagian tubuh penting lainnya. Jadi, melalui tamsil ini hendaknya dipahami bahwa Allah pun tatkala melihat hamba-hamba saleh-Nya sedang dibinasakan oleh para pemuja kebatilan, dan kerusuhan pun merebak, maka Dia akan melakukan upaya yang tepat untuk menyelamatkan nyawa orang-orang saleh dan untuk menumpas kerusuhan -- tidak perduli apakah dari langit maupun dari bumi. Sebabnya adalah, Dia merupakan Rahim (Maha Pengasih) dan juga Hakim (Maha Bijaksana).
SARANA-SARANA DAN JALAN APA SAJA UNTUK MENDAPATKAN ILMU, YAKNI MAKRIFAT ?
Sebagai jawaban masalah ini, hendaknya jelas bahwa disini tidak akan mungkin membahas apa yang telah diterangkan Alquran Suci secara luas tentang hal itu. Namun sebagai contoh akan diuraikan dalam kadar tertentu. Jadi hendaknya dimaklumi bahwa Alquran Suci telah menetapkan ilmu tiga macam, yaitu: ‘ilmul yaqin, ‘ainul yaqin dan haqqul yaqin. Sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya dalam menafsirkan Surah Alhaakumut-Takatsur dan telah diterangkan bahwa ‘ilmul yaqin ialah mengetahui benda tertentu melalui suatu perantara, dan tidak secara langsung. Misalnya, kita menarik kesimpulan tentang adanya api karena melihat asap. Sungguhpun kita tidak melihat api namun hanya melihat asap, maka kita yakin akan keberadaan api itu. Jadi, inilah yang disebut ‘ilmul yaqin. Dan apabila api itu sendiri yang kita lihat, maka hal demikian menurut keterangan Alquran Suci -- yakni Surah Alhaakumut-Takaatsur -- di antara tingkat-tingkat ilmu disebut ‘ainul yaqin. Kini tidak perlu lagi Surah Alhaakumut-Takaatsur dituliskan kembali. Para pemerhati silahkan menyimak tafsir tersebut pada tempatnya.
Kini hendaknya diketahui bahwa ilmu jenis pertama ialah ‘ilmul yaqin. Sarananya adalah akal dan keterangan-keterangan (manqulat). Mengenai para penghuni neraka Allah Ta’ala berfirman:
Yakni, para penghuni neraka berkata, “Sekiranya kami bijak dan menelaah agama serta akidah dengan cara-cara yang masuk akal atau mendengarkan dengan penuh perhatian tulisan-tulisan serta ucapan-ucapan orang-orang yang bijak dan para peneliti, maka tentu hari ini kami tidak akan berada di dalam neraka” (69:11). Ayat ini sesuai dengan ayat lain sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
Yakni, Allah Ta’ala tidak membebani jiwa-jiwa manusia untuk menerima suatu hal yang melampaui kemampuan ilmunya. Dan Dia mengetengahkan akidah yang mampu dipahami oleh manusia agar perintah‑Nya tidak merupakan suatu beban yang tidak sanggup dipikul (2:287). Di dalam ayat‑ayat ini juga diisyaratkan bahwa dengan perantaraan telinga pun manusia dapat memperoleh ‘ilmul yaqin. Misalnya, kami belum pernah melihat London, tetapi hanya mendengar dari orang‑orang yang pernah melihat kota itu. Namun apakah kita dapat meragukan bahwa mungkin mereka semua berdusta? Atau misalnya, kami tidak mengalami zaman Raja Alamgir dan tidak pula pernah melihat wajah Alamgir. Akan tetapi apakah kita masih ragu bahwa Alamgir merupakan seorang raja di antara raja-raja Moghul? Nah, mengapa kita sampai begitu yakin? Jawabannya ialah, karena mendengarkan hal itu secara berkesinambungan. Jadi, tidak diragukan lagi bahwa pendengaran pun dapat mengantarkan sampai ke tingkat ‘ilmul yaqin. Kitab‑kitab para nabi, seandainya pada rangkaian penuturannya tidak ditemukan cacat sedikit pun, itu juga merupakan sarana untuk memperoleh ilmu melalui pendengaran. Akan tetapi, bila sebuah kitab disebut kitab samawi, lalu misalnya terdapat lima puluh atau enam puluh naskahnya dan sebagian bertentangan dengan bagian lainnya, maka walaupun suatu golongan meyakini bahwa di dalam kitab itu hanya dua atau empat naskah saja yang sah -- sedangkan sisanya tidak dapat dipercaya dan palsu -- akan tetapi bagi peneliti, keyakinan yang tidak berlandaskan pada penelitian-penelitian sempurna, itu adalah sia-sia. Dan akibatnya ialah, seluruh kitab tersebut dikarenakan kontradiksi yang dimilikinya akan dinyatakan sebagai sampah dan tak patut dipercaya. Dan sama-sekali tidak dapat dibenarkan bila menetapkan keterangan-keterangan yang saling bertentangan itu sebagai sarana suatu ilmu. Sebab, definisi ilmu ialah sesuatu yang memberikan pengetahuan yang menimbulkan keyakinan. Sedangkan pengetahuan yang menimbulkan keyakinan itu tidak mungkin ditemukan di dalam kumpulan kontradiksi.
Disini hendaknya diingat bahwa Alquran Suci tidak hanya terbatas pada pendengaran saja, sebab di dalamnya terdapat dalil‑dalil hebat yang masuk akal untuk memberikan pemahaman kepada manusia. Dan sekian banyak akidah, prinsip, dan perintah-perintah yang dipaparkan oleh Alquran, tidak ada satu perkara pun yang di dalamnya terkandung kekerasan dan paksaan. Sebagai-mana Alquran sendiri berkata bahwa semua akidah dan sebagainya itu sejak semula memang sudah ada di dalam fitrat manusia. Dan Alquran Suci telah dinamakan Zikir, sebagaimana firman‑Nya:
Yakni, Alquran yang beberkat ini tidak membawa suatu barang baru, melainkan dia mengingatkan kepada apa‑apa yang tertanam di dalam fitrat manusia dan dalam lembaran hukum kodrat (21:51). Kemudian pada tempat lain Dia berfirman:
Yakni, agama ini tidak ingin membuat seseorang percaya terhadap suatu hal secara paksa, melainkan bagi setiap perkara ia mengemukakan dalil‑dalil (2:257). Di samping itu di dalam Alquran juga terdapat suatu khasiat rohaniah untuk menyinari kalbu-kalbu. Sebagaimana Dia berfirman:
Yakni, Alquran dengan khasiatnya menyembuhkan segala penyakit (10:58). Oleh sebab itu Alquran tidak dapat disebut sebagai manquli kitab (kitab yang disampaikan berdasarkan keterangan secara turun-temurun), melainkan ia mengandung dalil-dalil logis yang berderajat tinggi. Dan di dalamnya terdapat cahaya yang bersinar-sinar.
Demikian pula dalil-dalil logika yang bertumpu pada unsur-unsur yang benar, tanpa diragukan mengantarkan sampai kepada ‘ilmul yaqin. Ke arah inilah Allah swt. mengisyaratkan di dalam ayat-ayat yang tertera berikut:
Yakni, apabila orang‑orang cerdik dan para ahli pikir merenungkan kejadian bumi dan benda‑benda langit, dan dengan seksama memperhatikan sebab-sebab peredaran malam dan siang, dengan memperhatikan tatanan itu mereka akan mendapatkan bukti tentang Wujud Allah Ta’ala. Jadi, untuk memperoleh pengertian yang lebih jelas mereka memohon pertolongan kepada Allah dan mereka mengingat Dia sambil berdiri, duduk, dan berbaring, sehingga dengan demikian akal pikiran mereka menjadi amat jernih. Jadi, apabila dengan memakai akal pikiran itu mereka merenungkan kejadian yang demikian indah dan paripurna benda‑benda langit dan bumi, maka serta‑merta mereka akan berseru, “Tatanan yang demikian sempurna dan kokoh itu pasti tidak sia-sia dan tidak tanpa arti, melainkan segalanya itu menampakkan Wajah Sang Pencipta Yang Hakiki.” Nah, sesudah mereka menyatakan pengakuan terhadap Tuhan Yang Menciptakan alam semesta, mereka memohon, “Ya Ilahi, Engkau suci dari sikap seseorang yang mengingkari Wujud Engkau lalu menyatakan sifat‑sifat yang tidak layak kepada Engkau. Maka selamatkan-lah kami dari api neraka. Yakni, penolakan terhadap Wujud Engkau sungguh merupakan neraka. Segala kebahagiaan dan ketenteraman terdapat dalam Wujud Engkau dan di dalam mengenali Engkau. Barangsiapa luput dari pengenalan hakiki Engkau, pada hakikatnya ia berada dalam api di dunia ini” (3:191,192).
Hakikat Fitrat manusia
Demikian pula hati nurani manusia pun merupakan sebuah sarana ilmu yang di dalam Kitab Allah dinamakan fitrat manusia. Sebagaimana Allah berfirman:
Yakni, di atas fitrat Allah-lah orang-orang telah diciptakan (30:31). Dan bagaimana gambaran fitrat itu? Gambaran fitrat itu tidak lain ialah mempercayai Allah Ta’ala sebagai suatu Wujud yang tidak ada sekutu-Nya; Pencipta segala sesuatu; suci dari kematian dan kelahiran. Dan kami katakan hati nurani pada derajat ‘ilmul yaqin, karena walaupun pada zahirnya tidak terjadi peralihan dari satu ilmu ke ilmu lain -- tidak seperti terjadinya peralihan dari ilmu tentang asap kepada ilmu tentang api -- akan tetapi derajat ‘ilmul yaqin ini tidak kosong dari proses peralihan yang halus. Dan proses peralihan itu ialah: Allah telah menanamkan pada setiap benda suatu khasiat yang tidak diketahui -- yang tidak dapat diungkapkan dalam uraian maupun ucapan -- akan tetapi dengan merenungkan hal itu serta dengan membayangkan-nya, maka segera alam pikiran akan beralih ke arah khasiat tersebut. Ringkasnya, khasiat itu mutlak terdapat di dalam benda tersebut sebagaimana mutlaknya asap bagi api. Misalnya, apabila kita memusatkan perhatian pada Dzat Allah Ta’ala -- yakni bagaimana seharusnya Dia, apakah seperti kita Tuhan itu dilahirkan dan seperti kita menanggung derita, serta seperti kita mengalami kematian -- maka beriringan dengan pemikiran itu kalbu kita menjadi perih dan hati nurani bergetar, serta menampakkan gejolak sedemikian rupa yang menolak keras pemikiran tersebut dan bangkit berseru, “Yang patut bagi Tuhan, yang kekuatan-kekuatan-Nya merupakan tumpuan bagi segala harapan, adalah suci dari segala kekurangan, sempurna dan berkuasa.” Dan bila saja di dalam kalbu kita timbul pemikiran tentang Tuhan, maka langsung saja terasa adanya kemutlakan total antara Tauhid dengan Tuhan, seperti halnya asap dengan api, bahkan lebih hebat dari itu. Oleh karenanya ilmu yang kita peroleh melalui hati nurani kita, termasuk ke dalam derajat ‘ilmul yaqin. Akan tetapi di atasnya ada satu derajat lagi yang disebut ‘ainul yaqin. Dan yang dimaksudkan dengan derajat ini ialah ilmu yang apabila di antara keyakinan kita dan benda yang kita yakini itu tidak terdapat suatu perantara. Misalnya, apabila kita mengetahui adanya bau harum dan bau busuk lewat indera penciuman, atau kita mengetahui adanya rasa manis atau asin lewat indera pencicipan, atau kita mengetahui panas atau dingin dengan perantaraan indera perasa, maka semua pengetahuan itu termasuk dalam kategori ‘ainul yaqin. Akan tetapi berkenaan dengan alam ukhrawi, Ilmu Ketuhanan kita baru akan sampai pada batas ‘ainul yaqin bila kita sendiri menerima ilham tanpa perantara; mendengar suara Ilahi dengan telinga sendiri; dan melihat kasyaf-kasyaf (pemandangan gaib) yang terang dan benar dengan mata sendiri. Tidak diragukan lagi, untuk memperoleh makrifat yang sempurna kita sangat memerlukan ilham tanpa suatu perantara, dan di dalam hati kita terdapat rasa lapar serta dahaga akan makrifat yang sempurna itu. Jika seandainya Allah Ta’ala sejak semula tidak menyediakan sarana-sarana makrifat itu bagi kita, maka mengapa telah Dia timbulkan rasa lapar dan dahaga ini di dalam diri kita? Apakah di dalam kehidupan ini -- yang merupakan satu‑satunya takaran untuk khazanah ukhrawi kita -- kita dapat merasa cukup puas beriman kepada Tuhan Yang Sejati, Yang Maha Sempurna, Yang Maha Kuasa dan Maha Hidup, hanya berdasarkan pada kisah‑kisah dan hikayat‑hikayat belaka? Atau kita merasa cukup dengan melandaskannya pada makrifat akal semata yang hingga kini merupakan makrifat yang cacat dan tidak sempurna? Tidakkah hati orang yang sangat asyik dan cinta kepada Tuhan, berkeinginan untuk memperoleh kelezatan dari tutur-kata Sang Kekasih? Apakah orang-orang yang demi Tuhan telah memusnahkan seluruh kehidupan dunianya, telah menyerahkan hatinya, telah menyerahkan jiwanya, mereka dapat merasa puas dengan hanya berdiri dan mati di suatu tempat suram tanpa sedikit pun melihat sinar matahari kebenaran? Bukankah dengan pernyataan Tuhan Yang Mahahidup ini -- “Anal maujud” (Aku ada) -- Dia melimpahkan derajat makrifat sedemikian rupa sehingga jika kita meletakkan buku-buku yang ditulis sendiri oleh seluruh filsuf dunia di satu sisi, dan di sisi lain kita letakkan firman “Anal maujud ” milik Tuhan, maka dalam perbandingan itu seluruh buku tersebut tidak ada artinya. Orang-orang yang disebut filsuf namun tetap saja buta, apa pula yang akan mereka ajarkan kepada kita. Ringkasnya, jika Allah Ta’ala telah berkehendak untuk menganugerahkan makrifat yang sempurna kepada para pencari kebenaran, maka pasti Dia telah membukakan jalan mukalamah dan mukhatabah‑Nya (ilham dan wahyu). Berkenaan dengan ini Allah swt. berfirman di dalam Alquran Suci:
Yakni, ya Tuhan, tunjukilah kami jalan istiqamah itu. Yakni jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat-nikmat kepada mereka (1:6,7). Disini yang dimaksud dengan nikmat-nikmat adalah ilham, kasyaf, dan ilmu‑ilmu samawi lainnya yang diterima oleh manusia secara langsung. Begitu juga di tempat lain Dia berfirman:
Yakni, orang-orang yang telah beriman kepada Allah lalu beristiqamah sepenuhnya, para malaikat Allah Ta’ala turun atas mereka dan menyampaikan ilham ini kepada mereka, “Janganlah kamu takut dan sedih sedikit pun. Bagi kamu tersedia surga yang telah dijanjikan kepadamu” (41:31). Jadi di dalam ayat ini pun telah difirmankan dengan kata-kata jelas bahwa hamba‑hamba saleh Allah Ta’ala memperoleh ilham dari Allah pada saat sedih dan takut. Dan malaikat‑malaikat turun menenteramkan mereka. Dan kemudian di dalam satu ayat lagi Dia telah berfirman:
Yakni, para sahabat Tuhan di dunia ini memperoleh khabar suka melalui ilham dan percakapan dengan Tuhan. Dan di dalam kehidupan mendatang pun akan demikian (10:65).
Apakah yang dimaksud dengan Ilham?
Namun di sini hendaknya diingat bahwa kata ilham di sini bukanlah berarti suatu pemikiran dan gagasan yang timbul di dalam kalbu seperti ketika seorang penyair sedang berusaha membuat syair. Atau, sesudah ia menyelesaikan syair penggalan pertama ia berpikir untuk penggalan berikutnya, maka lahirlah syair penggalan kedua di dalam hatinya. Jadi, yang timbul dalam hati serupa itu bukanlah ilham, melainkan suatu hasil renungan dan pemikiran yang sejalan dengan hukum kodrat Tuhan. Orang yang memikirkan perkara-perkara baik atau yang merenungkan perkara-perkara buruk, sesuai dengan yang dicarinya, maka pasti di dalam hatinya timbul suatu gagasan. Misalnya, seorang saleh dan jujur membuat beberapa syair dalam mendukung kebenaran. Sedangkan seorang lagi yang alam pikirannya kotor dan rucah membuat syair yang mendukung kebohongan serta mengandung caci-makian terhadap orang saleh. Maka tidak diragukan lagi bahwa kedua orang ini memang akan berhasil membuat beberapa syair. Bahkan sedikit pun tidak mengherankan bahwa musuh orang saleh yang mendukung kedustaan itu akan menghasilkan syair yang hebat berkat pengalamannya yang panjang. Jadi, kalau apa saja yang tercetus di dalam hati disebut ilham, maka seorang penyair yang kurang ajar, yang memusuhi kebenaran serta memusuhi orang-orang yang benar, dan senantiasa mengangkat pena untuk melawan kebenaran, serta sudah biasa berdusta, akan dapat pula disebut sebagai orang yang menerima ilham dari Tuhan (mulham). Di dalam buku‑buku roman dan sebagainya kita acap kali membaca ceritera‑ceritera yang menarik hati, dan kita mengetahui bahwa ceritera‑ceritera itu hanyalah karangan khayal belaka. Akan tetapi karangan itu terus-menerus meresap ke dalam hati orang‑orang. Apakah kita dapat menyebut hal itu sebagai ilham? Bahkan kalau beberapa hal yang timbul dalam pikiran dapat disebut ilham, maka seorang pencuri juga dapat kita sebut seorang mulham. Sebab, kadang-kadang setelah berpikir keras ia memperoleh cara‑cara yang jitu untuk membongkar rumah, dan di dalam hatinya timbul rencana-rencana yang hebat untuk merampok dan membunuh. Nah, pantaskah kita menamakan segenap rencana kotor itu sebagi ilham? Sama sekali tidak! Melainkan, itu merupakan pikiran orang-orang yang hingga kini tidak memiliki pengetahuan tentang Tuhan Sejati -- yaitu Tuhan yang menghibur hati melalui percakapan istimewa‑Nya dan melalui ilmu‑ilmu rohaniah menganugerahkan makrifat kepada mereka yang belum mengenal-Nya.
Apakah yang dimaksud dengan ilham? Ilham adalah percakapan dan dialog Tuhan Yang Mahasuci lagi Mahakuasa, dengan menggunakan suatu kalam yang hidup dan perkasa, kepada seorang hamba pilihan‑Nya atau kepada seseorang yang ingin dijadikan‑Nya terpilih. Apabila percakapan dan dialog tersebut mulai berlangsung dengan suatu kesinambungan yang gencar serta menghibur, dan di dalamnya tidak terdapat kegelapan pikiran-pikiran buruk, serta tidak tanggung‑tanggung dan bukan berupa beberapa perkataan yang tidak menentu ujung pangkalnya, melainkan suatu kalam yang lezat, penuh hikmah, dan penuh keperkasaan, maka itu merupakan Kalam Ilahi yang dengan perantaraannya Dia ingin memberi hiburan/ketenangan kepada hamba‑Nya serta menampakkan Dzat‑Nya sendiri pada si hamba itu. Ya, kadang‑kadang sebuah kalam turun semata-mata sebagai ujian, tidak sempurna dan tidak mengandung unsur-unsur beberkat. Dalam keadaan demikian hamba Allah itu diuji pada tingkat permulaan. Yakni, apakah dengan mencicipi secuil ilham itu ia benar-benar akan memperlihatkan keadaan dan ucapan-ucapannya seperti para mulham sejati, atau akan tergelincir. Jadi, apabila ia tidak memilih kebenaran hakiki seperti halnya para shiddiq (orang‑orang yang lurus hati), maka ia akan luput dari kesempurnaan nikmat itu dan ditangannya hanya terdapat kata-kata yang hampa dan sia‑sia belaka. Ilham terus menerus turun kepada jutaan hamba saleh, akan tetapi derajat mereka di sisi Allah tidak sama. Bahkan para nabi suci Allah, sebagai penerima ilham yang paling utama dan paling bersih sekalipun, tidak sama derajat mereka. Allah Ta’ala berfirman:
Yakni, sebagian nabi memperoleh fadhilah (keunggulan/ kelebihan) atas sebagian nabi lainnya (2:254). Dari situ terbukti bahwa ilham merupakan karunia semata, dan tidak ada campur-tangan dalam urusan fadhilah. Melainkan, fadhilah itu sesuai dengan kadar ketulusan, keikhlasan, dan kesetiaan yang diketahui oleh Allah. Ya, ilham pun apabila disertai syarat‑syaratnya yang beberkat, maka buahnya juga akan ada. Dalam hal ini tidak diragukan lagi jika ilham turun dalam corak demikian, yakni sang hamba bertanya dan Allah menjawabnya -- dengan cara itu terjadi tanya-jawab dalam suatu pola tertentu dan di dalam ilham tersebut terdapat keperkasaan dan nur Ilahi serta mengandung ilmu‑ilmu gaib atau makrifat-makrifat sejati -- maka itu adalah ilham Ilahi. Di dalam ilham Ilahi adalah mutlak bahwa seperti halnya seorang sahabat yang bertemu dengan sahabatnya lalu saling bercakap-cakap, maka demikian pulalah hendaknya percakapan yang berlangsung antara Rabb dan hamba‑Nya. Dan tatkala sang hamba bertanya tentang suatu hal, maka dia akan mendengarkan dari Allah Ta’ala suatu kalam yang lezat lagi fasih sebagai jawabannya. Di situ sedikit pun tidak ada campur-tangan nafsu, pemikiran dan renungan sang hamba. Dan mukalamah serta mukhatabah tersebut menjadi suatu hadiah baginya. Jadi, itu adalah Kalam Ilahi. Dan hamba yang demikian itu memperoleh kehormatan di sisi Allah. Akan tetapi derajat ini -- yang di dalamnya ilham merupakan suatu hadiah, dan Allah menjalin suatu hubungan ilham yang hidup dan suci dengan hamba-Nya, serta berlangsung dengan bersih dan suci -- tidak akan diraih oleh siapa pun kecuali mereka yang maju dalam keimanan, keikhlasan, dan amal-amal saleh, serta dalam hal-hal tertentu yang tidak dapat kami jelaskan. Ilham yang sejati dan suci menampakkan keajaiban‑keajaiban agung Ketuhanan. Acapkali terbit suatu sinar yang amat berkilauan, dan bersamaan dengan itu turun suatu ilham yang penuh dengan keperkasaan serta kecemerlangan. Adakah suatu kemuliaan yang lebih besar dari yang diperoleh seorang mulham, yaitu bercakap-cakap dengan Pencipta langit dan bumi? Di dunia ini peluang untuk melihat Allah ialah bercakap-cakap dengan-Nya. Akan tetapi dalam uraian kami ini yang dimaksudkan bukanlah keadaan seorang manusia yang dari lidahnya mengalir suatu kata atau kalimat atau syair tanpa dasar tapi tidak disertai peristiwa mukalamah dan mukhatabah. Bahkan orang demikian itu terperangkap dalam ujian Allah. Sebab, Allah dengan cara itu juga menguji hamba‑hamba yang malas dan lalai. Yakni, adakalanya Dia mencetuskan suatu kalimat atau ungkapan di dalam hati atau lidah seseorang, maka orang itu pun menjadi seperti buta. Ia tidak tahu dari mana kalimat itu datang -- apakah dari Tuhan atau dari syaitan. Jadi, adalah wajib beristighfar terhadap kalimat-kalimat semacam itu. Akan tetapi, apabila seorang hamba yang saleh lagi baik mulai memperoleh percakapan dengan Allah tanpa tabir, dan sebagai mukhatabah serta mukalamah ia mendengar suatu kalam yang bersinar‑sinar, lezat, penuh makna, penuh hikmah serta penuh keperkasaan, dan sedikitnya dia sering mengalami peristiwa dimana terjadi sepuluh kali soal-jawab di antara Tuhan dengan dia dalam keadaan sadar, ia bertanya dan Tuhan menjawab, kemudian dalam keadaan sadar itu juga ia menyampaikan suatu hal lain dan Tuhan pun menjawabnya; lalu ia memohon dengan rendah hati, Tuhan menjawabnya pula, demikian juga sampai sepuluh kali terus berlangsung percakapan antara Tuhan dengan dia, dan Tuhan telah berkali‑kali mengabulkan do’a‑do’anya di dalam percakapan-percakapan itu; membukakan kepadanya makrifat-makrifat yang tinggi, mengabarkan kepadanya peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi, dan di dalam soal-jawab itu berkali-kali Allah menganugerahkan kepadanya percakapan secara terbuka, maka orang yang seperti itu hendaknya banyak bersyukur kepada Allah Ta’ala dan hendaknya paling banyak berkorban di jalan Allah. Sebab, semata‑mata karena kemurahan‑Nya, Allah telah memilih orang itu di antara sekalian hamba‑Nya dan menjadikan dia sebagai pewaris para shiddiq yang telah mendahului dia. Nikmat ini sangat jarang terjadi dan merupakan suatu keberuntungan. Barangsiapa memperolehnya maka segala sesuatu selain itu akan menjadi tidak berarti sama sekali.
Keistimewaan Islam
Di dalam Islam orang-orang yang memiliki martabat dan derajat itu senantiasa ada. Dan hanya dalam Islam sajalah Tuhan mendekati sang hamba dan bercakap‑cakap dengan dia. Tuhan berbicara di dalam dirinya, dan di dalam hatinya Dia mendirikan singgasana‑Nya, dan dari dalam diri orang itulah Dia menariknya ke Langit serta melimpahkan kepada orang itu segala nikmat yang pernah diberikan‑Nya kepada orang‑orang terdahulu. Sungguh sayang sekali, dunia yang buta ini tidak mengetahui kemana manusia akan sampai setelah setapak demi setapak mendekati Tuhan. Mereka sendiri tidak melangkahkan kaki ke arah itu, sedangkan orang-orang yang melangkahkan kaki kesana mereka nyatakan kafir, atau sebaliknya dianggap sembahan dan diberi kedudukan sebagai tuhan. Kedua sikap itu adalah aniaya. Yang satu karena terlalu melebih‑lebihkan, dan yang kedua karena mengecilkan. Akan tetapi orang-orang bijak hendaknya jangan putus-asa serta jangan mengingkari martabat dan derajat itu, dan jangan menghinakan orang yang telah memperoleh martabat tersebut, serta jangan pula mulai menyembahnya. Pada martabat ini Allah Ta’ala memperlihatkan hubungan-hubungan dengan hamba itu sedemikian rupa seakan‑akan jubah Ketuhanan telah dikenakan kepadanya. Dan orang semacam itu menjadi cermin untuk melihat Tuhan. Inilah rahasia yang telah disabdakan oleh Nabi kita saw.: “Barangsiapa yang melihatku, ia telah melihat Tuhan.” Ringkasnya, ini merupakan peringatan keras bagi para hamba dan disitulah berakhir seluruh suluk (perjalanan menuju kesempurnaan rohani) dan disitulah ketenteraman sempurna diraih.
Penceramah Memperoleh Anugerah Mukalamah dan Mukhabatah Ilahiyah
Saya akan merasa berbuat aniaya terhadap umat manusia seandainya pada saat ini saya tidak menyatakan bahwa derajat yang definisi-definisinya telah saya uraikan dan martabat mukalamah mukhatabah yang baru saja saya terangkan secara rinci itu, anugerah Ilahi telah melimpahkannya kepada saya, supaya saya memberikan penglihatan kepada orang-orang yang buta, dan kepada para pencari memberitahukan alamat sesuatu yang telah hilang itu, dan memperdengarkan kabar suka kepada mereka yang mengakui kebenaran mengenai mata air suci yang disebut-sebut oleh banyak orang namun sedikit yang menemukan-nya. Saya ingin meyakinkan para pendengar bahwa Tuhan -- yang dengan menemukan-Nya timbul keselamatan dan kebahagiaan abadi bagi manusia -- sama sekali tidak akan dapat ditemukan tanpa mengikuti Alquran Suci. Ah, seandainya orang‑orang melihat apa yang telah saya lihat, mendengar apa yang telah saya dengar, dan meninggalkan dongeng-dongeng serta berlari ke arah kebenaran. Sarana ilmu sempurna yang melaluinya Tuhan akan tampak, air pembilas segala kotoran yang melaluinya segenap keraguan akan lenyap, dan cermin yang melaluinya akan tampak Wujud Maha Agung itu, adalah mukalamah dan mukhatabah Ilahiyah yang baru saja saya uraikan. Siapa saja yang di dalam ruhnya terdapat kedambaan untuk meraih kebenaran, bangkit dan carilah. Saya mengatakan dengan sebenarnya, jika di dalam ruh timbul gejolak pencarian sejati dan di dalam hati timbul kehausan hakiki, maka orang-orang hendaknya mencari jalan ini dan sibuk dalam upaya untuk menemukannya. Akan tetapi, dari arah mana jalan ini akan terbuka dan dengan obat apa tirai ini akan tersingkap? Saya pastikan kepada para pencari kebenaran bahwa hanya Islam sajalah yang memberikan khabar suka tentang jalan itu. Sedangkan umat-umat lain semenjak lama telah memasang segel penutup ilham Ilahi. Jadi, pahamilah dengan seyakin-yakinnya bahwa segel ini bukanlah berasal dari Tuhan, melainkan suatu dalih yang diciptakan oleh manusia karena dia sendiri tidak menerimanya. Dan pahamilah dengan seyakin-yakinnya bahwa sebagaimana kita tidak mungkin dapat melihat tanpa mata, atau mendengar tanpa telinga, atau berbicara tanpa lidah, demikian pula kita tidak mungkin dapat melihat Wajah Sang Kekasih Tersayang itu tanpa Alquran. Dahulu saya muda, sekarang sudah tua, namun saya tidak menemukan seorang pun yang telah berhasil meneguk minuman dari mangkuk makrifat yang nyata itu tanpa melalui mata air suci ini.
Sarana untuk Memperoleh Ilmu Sempurna adalah Ilham Allah Ta’ala
Wahai saudara‑saudara! Wahai orang-orang tercinta! Tidak ada seorang manusia pun yang dapat melawan kehendak-kehendak Tuhan. Pahamilah dengan seyakin‑yakinnya bahwa sarana untuk memperoleh ilmu sempurna adalah ilham Allah Ta’ala yang telah diperoleh para nabi suci Allah Ta’ala. Kemudian sesudah itu Tuhan yang merupakan sungai karunia, sama-sekali tidak berkehendak memasang segel penutup pada ilham itu selanjutnya guna membinasakan dunia dengan cara demikian. Melainkan pintu‑pintu ilham dan mukalamah serta mukhatabah senantiasa terbuka. Ya, carilah pintu‑pintu itu melalui jalannya masing-masing, barulah kalian akan menemukannya dengan mudah. Air kehidupan itu turun dari Langit dan menetap pada tempatnya yang layak. Sekarang, apa yang seharusnya kalian lakukan agar kalian dapat meminum air itu? Yang seharusnya kalian lakukan adalah, capailah mata air itu dengan jatuh bangun. Kemudian letakkanlah mulut kalian pada mata air itu supaya kalian diminumkan air kehidupan tersebut. Segala keberuntungan manusia adalah, dimana pun terlihat cahaya maka dia berlari ke arah itu. Dan dimana pun nampak jejak sahabatnya yang hilang, dia akan menempuh jalan itu. Kalian menyaksikan bahwa selamanya cahaya turun dari langit dan menerpa bumi. Demikian pula cahaya hakiki petunjuk turun dari Langit juga. Ucapan-ucapan dan dugaan-dugaan manusia sendiri tidak dapat memberikan makrifat sejati kepadanya. Apakah kalian dapat menemukan Tuhan tanpa adanya penampakkan Ilahiyah? Apakah kalian dapat melihat dalam kegelapan tanpa adanya cahaya langit? Seandainya dapat, maka mungkin di tempat ini pun kalian dapat melihat. Akan tetapi, walaupun mata kita dapat melihat, kita tetap saja memerlukan cahaya langit. Dan walaupun telinga kita dapat mendengar, kita tetap saja memerlukan udara yang bergerak dari arah Tuhan. Suatu tuhan yang diam dan membiarkan segala sesuatu bergantung pada dugaan-dugaan kita, bukanlah tuhan yang sejati. Justru tuhan yang sempurna dan hidup adalah Tuhan yang memberitahukan sendiri tentang keberadaan Wujud‑Nya. Dan sekarang pun Dia masih berkehendak untuk memberitahukan sendiri tentang keberadaan Wujud-Nya. Jendela-jendela Langit sedang akan terbuka. Fajar sidik hampir menyingsing. Beberkatlah mereka yang bangkit duduk dan kini mencari Tuhan yang sejati. Itulah Tuhan yang tidak mengenal perubahan dan tidak pernah tertimpa musibah, yang cahaya keperkasaan-Nya tidak pernah pudar. Allah Ta’ala berfirman di dalam Alquran Suci:
Yakni, Tuhan-lah yang setiap saat merupakan cahaya langit dan cahaya bumi (24:36). Cahaya daripadanya menerpa semua tempat. Dia-lah Matahari bagi matahari; Dia-lah Nyawa bagi seluruh makhluk bernyawa yang ada di dunia. Dia-lah Tuhan yang sejati dan yang hidup. Beberkahlah orang yang menerima-Nya.
Sarana ketiga untuk memperoleh ilmu ialah hal-hal yang terdapat pada martabat haqqul yaqin, yaitu segala penderitaan, musibah dan kesusahan yang dialami para nabi serta orang-orang saleh di tangan musuh, atau atas keputusan samawi. Akibat penderitaan-penderitaan dan kesusahan-kesusahan semacam ini, maka semua petunjuk syariat yang tadinya ada dalam hati manusia hanya secara ilmu belaka, akan berlaku padanya dan berubah ke dalam bentuk amalan. Kemudian, setelah tumbuh dan berkembang dari lahan amal, sampailah petunjuk-petunjuk syariat itu ke taraf kesempurnaan total. Dan wujud si pelaku amal itu sendiri menjadi suatu penjelmaan sempurna petunjuk‑petunjuk Tuhan. Semua akhlak -- kepemaafan, pembalasan, kesabaran, dan kasih sayang -- yang tadinya hanya memenuhi otak dan hati, kini seluruh bagian tubuh memperoleh jatah dari akhlak-akhlak itu berkat penerapan secara amal, dan menggoreskan gambaran serta jejak-jejaknya setelah berlaku pada seluruh tubuh. Sebagaimana Allah swt. berfirman:
Yakni, Kami akan menguji kalian dengan ketakutan dan kelaparan dan kerugian harta dan kehilangan jiwa dan kegagalan usaha dan kematian anak keturunan. Yakni, semua penderitaan ini akan menimpa kalian sebagai keputusan takdir atau karena perbuatan tangan musuh. Adalah khabar suka bagi orang-orang yang pada waktu tertimpa musibah hanya berkata, “Kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah-lah kami akan kembali.” Bagi mereka terdapat berkat dan rahmat dari Allah, dan mereka inilah orang‑orang yang telah mencapai kesempurnaan petunjuk (2:156‑158). Yakni, sekedar memiliki ilmu yang memenuhi hati dan otak, tidaklah berarti apa-apa. Justru, pada hakikatnya ilmu adalah sesuatu yang turun dari otak lalu memberikan budaya serta warna kepada segenap bagian tubuh, dan mewujudkan seluruh ingatan dalam bentuk amal. Jadi, sarana utama untuk memperkokoh ilmu dan untuk mengembangkannya ialah menuangkan ilmu itu ke seluruh bagian tubuh dalam bentuk amalan. Tidak ada ilmu yang paling rendah sekalipun dapat mencapai kesempurnaan-nya tanpa penerapan secara amal. Misalnya, sejak lama kita berpendapat bahwa memasak roti adalah pekerjaan yang sangat mudah dan tidak pelik. Pekerjaan itu hanya sekedar membuat adonan tepung gandum, dan dari adonan itu diambil sekepal, cukup untuk sepotong roti, lalu dilebarkan dengan menghimpitnya pada kedua telapak tangan, kemudian ditaruh di atas loyang, lalu dibolak‑balik di atas api supaya bakarannya merata, maka roti pun akan matang. Ini hanyalah teori ilmu kita saja. Tetapi apabila kita tanpa pengalaman mulai memasak, maka pertama-tama kesulitan yang akan kita hadapi ialah membuat adonan yang bagus. Karena, jika tidak, bisa keras seperti batu atau terlalu lembek sehingga tidak dapat digunakan dengan semestinya. Dan andaikata sesudah dipukul-pukul dan dibanting-banting, kita berhasil juga menyiapkan adonan, maka keadaan roti itu ada sebagian yang hangus dan sebagian lagi masih mentah. Di bagian tengah tebal dan di bagian pinggir tidak merata. Padahal sudah lima puluh tahun kita selalu menyaksikan roti dimasak.
Ringkasnya, hanya dengan bekal ilmu saja, yang belum pernah dipraktekkan, kita akan menyia‑nyiakan berkilo‑kilo tepung gandum. Jadi, tatkala dalam hal‑hal kecil saja pun sudah demikian keadaan ilmu kita, maka bagaimana mungkin kita dapat bertumpu sepenuhnya pada ilmu semata dalam perkara-perkara besar tanpa penerapan dan praktek secara amalan. Jadi, di dalam ayat‑ayat ini Allah Ta’ala mengajarkan bahwa, “Musibah-musibah yang Aku timpakan kepada kalian, itu pun merupakan sarana ilmu dan pengalaman. Yakni dengan itu ilmu kalian akan menjadi sempurna.”
Dan kemudian lebih lanjut Dia berfirman: “Kalian akan diuji juga dalam harta dan jiwa kalian. Orang‑orang akan merampas harta kalian, akan membunuh kalian dan kalian akan sangat diganggu melalui tangan orang-orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang musyrik. Mereka akan melontarkan kata‑kata yang sangat hina mengenai kalian. Jadi, apabila kalian sabar dan menghindari hal‑hal yang bukan‑bukan, maka sikap demikian itu merupakan suatu keteguhan dan kekesatriaan” (3:187). Makna keseluruhan ayat ini ialah, ilmu yang beberkat yaitu ilmu yang memperlihatkan kecemerlangannya sampai ke taraf amal terapan. Sedangkan ilmu yang sia-sia ialah yang tetap terkurung dalam batas ilmu saja namun tidak pernah mencapai taraf penerapan secara amalan.
Hendaknya diketahui bahwa seperti halnya harta bertambah dan berlipat ganda melalui perniagaan, demikian pula ilmu akan mencapai kesempurnaan rohaniahnya melalui terapan amal. Jadi, terapan amal merupakan sarana utama untuk menyampaikan ilmu ke taraf sempurna. Melalui terapan, di dalam ilmu akan timbul cahaya. Dan pahamilah, sarana apa lagi untuk dapat mencapai taraf haqqul yaqin ilmu? Tidak lain ialah, menguji segala sisinya secara amal terapan. Demikianlah yang telah berlaku dalam Islam. Segala sesuatu yang telah diajarkan Allah Ta’ala kepada manusia dengan perantaraan Alquran, kepada mereka diberikan kesempatan untuk mencemerlangkan ajaran tersebut dalam bentuk amal terapan serta memperoleh cahaya sepenuhnya dari itu.
Dua Periode Kehidupan Rasulullah saw.
Untuk tujuan itulah Allah Ta’ala membagi kehidupan Nabi kita saw. dalam dua bagian.
Bagian pertama adalah periode penderitaan, kesulitan dan kesusahan. Sedangkan bagian kedua merupakan periode kemenangan. Supaya, pada masa-masa sulit dapat tampil akhlak-akhlak yang memang biasa tampil pada saat-saat kesulitan, dan supaya pada masa-masa kemenangan serta kekuasaan dapat terbukti akhlak-akhlak yang memang tidak dapat dibuktikan tanpa adanya kekuasaan. Maka, demikianlah bahwa kedua jenis akhlak Rasulullah saw. telah terbukti sempurna dan jelas, sehubungan dengan berlakunya kedua periode serta kedua kondisi tersebut. Zaman-zaman penderitaan yang dialami selama 13 tahun oleh Nabi kita saw. di Mekkah Mu’azzamah, dengan membaca riwayat hidup beliau pada periode itu, maka dengan jelas akan diketahui bahwa Rasulullah saw. telah memperlihatkan akhlak-ahklak yang memang seharusnya diperlihatkan oleh seorang saleh sempurna pada saat-saat sulit -- yaitu, tetap tawakkal kepada Allah, tidak berkeluh kesah, tidak memperlihatkan kemalasan dalam tugas, dan tidak takut terhadap sosok seseorang -- sedemikian rupa sehingga orang-orang kafir menjadi beriman karena menyaksikan istiqamah yang demikian itu dan memberikan kesaksian bahwa istiqamah serta ketabahan dalam penderitaan seperti itu tidak dapat dilakukan oleh seseorang sebelum dia bergantung sepenuhnya kepada Allah.
Dan kemudian tatkala periode kedua datang, yaitu zaman kemenangan, kekuasaan dan kemakmuran, pada zaman itu pun akhlak-akhlak luhur Rasulullah saw. -- kepemaafan, kedermawanan, dan keberanian -- tampil sedemikian rupa sempurnanya se-hingga segolongan besar orang kafir menjadi beriman setelah menyaksikan akhlak-akhlak tersebut. Beliau memaafkan orang-orang yang menyakiti beliau dan memberikan perlindungan kepada orang-orang yang mengusir beliau dari Mekkah. Beliau melimpahkan harta kepada orang-orang yang memerlukan dari kalangan mereka. Dan setelah memperoleh kekuasaan, beliau mengampuni musuh-musuh besar beliau. Demikianlah banyak sekali orang yang menyaksikan akhlak beliau saw. lalu memberikan kesaksian bahwa, selama seseorang bukan berasal dari Allah dan benar-benar saleh, sama sekali dia tidak akan dapat memperlihatkan akhlak tersebut. Itulah sebabnya mengapa kedengkian para musuh beliau yang sudah lama berkobar, langsung lenyap. Akhlak paling utama beliau yang telah beliau saw. buktikan adalah akhlak yang telah diuraikan di dalam Alquran Suci, yaitu:
Yakni, katakan kepada mereka, “Ibadahku dan pengorbanan-ku dan matiku serta hidupku ada di jalan Allah” (6:163). Yakni, untuk menzahirkan keperkasaan-Nya dan kemudian untuk memberikan ketenteraman kepada hamba-hamba-Nya, sehingga dengan kematianku mereka memperoleh kehidupan.
Disini yang telah disinggung adalah mati di jalan Allah dan demi kebaikan umat manusia. Jangan pula ada yang berpendapat dari itu bahwa beliau saw. na’uzubillah, seperti halnya orang-orang bodoh dan gila, beliau sungguh-sungguh telah berniat melakukan bunuh diri. Yaitu dengan pemahaman bahwa membunuh diri sendiri melalui suatu alat akan memberikan manfaat kepada orang lain. Justru beliau saw. sangat menentang hal-hal yang sia-sia itu. Dan Alquran telah menetapkan perbuatan bunuh diri itu sebagai suatu dosa besar dan patut dihukum. Sebagaimana Dia berfirman:
Yakni, janganlah kamu bunuh diri dan janganlah kematianmu terjadi karena tanganmu sendiri (2:196). Jelaslah, jika misalnya perut si Khalid sakit, dan karena kasihan kepadanya lalu si Zaid memecahkan kepalanya sendiri, maka Zaid tidaklah berarti melakukan kebaikan terhadap Khalid. Melainkan dia telah memecahkan kepalanya dengan sikap yang tolol. Barulah akan merupakan amal saleh apabila Zaid berusaha keras dengan jalan yang tepat dan bermanfaat bagi si Khalid; menyediakan obat-obat mujarab baginya; merawatnya sesuai dengan kaedah-kaedah kedokteran. Akan tetapi dengan memecahkan kepalanya sendiri tidak ada suatu manfaat pun yang sampai kepada Zaid. Dia dengan sia-sia telah menyakiti salah satu anggota badannya yang mulia. Ringkasnya, maksud ayat ini adalah, Rasulullah saw. telah mewakafkan jiwa untuk kebahagiaan umat manusia melalui solidaritas yang hakiki dan kerja keras. Dan dengan do’a, dengan jalan tabligh, dengan memikul beban penderitaan mereka, dan dengan cara yang tepat serta bijak, beliau telah mengorbankan jiwa dan ketenteraman beliau di jalan itu. Sebagaimana Allah swt. berfirman:
Apakah engkau akan membinasakan diri engkau dalam kesedihan dan kerja keras yang engkau lakukan untuk orang-orang? (26:4). Dan apakah engkau akan melepas nyawa engkau dengan penuh penyesalan bagi orang-orang yang tidak menerima kebenaran itu? (35:9). Jadi, cara bijaksana untuk mengorbankan jiwa demi kaum adalah, menimpakan kerja keras atas jiwa untuk kebaikan kaum, sesuai dengan cara-cara bermanfaat hukum kodrat; mengorbankan jiwa demi mereka dengan menempuh upaya-upaya yang tepat; tidak memukulkan batu ke kepala sendiri setelah menyaksikan kaum itu berada di dalam bencana besar atau kesesatan serta mendapatkannya dalam kondisi yang fatal; atau tidak menelan dua atau tiga butir strychnine (racun) agar mati meninggalkan dunia, dan kemudian beranggapan bahwa, “Kami telah menyelamatkan kaum melalui sikap kami yang sia-sia ini.” Ini bukanlah sikap jantan, melainkan perangai wanita. Cara yang senantiasa ditempuh oleh orang-orang yang tidak punya semangat adalah, tatkala mereka mendapatkan bencana itu tidak sanggup untuk dihadapi, maka mereka segera mengambil sikap bunuh diri. Perbuatan bunuh diri demikian, walaupun di kemudian hari diberi macam-macam penafsiran, namun tidak diragukan lagi bahwa sikap itu merupakan aib bagi akal dan bagi orang-orang yang berakal. Akan tetapi jelas bahwa seseorang yang tidak mempunyai kesempatan untuk membalas, kesabarannya serta sikapnya yang tidak melawan musuh tidaklah dapat dipercaya. Sebab, siapa yang tahu, seandainya dia kuasa untuk membalas maka apa saja yang dia lakukan. Selama manusia belum menjalani kedua zaman tersebut -- pertama zaman penderitaan, dan kedua zaman kekuasaan dan pemerintahan serta kemakmuran -- selama itu pula akhlak-akhlaknya yang asli tidak dapat tampil sama sekali. Sangat jelas bahwa seseorang yang terus-menerus mengalami serangan dari pihak lain hanya ketika berada dalam kondisi lemah, tidak punya apa-apa dan tidak berkuasa, serta tidak memperoleh zaman kekuasaan dan pemerintahan serta kemakmuran, maka sedikit pun tidak ada yang dapat dibuktikan dari akhlak-akhlaknya. Dan jika seseorang tidak pernah turun ke medan perang, maka ini pun tidak akan terbukti, apakah dia seorang pemberani atau pengecut. Kita tidak dapat mengatakan apa pun berkenaan dengan akhlak-akhlaknya. Sebab, kita tidak tahu. Kita tidak mengetahui seandainya dia meraih kekuasaan atas musuh-musuhnya, apa saja sikap yang diambil terhadap mereka. Dan seandainya dia kaya-raya, apakah dia menimbun harta itu, atau membagi-bagikannya kepada orang. Dan seandainya dia turun ke suatu medan pertempuran, apakah dia melarikan diri tunggang-langgang atau memperlihatkan kejantanannya seperti para kesatria. Akan tetapi anugerah serta karunia Ilahi telah memberikan kesempatan kepada Nabi kita saw. untuk memperlihatkan akhlak-akhlak tersebut. Demikianlah bahwa sifat-sifat beliau yang pemurah, pemberani, lemah-lembut, pemaaf dan adil, telah tampil pada kesempatannya masing-masing dengan begitu sempurnanya sehingga tidak dapat dicari bandingannya di dalam lembaran sejarah dunia. Di dalam kedua periode kehidupan beliau -- zaman ketika masih lemah dan ketika berkuasa, zaman ketika tidak memiliki apa-apa dan ketika dipenuhi oleh kemakmuran -- beliau telah memperlihatkan kepada seluruh dunia bahwa wujud suci beliau itu merupakan himpunan akhlak yang bertaraf sangat mulia. Dari antara akhlak fadhilah, tidak ada satu akhlak manusia pun yang untuk menzahirkannya Allah Ta’ala tidak memberikan suatu peluang kepada beliau. Segenap akhlak fadhilah -- keberanian, kemurahan hati, keteguhan, kepemaafan, kelemah-lembutan, dan sebagainya -- telah terbukti sedemikian rupa sehingga mustahil mencari bandingannya di dunia. Ya, memang benar, barangsiapa telah berbuat aniaya sampai melampaui batas dan ingin menghancurkan Islam, mereka pun tidak dibiarkan oleh Allah tanpa hukuman. Sebab, membiarkan mereka tanpa hukuman, berarti seolah-olah mengancurkan orang-orang saleh di bawah kaki mereka.
Tujuan Peperangan Rasulullah saw.
Tujuan peperangan Rasulullah saw. sekali-kali bukanlah untuk sekedar membunuhi orang-orang tanpa sebab. Mereka telah diusir dari tanah leluhur mereka. Dan banyak sekali kaum pria serta kaum wanita Muslim yang tidak berdosa telah dibunuh. Sedangkan orang-orang zalim belum juga berhenti dari berbuat zalim, dan mereka menghambat ajaran Islam. Untuk itu, hukum Tuhan berkenaan dengan keamanan, menghendaki untuk menyelamatkan orang-orang yang teraniaya dari kehancuran total. Jadi, pihak yang telah menghunus pedang, dengan merekalah telah dilakukan perlawanan dengan pedang.
Ringkasnya, untuk mematahkan ancaman para pembunuh, peperangan-peperangan itu telah dilangsungkan sebagai upaya menangkal kejahatan, dan telah dilangsungkan pada saat orang-orang zalim berkeinginan menghancurkan orang-orang benar. Dalam kondisi itu jika Islam tidak menerapkan aksi pembelaan diri, maka ribuan anak dan kaum wanita tak berdosa akan terbunuh, sehingga akhirnya Islam menjadi hancur.
Hendaknya diingat bahwa ini merupakan kebengisan besar para penentang kami, mereka beranggapan bahwa petunjuk ilhamiyah hendaknya tidak mengandung ajaran untuk melawan para musuh pada tempat dan kesempatan apa pun, serta senantiasa memperlihatkan kecintaan dan kasih-sayang dalam bentuk kehalusan dan kelemah-lembutan. Orang-orang ini, di dalam benak mereka beranggapan bahwa dengan membatasi segenap sifat sempurna Allah hanya pada kehalusan dan kelemah-lembutan saja berarti mereka sedang menjunjung tinggi Allah swt. Akan tetapi, orang-orang yang menelaah dan merenungkan masalah ini, dengan mudah dapat terbuka kepada mereka bahwa orang-orang tersebut sedang terperangkap di dalam suatu kekeliruan besar dan nyata. Dengan menelaah hukum kodrat Allah, akan terbukti dengan jelas bahwa Dia memang satu-satunya Rahmat bagi dunia. Akan tetapi rahmat itu tidak selamanya dan tidak dalam setiap kondisi tampil dengan corak kehalusan dan kelembutan. Justru semata-mata karena dorongan rahmat-Nya, Dia -- bagai seorang dokter ahli -- kadang-kadang memberikan sirup yang manis kepada kita dan kadang-kadang memberikan obat yang pahit. Rahmat-Nya menerpa seluruh umat manusia seperti halnya seorang di antara kita yang menyayangi seluruh bagian tubuhnya. Tidak dapat diragukan lagi bahwa tiap orang di antara kita menyayangi seluruh bagian wujudnya. Dan kalau ada yang ingin mencabut sehelai saja rambut kita, maka kita akan sangat marah kepadanya. Akan tetapi, kendatipun kita menyayangi tubuh kita, rasa sayang itu terbagi-bagi di dalam segenap tubuh kita. Dan seluruh bagian tubuh kita itu terasa sayang oleh kita. Kita tidak ingin satu pun di antaranya cedera. Akan tetapi, walaupun demikian, jelas terbukti bahwa kita tidak menyayangi bagian-bagian tubuh kita pada taraf dan kadar yang sama. Melainkan, rasa sayang terhadap anggota-anggota badan yang pokok serta penting, yang sedikit banyak merupakan tumpuan bagi tujuan kita, menguasai hati kita. Demikian pula, pada pandangan kita rasa sayang terhadap seluruh tubuh seutuhnya adalah lebih besar dibandingkan dengan rasa sayang terhadap salah satu anggota tubuh. Jadi, apabila kita menghadapi keadaan bahwa keselamatan suatu bagian tubuh bertumpu pada upaya penyayatan atau pembedahan atau pemotongan bagian tubuh yang kurang penting, maka untuk menyelamatkan jiwa, tanpa ragu kita siap untuk membedah atau memotong bagian tubuh tersebut. Dan walaupun pada saat itu di dalam hati kita juga timbul rasa sedih -- bahwa kita membedah atau memotong satu bagian tubuh kita yang disayangi -- akan tetapi kita tetap terpaksa melakukan pemotongan dengan pemikiran: jangan-jangan peradangan pada bagian tubuh tersebut dapat merusak bagian tubuh penting lainnya. Jadi, melalui tamsil ini hendaknya dipahami bahwa Allah pun tatkala melihat hamba-hamba saleh-Nya sedang dibinasakan oleh para pemuja kebatilan, dan kerusuhan pun merebak, maka Dia akan melakukan upaya yang tepat untuk menyelamatkan nyawa orang-orang saleh dan untuk menumpas kerusuhan -- tidak perduli apakah dari langit maupun dari bumi. Sebabnya adalah, Dia merupakan Rahim (Maha Pengasih) dan juga Hakim (Maha Bijaksana).
0 komentar:
Post a Comment