75 Tahun Jemaat Ahmadiyah
Indonesia
Tujuhpuluh delapan tahun yang lalu negara Indonesia belum berdiri. Saat itu Indonesia Hindia Belanda meliputi wilayah yang persis sama dengan negara Indonesia sekarang ini. Hindia Belanda berada dalam penjajahan Kerajaan Belanda, yang telah menguasai Indonesia sejak abad ke 17. Meskipun demikian, Indonesia - atau dikenal dengan nama Hindia Belanda - pada saat itu sudah merupakan suatu negara besar yang terletak di persimpangan jalur perdagangan dan pemasaran internasional, serta memiliki sumber daya alam yang luar biasa, salah satu yang terbesar di dunia - yang sudah terkenal berabad-abad sebelum masyarakat Eropa mengenal peradaban. Dengan melihat hal ini, tidak mengherankan negara imperialis yang serakah seperti Belanda menduduki dan menjajahnya.
Tujuhpuluh delapan tahun yang lalu, masyarakat Indonesia telah dikenal sebagai masyarakat yang beragama. Sejak abad ke 9, saat masyarakat Eropa masih berkutat dengan kehidupan liar dan barbar serta belum mengenal peradaban yang tinggi, kerajaan-kerajaan Indonesia sudah dikenal sebagai pusat studi agama Budha dan Hindu. Para pelajar datang dari kerajaan-kerajaan di luar negeri, seperti India, Cina, Kamboja, dll. untuk belajar di Universitas Budha di Sumatera Selatan abad ke 9. Ketika Islam masuk ke Indonesia, orang-orang mulai masuk Islam, perlahan-lahan dan kemudian cepat meluas. Ketika orang-orang Eropa datang ke Indonesia, sebagian besar masyarakat Indonesia telah masuk Islam. Kemudian Indonesia mulai dikenal sebagai salah satu negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia.
Tujuhpuluh delapan tahun yang lalu, sekalipun masih berada dalam penjajahan Belanda, modernisasi Islam sudah mencapai Indonesia. Para ulama Islam Indonesia, khususnya dari Sumatera Barat mulai mengembangkan pemikiran mereka atas modernisasi Islam. Pengaruh mereka mencapai masyarakat jelata di beberapa negeri, seperti juga pengaruh dari para ulama Islam tradisional berakar di beberapa tempat lain di Indonesia.
Tujuhpuluh delapan tahun yang lalu, tiga pemuda dari Sumatera Tawalib - suatu pesantren Islam di Sumatera Barat - meninggalkan negeri mereka untuk melanjutkan sekolah agama mereka. Mereka adalah (alm) Abubakar Ayyub, (alm) Ahmad Nuruddin, dan (alm) Zaini Dahlan. Mereka masih sangat muda sekali saat mereka pergi, yang paling tua baru berusia duapuluh tahun sementara yang paling muda baru berusia enambelas tahun.
From left to right : Ahmad Nurdin, Abubakar Ayub, Zaini Dahlan
Pada awalnya mereka merencanakan untuk pergi ke Mesir, karena Mesir sudah lama terkenal sebagai pusat studi Islam. Tetapi para guru mereka di Sumatera Tawalib menyarankan mereka untuk pergi ke India, karena India mulai menjadi pusat pemikiran modernisasi Islam. Mereka berangkat secara terpisah, (alm) Abubakar Ayyub berangkat bersama dengan (alm) Ahmad Nuruddin, sedangkan (alm) Zaini Dahlan menyusul kemudian. Ketiga pemuda itu berkumpul kembali di Lucknow, India. Tidak seorang pun dari ketiganya saat itu menyangka - sesuai dengan takdir Ilahi - bahwa keberangkatan mereka akan menjadi satu peristiwa monumental terpenting dalam perkembangan Islam di Indonesia, khususnya bagi Ahmadiyah di Indonesia. Ketiga pemuda Indonesia itu segera sampai di Lahore dan sangat terkesan pada ajaran Ahmadiyah yang banyak mengubah berbagai aspek keimanan dan pemahaman mereka akan Islam, meskipun saat itu mereka mendapatinya dari Anjuman Isyaati Islam atau dikenal dengan nama Ahmadiyah Lahore. Segera ketiga pemuda itu mendapati bahwa sumber dari Ahmadiyah adalah dari Qadian, dan sekalipun ditentang dan dilarang oleh Anjuman Isyaati Islam (Ahmadiyah Lahore), ketiga pemuda itu pergi ke Qadian, pusat Jemaat Ahmadiyah yang didirikan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., Masih Mau’ud. Bukan hal yang aneh ketika ketiga pemuda itu segera baiat di tangan Hadhrat Khalifatul Masih II r.a., Hadhrat Haji Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a.. Peristiwa baiat ketiga pemuda itu akan mengubah wajah masyarakat Islam Indonesia di masa yang akan datang.
Ketiga pemuda Indonesia itu melanjutkan studi mereka di Madrasah Ahmadiyah.Tidak lama kemudian mereka merasa perlu membagi berkat karunia Tuhan yang telah mereka terima itu dengan rekan-rekan mereka di Sumatera Tawalib. Mereka mengundang rekan-rekan pelajar mereka di Sumatera Tawalib untuk belajar di Qadian. Tidak lama kemudian duapuluh tiga orang pemuda Indonesia dari Sumatera Tawalib bergabung dengan ketiga pemuda Indonesia yang terdahulu, untuk melanjutkan studi juga baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah.
Dua tahun setelah orang Indonesia yang pertama baiat ke dalam Ahmadiyah, Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. pergi ke Inggeris untuk menghadiri Seminar Agama-agama di Wembley, kemudian mengadakan kunjungan di Eropa. Setelah Hadhrat Khalifah kembali dari lawatan ke barat, para pelajar Indonesia menginginkan sekali agar negara mereka, Indonesia, mendapatkan karunia dari Hadhrat Masih Mau’ud a.s. melalui khalifahnya. Para pelajar kemudian mengundang Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. dalam suatu jamuan teh, yang di dalamnya (alm) Haji Mahmud - juru bicara para pelajar Indonesia - menyampaikan sambutan dalam Bahasa Arab, mengungkapkan harapan mereka bahwa sebagaimana Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. telah mengunjungi barat, mereka mengharapkan Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. berkenan mengunjungi ke timur, yaitu ke Indonesia. Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. menjawab dalam Bahasa Arab bahwa mereka jangan khawatir dan berduka cita, karena itu adalah tanda-tanda orang-orang tidak beriman. Dan Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. meyakinkan mereka bahwa karena Hadhrat Masih Mau’ud a.s. adalah Zulqarnain (yang memiliki dua tanduk), satu mengarah ke barat dan yang lain mengarah ke timur, maka pesan Hadhrat Masih Mau’ud akan mencapai Timur. Dan Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. juga meyakinkan mereka bahwa meskipun beliau sendiri tidak dapat mengunjungi Indonesia, beliau akan mengirim wakil beliau ke Indonesia. Kemudian, (alm) Maulana Rahmat Ali r.a. dikirim sebagai muballigh ke Indonesia sebagai pemenuhannya. Pada hari yang dibasahi hujan, pertengahan musim panas tahun 1925, Hadhrat Khalifatul Masih II r.a., Hadhrat Haji Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a. memimpin pelepasan (alm) Maulana Rahmat Ali r.a. berangkat ke Indonesia. Pondasi perkembangan Ahmadiyah di Indonesia telah diletakkan.
Perkembangan Ahmadiyah di Indonesia sangat menarik. Tidak seperti perkembangan Ahmadiyah di negara-negara lain, perkembangan Ahmadiyah di Indonesia memiliki suatu hal yang sangat khusus. Orang Indonesia-lah yang meminta Hadhrat Khalifah untuk mengirim muballigh ke Indonesia, untuk menyebarkan Ahmadiyah di Indonesia. Sementara di negara-negara lain, Hadhrat Khalifah-lah yang memutuskan untuk mengirimkan seorang muballigh ke negara tersebut, tanpa mereka minta. Itu merupakan suatu aspek khusus yang harus direnungkan dan diperhatikan oleh semua Ahmadi di Indonesia, dengan menyadari bahwa mereka harus bekerja keras untuk Ahmadiyah, mereka harus mengorbankan diri mereka untuk Islam dan Ahmadiyah, karena rakyat Indonesia-lah yang telah mengundang Ahmadiyah.
Takdir terus bergulir ketika Maulana Rahmat Ali r.a. tiba pertama kali di Tapaktuan, Aceh. Di sana ada beberapa orang Indonesia yang baiat masuk Ahmadiyah. Tidak lama kemudian Maulana Rahmat Ali r.a. berangkat menuju Padang, ibukota Sumatera Barat. Di Padang, titik balik terjadi, banyak kaum intelektual, ulama Islam dan tokoh-tokoh masuk ke dalam Ahmadiyah, demikian pula orang-orang biasa. Dan di Padang-lah pada tahun 1926 Ahmadiyah secara resmi berdiri sebagai suatu jemaat atau organisasi. Pada tahun 1931 Maulana Rahmat Ali r.a. berangkat menuju Jakarta, ibukota Indonesia. Dan perkembangan Ahmadiyah semakin cepat, banyak kaum intelektual, orang terpelajar, tokoh-tokoh terkenal dan masyarakat ningrat masuk ke dalam Ahmadiyah. Dan di Jakarta-lah Pengurus Besar Ahmadiyah didirikan dengan (alm) R. Muhyiddin sebagai Ketua pertamanya. Perkembangan cepat Ahmadiyah – dengan karunia Allah – sangat mencengangkan. Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. juga mengirimkan beberapa muballigh, dan para pelajar Indonesia yang belajar di Qadian mulai pulang kembali. Tetapi perkembangan itu bukan tanpa perjuangan. Para ulama Indonesia, baik tradisional maupun modernis terus menyerang dan menentang. Banyak perdebatan resmi terjadi antara Ahmadiyah dan ulama Islam lainnya, dan yang terbesar adalah dilaksanakan di Jakarta pada tahun 1933.
Karena Indonesia merupakan suatu titik penting di dunia, ketika Perang Dunia II pecah, Indonesia menjadi sasaran utama bagi pihak sekutu maupun pihak poros. Jepang, negara poros, segera menguasai Indonesia setelah Perang Pasifik - medan Perang Dunia II di Asia - pecah. Penjajahan Belanda berakhir,
R. Muhyiddin
dan dimulailah penguasa baru di Indonesia, periode baru dimulai. Sayangnya, penguasa baru tidak lebih baik dari penguasa lama, bahkan lebih keras. Penyebaran Ahmadiyah menjadi lambat, bahkan sebagian muballigh dan tokoh Jemaat, seperti (alm) M. Sayyid Syah Muhammad, (alm) M. Malik Aziz Ahmad Khan, (alm) M. Abdul Wahid, (alm) Sadkar, dll., dijebloskan ke dalam penjara. Hanya semata-mata karunia Allah bahwa mereka dibebaskan setelah mendekam beberapa lama di penjara, walaupun polisi rahasia militer Jepang, Kenpeitai, telah memutuskan untuk mengeksekusi sebagian dari mereka.
Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 membuka lebar masa depan yang lebih baik bagi Indonesia. Peristiwa itu juga membuka pintu pengorbanan bagi negara, sebagaimana Islam mengajarkan para pengikutnya mengkhidmati negara. Banyak Ahmadi Indonesia yang berkhidmat bagi negara dan mengorbankan diri mereka. Bahkan Ketua Nasional pertama Jemaat Ahmadiyah Indonesia, R. Muhyiddin mengorbankan jiwa beliau untuk negara. Beliau dibunuh oleh tentara Belanda pada tahun 1946 karena beliau merupakan salah satu tokoh penting kemerdekaan Indonesia. Juga ada beberapa Ahmadi yang bertugas sebagai prajurit di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan mengorbankan diri mereka untuk negara. Sementara para Ahmadi yang lain berperan di bidang masing-masing untuk kemerdekaan Indonesia, seperti (alm) M. Abdul Wahid dan (alm) M. Ahmad Nuruddin berjuang sebagai penyiar radio, menyampaikan pesan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Sementara itu, muballigh yang lain (alm) M. Sayyid Syah Muhammad merupakan salah satu tokoh penting sehingga Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, di kemudian hari menganugerahkan gelar veteran kepada beliau untuk dedikasi beliau kepada negara. Juga banyak Ahmadi yang berperan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Meskipun demikian, periode revolusi ini juga memberikan kesempatan kepada para musuh Ahmadiyah untuk menyerang dengan keji, baik secara fisik maupun mental. Banyak Ahmadi mukhlis yang mengorbankan jiwa mereka demi agama, disyahidkan oleh orang-orang muslim ortodoks yang memaksa mereka keluar dari Ahmadiyah. Di Tasikmalaya, beberapa orang Ahmadi disyahidkan karena mereka menolak untuk keluar dari Ahmadiyah, mereka tetap teguh dalam keimanan mereka sampai titik darah yang penghabisan. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un.
Periode 1950-an merupakan periode perkembangan cepat namun juga periode kesyahidan. Para pemberontak radikal, DI/TII, membantai beberapa orang Ahmadi di Jawa Barat. Kesalahan mereka hanyalah bahwa mereka tetap teguh dalam keimanan mereka, menolak untuk keluar dari Ahmadiyah. Tetapi juga pada tahun 1953, pemerintah mengesahkan Jemaat Ahmadiyah sebagai badan hukum dalam Republik Indonesia. Ini membuka pintu tabligh lebih besar lagi. Pengaruhnya tampak pada tahun 1950-1970 ketika banyak tokoh negara yang sangat akrab dengan Ahmadiyah dan dekat dengan orang-orang Ahmadi.
From left to right President Soekarno (The first President of The Republic Indonesia), Said Syah Muhammad(the then Amir/Raisut-tabligh Jamaat Indonesia), Hafiz Quadratullah, H. A. (Ahmadiyya Missionary) during the reception party of Independence Day (1950) in the Presidential Palace at Jakarta
Ahmadiyah tidak pernah berpolitik, meskipun ketegangan politik di Indonesia pada tahun 1960-an sangat tinggi. Pergulatan politik ujung-ujungnya membawa kejatuhan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, juga memakan banyak korban. Satu lambang era baru di Indonesia pada masa itu adalah gugurnya mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim, yang tidak lain melainkan seorang khadim Ahmadiyah. Dia terbunuh di tengah ketegangan politik masa itu dan menjadi simbol bagi era baru pada masa itu.
Sebagaimana upaya-upaya negara-negara Islam untuk menghancurkan Ahmadiyah melalui Rabithah Alam al Islami semakin menjadi-jadi di awal 1970-an, para ulama Indonesia mengikuti langkah mereka. Maka ketika Rabithah Alam al Islami menyatakan Ahmadiyah sebagai non muslim pada tahun 1974, sebagaimana Majelis Nasional Pakistan melakukan hal yang sama, para ulama Indonesia berjuang keras untuk terjun ke jurang yang sama. Sejak saat itu, Jemaat Ahmadiyah Indonesia menghadapi berbagai hambatan dan halangan dalam perkembangannya, baik dalam bidang tabligh maupun dalam bidang tarbiyat. Namun hal tersebut merupakan penggenapan nubuwatan Nabi Besar Muhammad s.a.w. bahwa para pengikut Imam Mahdi - pengikut sejati Rasulullah s.a.w. di akhir jaman - akan menghadapi keadaan yang sama dengan para sahabat Rasulullah s.a.w., sebagaimana disebutkan dalam Al Quran Surah Al Jumu’ah: 3-4.
Sejak saat itu banyak halangan dan hambatan yang semakin keras, meskipun demikian itu tidak mengurangi semangat dan keberanian berkorban dan pengkhidmatan dalam dada para Ahmadi Indonesia. Periode 1980-an adalah periode perjuangan sekaligus penekanan dari pemerintah dan para ulama. Pemerintah tidak mengijinkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia untuk mengadakan Jalsah Salanah maupun KPA untuk Khuddam-Athfal dan Lajnah Imaillah. Banyak mesjid Ahmadiyah yang dirubuhkan oleh massa yang dipimpin oleh ulama. Majelis Ulama Indonesia merekomendasikan kepada pemerintah untuk menyatakan Ahmadiyah sebagai non-Islam. Banyak Ahmadi yang menderita serangan secara fisik. Meskipun demikian, seperti para sahabat Rasulullah s.a.w., mereka tetap sabar dan tabah.
Periode 1990-an menjadi periode perkembangan pesat Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Perkembangan itu menjadi lebih cepat setelah Hadhrat Khalifatul Masih IV atba, Hadhrat Tahir Ahmad, mencanangkan program Baiat Internasional dan mendirikan Moslem Television Ahmadiyya (MTA). Meskipun demikian, perkembangan pesat Jemaat Ahmadiyah Indonesia tidak sepesat Jemaat Ahmadiyah secara internasional di seluruh dunia. Walau demikian, perkembangan Jemaat Ahmadiyah Indonesia tetap luar biasa dibandingkan dengan perkembangan di masa lalu. Dan dengan karunia Allah, kemajuan Jemaat Ahmadiyah Indonesia menjadi semakin pesat setiap tahun. Dan insya Allah akan menjadi lebih cepat lagi di tahun-tahun mendatang.
Krisis moneter, diikuti dengan krisis ekonomi dan ketegangan politik mewarnai Indonesia di akhir abad ini. Mundurnya Presiden Soeharto diganti oleh Presiden Baharuddin Jusuf Habibie, dan kemudian pemilihan umum Republik Indonesia di tahun 1999 menjadikan Abdurrahman Wahid sebagai presiden keempat Republik Indonesia, walau begitu, itu tidak menghentikan pergolakan politik dan ekonomi.
Meskipun demikian, keadaan ini memberi kesempatan kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia untuk mengkhidmati masyarakat. Pengungsi Timor Timur yang membanjiri wilayah Indonesia setelah jajak pendapat menyatakan bahwa Timor Timur ingin lepas dari Indonesia, memberikan kesempatan kepada Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia untuk mengirimkan tim Khidmat Khalq untuk berkhidmat secara terbuka. Juga dengan karunia Allah, setelah tigapuluh tahun, Menteri Negeri Pemberdayaan Wanita menghadiri Ijtima Lajnah Imaillah Indonesia pada tahun 2000. Kemajuan ini membuka pintu untuk rencana penting Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Ini memberikan kesempatan yang berharga bagi Jemaat Ahmadiyah Indonesia untuk mimpi, harapan dan keinginan yang sudah lama, yaitu kunjungan Khalifatul Masih ke Indonesia. Hanya semata-mata karunia Allah, Hadhrat Mirza Tahir Ahmad a.t.b.a, Hadhrat Khalifatul Masih IV datang ke Indonesia.
Indonesia memiliki tempat khusus dalam Jemaat Ahmadiyah, Indonesia memiliki nilai khusus dalam penyebaran Ahmadiyah di seluruh dunia. Orang-orang Indonesialah yang mengundang Ahmadiyah, tujuhpuluh lima tahun yang lalu. Orang-orang Indonesia-lah yang mengundang dan memohon karunia paling berharga dari Allah swt., yaitu Utusan-Nya. Suatu nilai yang sangat, sangat jarang. Dan sekarang, undangan yang telah dilayangkan tujuhpuluh lima tahun yang lalu telah dipenuhi, undangan kepada Khalifah Waqt, wakil-Nya di dunia, untuk datang ke Indonesia.
Ini bukanlah akhir, bahkan ini merupakan awal. Awal bagi seluruh Ahmadi Indonesia untuk meningkatkan dan berjuang lebih keras lagi demi Allah dan Jemaat-Nya. Jangan menjadi seperti umat Nabi Musa a.s. persis sebelum mereka memasuki Tanah yang Dijanjikan, yang menyebabkan kemurkaan Allah. Ikutilah Rasulullah saw. pada saat Perang Badar, ketika beliau saw. terus menerus berdoa dan memohon kepada Allah untuk menolong Islam, sekalipun Allah SWT telah menjanjikan kemenangan dalam Perang Badar
Tujuhpuluh delapan tahun yang lalu negara Indonesia belum berdiri. Saat itu Indonesia Hindia Belanda meliputi wilayah yang persis sama dengan negara Indonesia sekarang ini. Hindia Belanda berada dalam penjajahan Kerajaan Belanda, yang telah menguasai Indonesia sejak abad ke 17. Meskipun demikian, Indonesia - atau dikenal dengan nama Hindia Belanda - pada saat itu sudah merupakan suatu negara besar yang terletak di persimpangan jalur perdagangan dan pemasaran internasional, serta memiliki sumber daya alam yang luar biasa, salah satu yang terbesar di dunia - yang sudah terkenal berabad-abad sebelum masyarakat Eropa mengenal peradaban. Dengan melihat hal ini, tidak mengherankan negara imperialis yang serakah seperti Belanda menduduki dan menjajahnya.
Tujuhpuluh delapan tahun yang lalu, masyarakat Indonesia telah dikenal sebagai masyarakat yang beragama. Sejak abad ke 9, saat masyarakat Eropa masih berkutat dengan kehidupan liar dan barbar serta belum mengenal peradaban yang tinggi, kerajaan-kerajaan Indonesia sudah dikenal sebagai pusat studi agama Budha dan Hindu. Para pelajar datang dari kerajaan-kerajaan di luar negeri, seperti India, Cina, Kamboja, dll. untuk belajar di Universitas Budha di Sumatera Selatan abad ke 9. Ketika Islam masuk ke Indonesia, orang-orang mulai masuk Islam, perlahan-lahan dan kemudian cepat meluas. Ketika orang-orang Eropa datang ke Indonesia, sebagian besar masyarakat Indonesia telah masuk Islam. Kemudian Indonesia mulai dikenal sebagai salah satu negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia.
Tujuhpuluh delapan tahun yang lalu, sekalipun masih berada dalam penjajahan Belanda, modernisasi Islam sudah mencapai Indonesia. Para ulama Islam Indonesia, khususnya dari Sumatera Barat mulai mengembangkan pemikiran mereka atas modernisasi Islam. Pengaruh mereka mencapai masyarakat jelata di beberapa negeri, seperti juga pengaruh dari para ulama Islam tradisional berakar di beberapa tempat lain di Indonesia.
Tujuhpuluh delapan tahun yang lalu, tiga pemuda dari Sumatera Tawalib - suatu pesantren Islam di Sumatera Barat - meninggalkan negeri mereka untuk melanjutkan sekolah agama mereka. Mereka adalah (alm) Abubakar Ayyub, (alm) Ahmad Nuruddin, dan (alm) Zaini Dahlan. Mereka masih sangat muda sekali saat mereka pergi, yang paling tua baru berusia duapuluh tahun sementara yang paling muda baru berusia enambelas tahun.
From left to right : Ahmad Nurdin, Abubakar Ayub, Zaini Dahlan
Pada awalnya mereka merencanakan untuk pergi ke Mesir, karena Mesir sudah lama terkenal sebagai pusat studi Islam. Tetapi para guru mereka di Sumatera Tawalib menyarankan mereka untuk pergi ke India, karena India mulai menjadi pusat pemikiran modernisasi Islam. Mereka berangkat secara terpisah, (alm) Abubakar Ayyub berangkat bersama dengan (alm) Ahmad Nuruddin, sedangkan (alm) Zaini Dahlan menyusul kemudian. Ketiga pemuda itu berkumpul kembali di Lucknow, India. Tidak seorang pun dari ketiganya saat itu menyangka - sesuai dengan takdir Ilahi - bahwa keberangkatan mereka akan menjadi satu peristiwa monumental terpenting dalam perkembangan Islam di Indonesia, khususnya bagi Ahmadiyah di Indonesia. Ketiga pemuda Indonesia itu segera sampai di Lahore dan sangat terkesan pada ajaran Ahmadiyah yang banyak mengubah berbagai aspek keimanan dan pemahaman mereka akan Islam, meskipun saat itu mereka mendapatinya dari Anjuman Isyaati Islam atau dikenal dengan nama Ahmadiyah Lahore. Segera ketiga pemuda itu mendapati bahwa sumber dari Ahmadiyah adalah dari Qadian, dan sekalipun ditentang dan dilarang oleh Anjuman Isyaati Islam (Ahmadiyah Lahore), ketiga pemuda itu pergi ke Qadian, pusat Jemaat Ahmadiyah yang didirikan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad a.s., Masih Mau’ud. Bukan hal yang aneh ketika ketiga pemuda itu segera baiat di tangan Hadhrat Khalifatul Masih II r.a., Hadhrat Haji Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a.. Peristiwa baiat ketiga pemuda itu akan mengubah wajah masyarakat Islam Indonesia di masa yang akan datang.
Ketiga pemuda Indonesia itu melanjutkan studi mereka di Madrasah Ahmadiyah.Tidak lama kemudian mereka merasa perlu membagi berkat karunia Tuhan yang telah mereka terima itu dengan rekan-rekan mereka di Sumatera Tawalib. Mereka mengundang rekan-rekan pelajar mereka di Sumatera Tawalib untuk belajar di Qadian. Tidak lama kemudian duapuluh tiga orang pemuda Indonesia dari Sumatera Tawalib bergabung dengan ketiga pemuda Indonesia yang terdahulu, untuk melanjutkan studi juga baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah.
Dua tahun setelah orang Indonesia yang pertama baiat ke dalam Ahmadiyah, Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. pergi ke Inggeris untuk menghadiri Seminar Agama-agama di Wembley, kemudian mengadakan kunjungan di Eropa. Setelah Hadhrat Khalifah kembali dari lawatan ke barat, para pelajar Indonesia menginginkan sekali agar negara mereka, Indonesia, mendapatkan karunia dari Hadhrat Masih Mau’ud a.s. melalui khalifahnya. Para pelajar kemudian mengundang Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. dalam suatu jamuan teh, yang di dalamnya (alm) Haji Mahmud - juru bicara para pelajar Indonesia - menyampaikan sambutan dalam Bahasa Arab, mengungkapkan harapan mereka bahwa sebagaimana Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. telah mengunjungi barat, mereka mengharapkan Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. berkenan mengunjungi ke timur, yaitu ke Indonesia. Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. menjawab dalam Bahasa Arab bahwa mereka jangan khawatir dan berduka cita, karena itu adalah tanda-tanda orang-orang tidak beriman. Dan Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. meyakinkan mereka bahwa karena Hadhrat Masih Mau’ud a.s. adalah Zulqarnain (yang memiliki dua tanduk), satu mengarah ke barat dan yang lain mengarah ke timur, maka pesan Hadhrat Masih Mau’ud akan mencapai Timur. Dan Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. juga meyakinkan mereka bahwa meskipun beliau sendiri tidak dapat mengunjungi Indonesia, beliau akan mengirim wakil beliau ke Indonesia. Kemudian, (alm) Maulana Rahmat Ali r.a. dikirim sebagai muballigh ke Indonesia sebagai pemenuhannya. Pada hari yang dibasahi hujan, pertengahan musim panas tahun 1925, Hadhrat Khalifatul Masih II r.a., Hadhrat Haji Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a. memimpin pelepasan (alm) Maulana Rahmat Ali r.a. berangkat ke Indonesia. Pondasi perkembangan Ahmadiyah di Indonesia telah diletakkan.
Perkembangan Ahmadiyah di Indonesia sangat menarik. Tidak seperti perkembangan Ahmadiyah di negara-negara lain, perkembangan Ahmadiyah di Indonesia memiliki suatu hal yang sangat khusus. Orang Indonesia-lah yang meminta Hadhrat Khalifah untuk mengirim muballigh ke Indonesia, untuk menyebarkan Ahmadiyah di Indonesia. Sementara di negara-negara lain, Hadhrat Khalifah-lah yang memutuskan untuk mengirimkan seorang muballigh ke negara tersebut, tanpa mereka minta. Itu merupakan suatu aspek khusus yang harus direnungkan dan diperhatikan oleh semua Ahmadi di Indonesia, dengan menyadari bahwa mereka harus bekerja keras untuk Ahmadiyah, mereka harus mengorbankan diri mereka untuk Islam dan Ahmadiyah, karena rakyat Indonesia-lah yang telah mengundang Ahmadiyah.
Takdir terus bergulir ketika Maulana Rahmat Ali r.a. tiba pertama kali di Tapaktuan, Aceh. Di sana ada beberapa orang Indonesia yang baiat masuk Ahmadiyah. Tidak lama kemudian Maulana Rahmat Ali r.a. berangkat menuju Padang, ibukota Sumatera Barat. Di Padang, titik balik terjadi, banyak kaum intelektual, ulama Islam dan tokoh-tokoh masuk ke dalam Ahmadiyah, demikian pula orang-orang biasa. Dan di Padang-lah pada tahun 1926 Ahmadiyah secara resmi berdiri sebagai suatu jemaat atau organisasi. Pada tahun 1931 Maulana Rahmat Ali r.a. berangkat menuju Jakarta, ibukota Indonesia. Dan perkembangan Ahmadiyah semakin cepat, banyak kaum intelektual, orang terpelajar, tokoh-tokoh terkenal dan masyarakat ningrat masuk ke dalam Ahmadiyah. Dan di Jakarta-lah Pengurus Besar Ahmadiyah didirikan dengan (alm) R. Muhyiddin sebagai Ketua pertamanya. Perkembangan cepat Ahmadiyah – dengan karunia Allah – sangat mencengangkan. Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. juga mengirimkan beberapa muballigh, dan para pelajar Indonesia yang belajar di Qadian mulai pulang kembali. Tetapi perkembangan itu bukan tanpa perjuangan. Para ulama Indonesia, baik tradisional maupun modernis terus menyerang dan menentang. Banyak perdebatan resmi terjadi antara Ahmadiyah dan ulama Islam lainnya, dan yang terbesar adalah dilaksanakan di Jakarta pada tahun 1933.
Karena Indonesia merupakan suatu titik penting di dunia, ketika Perang Dunia II pecah, Indonesia menjadi sasaran utama bagi pihak sekutu maupun pihak poros. Jepang, negara poros, segera menguasai Indonesia setelah Perang Pasifik - medan Perang Dunia II di Asia - pecah. Penjajahan Belanda berakhir,
R. Muhyiddin
dan dimulailah penguasa baru di Indonesia, periode baru dimulai. Sayangnya, penguasa baru tidak lebih baik dari penguasa lama, bahkan lebih keras. Penyebaran Ahmadiyah menjadi lambat, bahkan sebagian muballigh dan tokoh Jemaat, seperti (alm) M. Sayyid Syah Muhammad, (alm) M. Malik Aziz Ahmad Khan, (alm) M. Abdul Wahid, (alm) Sadkar, dll., dijebloskan ke dalam penjara. Hanya semata-mata karunia Allah bahwa mereka dibebaskan setelah mendekam beberapa lama di penjara, walaupun polisi rahasia militer Jepang, Kenpeitai, telah memutuskan untuk mengeksekusi sebagian dari mereka.
Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 membuka lebar masa depan yang lebih baik bagi Indonesia. Peristiwa itu juga membuka pintu pengorbanan bagi negara, sebagaimana Islam mengajarkan para pengikutnya mengkhidmati negara. Banyak Ahmadi Indonesia yang berkhidmat bagi negara dan mengorbankan diri mereka. Bahkan Ketua Nasional pertama Jemaat Ahmadiyah Indonesia, R. Muhyiddin mengorbankan jiwa beliau untuk negara. Beliau dibunuh oleh tentara Belanda pada tahun 1946 karena beliau merupakan salah satu tokoh penting kemerdekaan Indonesia. Juga ada beberapa Ahmadi yang bertugas sebagai prajurit di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan mengorbankan diri mereka untuk negara. Sementara para Ahmadi yang lain berperan di bidang masing-masing untuk kemerdekaan Indonesia, seperti (alm) M. Abdul Wahid dan (alm) M. Ahmad Nuruddin berjuang sebagai penyiar radio, menyampaikan pesan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Sementara itu, muballigh yang lain (alm) M. Sayyid Syah Muhammad merupakan salah satu tokoh penting sehingga Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, di kemudian hari menganugerahkan gelar veteran kepada beliau untuk dedikasi beliau kepada negara. Juga banyak Ahmadi yang berperan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Meskipun demikian, periode revolusi ini juga memberikan kesempatan kepada para musuh Ahmadiyah untuk menyerang dengan keji, baik secara fisik maupun mental. Banyak Ahmadi mukhlis yang mengorbankan jiwa mereka demi agama, disyahidkan oleh orang-orang muslim ortodoks yang memaksa mereka keluar dari Ahmadiyah. Di Tasikmalaya, beberapa orang Ahmadi disyahidkan karena mereka menolak untuk keluar dari Ahmadiyah, mereka tetap teguh dalam keimanan mereka sampai titik darah yang penghabisan. Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un.
Periode 1950-an merupakan periode perkembangan cepat namun juga periode kesyahidan. Para pemberontak radikal, DI/TII, membantai beberapa orang Ahmadi di Jawa Barat. Kesalahan mereka hanyalah bahwa mereka tetap teguh dalam keimanan mereka, menolak untuk keluar dari Ahmadiyah. Tetapi juga pada tahun 1953, pemerintah mengesahkan Jemaat Ahmadiyah sebagai badan hukum dalam Republik Indonesia. Ini membuka pintu tabligh lebih besar lagi. Pengaruhnya tampak pada tahun 1950-1970 ketika banyak tokoh negara yang sangat akrab dengan Ahmadiyah dan dekat dengan orang-orang Ahmadi.
From left to right President Soekarno (The first President of The Republic Indonesia), Said Syah Muhammad(the then Amir/Raisut-tabligh Jamaat Indonesia), Hafiz Quadratullah, H. A. (Ahmadiyya Missionary) during the reception party of Independence Day (1950) in the Presidential Palace at Jakarta
Ahmadiyah tidak pernah berpolitik, meskipun ketegangan politik di Indonesia pada tahun 1960-an sangat tinggi. Pergulatan politik ujung-ujungnya membawa kejatuhan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, juga memakan banyak korban. Satu lambang era baru di Indonesia pada masa itu adalah gugurnya mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim, yang tidak lain melainkan seorang khadim Ahmadiyah. Dia terbunuh di tengah ketegangan politik masa itu dan menjadi simbol bagi era baru pada masa itu.
Sebagaimana upaya-upaya negara-negara Islam untuk menghancurkan Ahmadiyah melalui Rabithah Alam al Islami semakin menjadi-jadi di awal 1970-an, para ulama Indonesia mengikuti langkah mereka. Maka ketika Rabithah Alam al Islami menyatakan Ahmadiyah sebagai non muslim pada tahun 1974, sebagaimana Majelis Nasional Pakistan melakukan hal yang sama, para ulama Indonesia berjuang keras untuk terjun ke jurang yang sama. Sejak saat itu, Jemaat Ahmadiyah Indonesia menghadapi berbagai hambatan dan halangan dalam perkembangannya, baik dalam bidang tabligh maupun dalam bidang tarbiyat. Namun hal tersebut merupakan penggenapan nubuwatan Nabi Besar Muhammad s.a.w. bahwa para pengikut Imam Mahdi - pengikut sejati Rasulullah s.a.w. di akhir jaman - akan menghadapi keadaan yang sama dengan para sahabat Rasulullah s.a.w., sebagaimana disebutkan dalam Al Quran Surah Al Jumu’ah: 3-4.
Sejak saat itu banyak halangan dan hambatan yang semakin keras, meskipun demikian itu tidak mengurangi semangat dan keberanian berkorban dan pengkhidmatan dalam dada para Ahmadi Indonesia. Periode 1980-an adalah periode perjuangan sekaligus penekanan dari pemerintah dan para ulama. Pemerintah tidak mengijinkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia untuk mengadakan Jalsah Salanah maupun KPA untuk Khuddam-Athfal dan Lajnah Imaillah. Banyak mesjid Ahmadiyah yang dirubuhkan oleh massa yang dipimpin oleh ulama. Majelis Ulama Indonesia merekomendasikan kepada pemerintah untuk menyatakan Ahmadiyah sebagai non-Islam. Banyak Ahmadi yang menderita serangan secara fisik. Meskipun demikian, seperti para sahabat Rasulullah s.a.w., mereka tetap sabar dan tabah.
Periode 1990-an menjadi periode perkembangan pesat Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Perkembangan itu menjadi lebih cepat setelah Hadhrat Khalifatul Masih IV atba, Hadhrat Tahir Ahmad, mencanangkan program Baiat Internasional dan mendirikan Moslem Television Ahmadiyya (MTA). Meskipun demikian, perkembangan pesat Jemaat Ahmadiyah Indonesia tidak sepesat Jemaat Ahmadiyah secara internasional di seluruh dunia. Walau demikian, perkembangan Jemaat Ahmadiyah Indonesia tetap luar biasa dibandingkan dengan perkembangan di masa lalu. Dan dengan karunia Allah, kemajuan Jemaat Ahmadiyah Indonesia menjadi semakin pesat setiap tahun. Dan insya Allah akan menjadi lebih cepat lagi di tahun-tahun mendatang.
Krisis moneter, diikuti dengan krisis ekonomi dan ketegangan politik mewarnai Indonesia di akhir abad ini. Mundurnya Presiden Soeharto diganti oleh Presiden Baharuddin Jusuf Habibie, dan kemudian pemilihan umum Republik Indonesia di tahun 1999 menjadikan Abdurrahman Wahid sebagai presiden keempat Republik Indonesia, walau begitu, itu tidak menghentikan pergolakan politik dan ekonomi.
Meskipun demikian, keadaan ini memberi kesempatan kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia untuk mengkhidmati masyarakat. Pengungsi Timor Timur yang membanjiri wilayah Indonesia setelah jajak pendapat menyatakan bahwa Timor Timur ingin lepas dari Indonesia, memberikan kesempatan kepada Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia untuk mengirimkan tim Khidmat Khalq untuk berkhidmat secara terbuka. Juga dengan karunia Allah, setelah tigapuluh tahun, Menteri Negeri Pemberdayaan Wanita menghadiri Ijtima Lajnah Imaillah Indonesia pada tahun 2000. Kemajuan ini membuka pintu untuk rencana penting Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Ini memberikan kesempatan yang berharga bagi Jemaat Ahmadiyah Indonesia untuk mimpi, harapan dan keinginan yang sudah lama, yaitu kunjungan Khalifatul Masih ke Indonesia. Hanya semata-mata karunia Allah, Hadhrat Mirza Tahir Ahmad a.t.b.a, Hadhrat Khalifatul Masih IV datang ke Indonesia.
Indonesia memiliki tempat khusus dalam Jemaat Ahmadiyah, Indonesia memiliki nilai khusus dalam penyebaran Ahmadiyah di seluruh dunia. Orang-orang Indonesialah yang mengundang Ahmadiyah, tujuhpuluh lima tahun yang lalu. Orang-orang Indonesia-lah yang mengundang dan memohon karunia paling berharga dari Allah swt., yaitu Utusan-Nya. Suatu nilai yang sangat, sangat jarang. Dan sekarang, undangan yang telah dilayangkan tujuhpuluh lima tahun yang lalu telah dipenuhi, undangan kepada Khalifah Waqt, wakil-Nya di dunia, untuk datang ke Indonesia.
Ini bukanlah akhir, bahkan ini merupakan awal. Awal bagi seluruh Ahmadi Indonesia untuk meningkatkan dan berjuang lebih keras lagi demi Allah dan Jemaat-Nya. Jangan menjadi seperti umat Nabi Musa a.s. persis sebelum mereka memasuki Tanah yang Dijanjikan, yang menyebabkan kemurkaan Allah. Ikutilah Rasulullah saw. pada saat Perang Badar, ketika beliau saw. terus menerus berdoa dan memohon kepada Allah untuk menolong Islam, sekalipun Allah SWT telah menjanjikan kemenangan dalam Perang Badar
0 komentar:
Post a Comment