Diantaranya, keinginan agar bebas dari kekuasaan orang lain. Faktor ini dapat mendorong seseorang berambisi terhadap kepemimpinan dan jabatan, yaitu agar dia dapat melepaskan diri dari kekuasaan orang lain.
Umumnya, orang yang semacam itu sejak kecil tidak terbiasa menjadi orang bawahan. Sebaliknya, dia selalu dipromosikan oleh kedua orang tuanya atau masyarakat sekitarnya untuk menjadi seorang pemimpin, kendati mungkin tidak memiliki kemampuan apapun. Orang semacam ini jika diterjunkan dalam lingkup jama'ah (kelompok) akan berbahaya, karena ia akan selalu berusaha memuliakan serta menyombongkan dirinya serta tidak akan pernah dapat menerma orang lain yang menjadi pemimpin diatasnya. Karena itulah ia akan sangat berambisi menduduki posisi kepemimpinan, baik dengan sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan.
Ambisi memperoleh kekayaan duniawi.
Faktor in dapat menyebabkan seseorang berambisi terhadap kepemimpinan dan jabatan. Dengan demikian dia dengan mudah akan mendapatkan keuntungan dan fasilitas. Oleh karena itu, dengan segala daya dan upaya, termasuk menghalalkan segala cara, dia berusaha untuk mendapatkan jabatan yang diinginkannya itu.
Tidak memahami beratnya tanggungjawab menjadi seorang pemimpin dan penjabat.
Faktor lainnya yang kerap menyebabkan seseorang berambisi terhadap kepemimpinan dan jabatan, yakni dia tidak tahu atau lalai terhadap beratnya tanggung jawab menjadi seorang pemimpin. Dia mengira bahwa kepemimpinan itu hanyalah suatu kehormatan belaka tanpa tanggung jawab.
Padahal menurut konsepsi Islam, kepemimpinan adalah suatu amanah yang yang tanggungjawabnya tidak ringan. Seorang pemimpin harus merasa lapar di saat orang yang dipimpinnya merasa kenyang, ia akan merasa haus dikala orang lain puas minum. Beban yang harus ditangung oleh seorang pemimpin ialah rela mengorbankan jiwa dan raganya demi keselamatan orang-orang yang dipimpinnya pada saat genting serta harus selalu mengutamakan kepentingan orang-orang yang dipimpinnya diatas kepentingan pribadinya pada saat-saat tenang.
Ini sebagaimana yang dilukiskan oleh Barra ra tentang kepemimpinan Rasulullah shallahu alaihi wassalam.
"Demi Allah, saat situasi dan kondisi menjadi genting kami akan berlindung kepada Rasulullah. Orang yang paling berani di antara kami ialah yang mendampingi Rasulullah". (HR : Muslim)
Ali Bin Abi Thalib ra juga berkata :
"Jika kondisi telah genting atau jika antara suatu kaum dengan kaum yang lain telah saling berhadapan, kami berlindung kepada Rasulullah shallahu alaihi wassalam. Tidak ada diantara kami yagn lebih dekat dengan musuh kecuali Rasulullah". (HR : Ahmad)
Diceritakan pada suatu malam tatkala penduduk Madinah tengah tertidur lelap tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh suara yang memekakkan telinga. Untuk beberapasaat lamanya mereka sempat dilanda ketakutan. Beberapa orang akhirnya berusaha mendekati asal suara itu.
Ketika sampai ke tempat asal surat itu, mereka melihat Rasulullah shallahu alaihi wassalam seorang diri telah lebih dahulu sampai ke tempat itu. Beliau berkata, "Tidak usah kawatir .. Tidak usah kawatir .. Tidak usah kawatir". Pada waktu itu Rasulullah shallahu alaihi wassalam menunggang seekor kuda milik Abu Thalhah yang tidak memakai pelana dengan sebilah pedang dipundaknya". (HR :Bukhari)
Abu Hurairah ra pernah bercerita, Allah yang tiada Tuhan selain Dia. Untuk mengatasi rasa lapar yang melilit-lilit terkadang perutku kutekan ke tanah, atau terkadang aku mengikatkan batu pada perutku. Suatu ketika saat perutku tengah lapar aku sengaja duduk-duduk di jalan yang biasa dilalui orang. Saat itu lewat Abu Bakar ra. Setelah saling menyapa aku bertanya kepadanya tentang sebuah ayat suci al-Qur'an. Maksudnya tiada lain agar akau dapat melupakan rasa lapar yang tengah melilitku.
Abu Bakarpun pergi. Tak lama kemudian lewatlah Umar ra. Seperti halnya Abu Bakar aku mengajak Umar berbincang-bincang mengenai ayat-ayat al-Qur'an agar aku dapat melupakan perasaan laparku. Umar pun pergi. Beberapa saat lewatlah Abu Qasim (Muhammad shallahu alaihi wassalam), dan beliau tersenyum tatkala melihatku.
Beliau seolah-olah mengetahui apa yang terlintas di hatiku dan yang tersirat pada wajahku. Beliau berkata, "Wahai Abu Hurairah. Mari ikutlah aku". Kemudian aku pun mengikuti perintahnya. Beliau masuk ke dalam rumah, dan aku pun meminta izin untuk masuk.
Setelah beliau mengizinkan akupun masuk ke dalam rumahnya. Di dalam rumah beliau ternyata ada semangkuk air susu. Beliau bertanya kepada anggota keluarganya. "Dari mana susu ini?" salah seorang ahlul baitnya menjawab : "Si fulan atau fulanah telah menghadiahka susu ini untukmu, wahai Rasulullah".
Setelah itu beliau berhenti sejenak, kemudian berkata lagi kepadaku, "Wahai Abu Hurairah!". Ya, ada apa Rasulullah?", jawabku. Temuilah ahlush shuffah dan serulah mereka untuk datang kepadaku", kata beliau.
Aku pun memohon diri untuk melaksanakan perintahnya, walaupun sebenarnya dalam hati ini sedikit bertanya-tanya, mengapa beliau harus memanggil ahlush shuffah, yakni para tamu Islam yang tidak mempunyai keluarga dan tidak memiliki siapa-siapa.
Kebiasaan Rasulullah jika beliau menerima sedekah, maka beliau mengirimkannya untuk mereka dan beliau tidak ikut serta menikmati. Begitulah Rasulullah shallahu alaihi wassalam memberikan tauladan. Insya Allahbersambung.
0 komentar:
Post a Comment