Translate

Riba pada Bunga Bank

Dalam bahasa Arab bunga bank itu disebut dengan fawaid. Fawaid merupakan bentuk plural dari kata ‘faedah’ artinya suatu manfaat. Seolah-olah bunga ini diistilahkan dengan nama yang indah sehingga membuat kita tertipu jika melihat dari sekedar nama. Bunga ini adalah bonus yang diberikan oleh pihak perbankan pada simpanan dari nasabah, yang aslinya diambil dari keuntungan dari utang-piutang yang dilakukan oleh pihak bank.

Jika kita mendengar kata bank Islam, kita akan berpikir ini terkait dengan Islam, apa betul begitu? sebenarnya ini adalah satu lembaga riba yang berlawanan dengan Islam. Bank Islam diperkenalkan untuk mematahkan perlawanan Islam selama lebih dari 14 abad terhadap amalan riba.
Diawali dengan perkenalan dan penerimaan uang kertas sebagai perantara pertukaran, sistem keuangan riba dipaksakan, diterima dan dipakai oleh umat Islam yang tertakluk dan terjajah. Untuk mematahkan tantangan fuqaha tradisional terhadap sistem keuangan riba, penjajah mendapatkan sokongan dari golongan modernis Islam.
Pengasas pergerakan modernis yang juga menamakan diri mereka sebagai ‘Salafiyya’ itu adalah Jamalud-Din al-Afghani (1839-1897). Muhammad ‘Abduh (1845-1905) menjabarkan teori pergerakannya sementara Rashid Reda (1865-1935) dan muridnya Hassan al-Banna, melanjutkan ajarannya. Al-Afghani, guru ‘Abduh, sebenarnya adalah al-Irani (berasal dari Iran, bukan dari Afghan) dan seorang Shiah dari keluarga yang punya kaitan dengan pergerakan Bahai di Iran.
Meskipun secara lahiriahnya, pengasas dan pejuang pergerakan modernis bergelora menentang penjajahan tetapi pada hakikatnya mereka secara diam-diam mendewa-dewakan Dunia Barat karena mereka memakai metodologi dan rasionalisme Barat untuk mengesahkan dan mempertahankan kedudukan modernis mereka.
Pergerakan ini yang bertanggungjawab memperkenalkan ajaran palsu dan kurafat bahwa bank dan asuransi itu bukan riba dan orang Islam boleh menggunakannya.
Dengan kata lain, pelopor dan pemuka pergerakan ini berulang-ulang menyatakan dari kedudukan yang mulia di Universitas al-Azhar bahwa bunga atau bunga itu halal. Muhammad ‘Abduh sebagai Shaikh pada universitas ternama itu, mengeluarkan fatwa yang merusak dan menyesatkan yaitu “interest in saving funds is allowed” (bunga/bunga diperbolehkan dalam tabungan).
Bahkan fatwa itu adalah kerja pertama yang dilakukannya setelah diangkat sebagai Shaikh universitas tersebut oleh Lord Cromer, Gubernur Inggris yang menjajah Mesir, ketika itu. ‘Abduh tidak diragukan lagi adalah pesuruh politik Lord Cromer karena mereka sama-sama anggota Freemason. Tidak heran jika ‘Abduh menjadi tali pengikat musuh Islam.
Fatwa keji itu memudahkan jalan penggunaan bank dan uang bank, yakni uang kertas. Dengannya, pintu ke arah ‘Bank Islam’ dibuka luas ketika uang bunga/bunga dianggap sama saja dengan keuntungan dalam perniagaan qirad.
Seperti yang diuraikan oleh Muhammad ‘Abduh dalam tulisannya dalam majalah Al-Manar:
“The stipulated usury is not permissible in any case; whereas the Post Office invests monies taken from the people, which are not taken as loans based on need, it would be possible to apply the investment of such monies on the rules of a partnership in commendan”.
Telah ditetapkan pelarangan riba dalam hal apapun; tapi bisa saja penanaman uang termasuk satu bentuk bersyarikat dalam qirad, karena uang yang ditanamkan Kantor Pos berasal dari masyarakat, bukan dari pinjaman berlandaskan kebutuhan.
Muhamad Rashid Reda mendirikan majalah Al-Manar sebagai lidah resmi pergerakan modernis yang diedarkan ke seluruh Persada Islam untuk menyebarkan pendapatnya dan pendapat yang senada seirama dengan perilaku penjajah Inggris.
Rashid Reda memusuhi mazhab-mazhab dan golongan sufi karena sikap dan perilaku mereka menentang riba. Pendapatnya terserbar dalam tulisannya seperti berikut:
“There is nothing in our religion which is incompatible with the current civilization, especially those aspects regarded as useful by all civilized nations, except with regard to a few questions of usury (riba) and I am ready to sanction (from the point of view of the Shari’a) everything that the experience of the Europeans before us shows to be needed for the progress of the state in terms of the true Islam.
But I must not confine myself to a school of law, only the Qur’an and the authentic Hadith”.
Tidak ada dalam agama kita apa-apa yang tidak cocok dengan perabadan sekarang, lebih-lebih lagi dalam hal-hal yang dianggap berguna oleh semua bangsa yang beradab, kecuali beberapa persoalan mengenai riba, dan saya bersedia memberi restu ke atas segala sesuatu, yang telah ditunjukkan oleh pengalaman orang Eropa sebelum kita, sebagai perlu untuk kemajuan negara dari wawasan Islam tulen.
Tetapi saya tidak boleh membataskan diri saya kepada suatu mazhab tertentu, cukup hanya kepada Qur’an dan Hadith shahih.
Apa yang dimaksudkannya sebagai “kecuali beberapa persoalan mengenai riba” ialah dia tidak menganggap salah mengambil asuransi jiwa seperti yang dimuatkan dalam Al-Manar (jilid XXVII, hal 588).
Rashid Reda juga membantah fuqaha yang berqias untuk mencakup perbuatan mengambil bunga/bunga dari modal dan berpendapat bahwa mengambil bunga/bunga dari uang yang disimpan dalam bank atau pejabat pos, tidak tergolong sebagai riba (Al-Manar, jilid VII, hal 28).
Riba Alat Kuasa Bankir
Pelembagaan dan pengesahan riba berlaku secara teratur dan terancang semenjak 200 tahun lalu. Apalagi, sistem keuangan riba itu diperkuat kuasanya oleh undang-undang penjajah dan sesudah merdeka, lembaga-lembaga negara langsung menerima sistem keuangan riba itu dan mempersembahkan kedudukan aman bagi penguasa-penguasa riba.
Sistem kelembagaan itu sendiri berasaskan akidah Freemason yang mengilhamkan gerakan golongan Jacobin dalam Revolusi Perancis dan kesinambungan perjuangan itu dilanjutkan oleh bapak-bapak Kemerdekaan Amerika Serikat. Ini tercermin dalam lambang Freemason berupa piramid bermata satu pada dolar Amerika Serikat (US $1).
Sama seperti sistem kelembagaan dan parlemen, ‘Bank Islam’ adalah sebuah institusi kafir yang diIslamkan dan karena itu ia boleh berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan sistim bukan Islam yang lainnya.
Guna membolehkan sistem-sistem ini diterima-pakai oleh umat Islam, Islam itu sendiri diubah-sesuaikan supaya cocok dengan sistem-sistem itu, bukannya sistem-sistem itu yang disaring dengan Islam.
Kemerdekaan negara-negara bangsa itu sendiri yang ditentukan dan yang diatur oleh Dunia Barat, sudah tentu merupakan siasat kompromi yang menjamin kelangsungan‘order’ atau aturan yang telah ada.
Sistem dan aturan warisan penjajah inilah yang diterima oleh umat Islam hingga hari ini, dimana golongan modernis mengisi kekosongan peninggalan Tuan-Tuan penjajah mereka sebagai menteri, birokrat dan teknokrat di Dunia Islam.
Betapa tidak. Sesaat selepas negara-negara bangsa itu mencapai kemerdekaan, mereka menjiplak kelembagaan dan meminjam uang dari negara bekas penjajahnya di samping ‘mengapungkan’ mata uangnya di pasaran dunia. ( -dari penterjemah- perlu di ketahui ketika Indonesia merdeka tahun 1945, Hutang Belanda melalui VOC, Hindia Belanda ditanggung oleh negeri muslim indonesia)
Hingga apa yang disebutkan sebagai ‘Negara Islam’ itu, cumalah wadah untuk mengesahkan ‘pengIslaman’ sistem atau ‘order’ yang telah ada. Termasuk pula dalam agendanya mengIslamkan bank dan apa-apa yang tidak Islam lainnya.
Semenjak zaman penjajahan, Dunia Barat melalui sistem bank dan keuangan riba dengan kelicikan ilmu hitungnya berkuasa menjarah dan menyedot kekayaan asli dan bumi umat Islam. Musuh-musuh Islam membeli bahan mentah, makanan, hasil bumi dan sebagainya dengan uang kertas rekaan mereka yang tidak ada nilainya.
Serentak itu, mereka juga memberikan ‘nilai beli’ kepada lembaran-lembaran kertas ini.Umat Islam boleh membeli barang buatan Barat dengan uang-uang kertas ini tetapi tidak boleh mencetak atau menerbitkannya sendiri!
Pada masa itu, kalau Dunia Kuffar ingin membeli lebih banyak kekayaan dan khazanah umat Islam, mereka hanya perlu mencetak dan menerbitkan lebih banyak lagi uang kertas. Tetapi kalau ada kelompok Islam yang ingin membeli sesuatu dari Dunia Barat, ia tidak dibenarkan menggunakan uang kertasnya sendiri dan ‘kekuatan pasar’ dipersalahkan.
Dalam ungkapan lain, umat Islam telah diperdaya untuk menukar kekayaan asli dan bumi yang terbenam emas hitam di dalamnya. Dengan lembaran-lembaran uang kertas yang nilainya tidak tetap dan berubah-ubah mengikuti perjudian mata uang di pertukaran mata uang asing.
Di dalam al-Qur’an Allah subhana wa ta’ala menjanjikan hukuman yang berat ke atas kaum Yahudi karena mengamalkan riba dan memakan harta orang lain dengan tipudaya:
“… dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta dengan jalan yang batil…” (Surat an-Nisa, ayat 161)
Demikianlah caranya bagaimana Dunia Barat menimbun modalnya dan keadaan yang berat sebelah ini kemudian digunakan untuk mengendalikan perdagangan yang juga berat sebelah antara ‘dunia pertama’ dengan ‘dunia ketiga’.
Sebagai contoh, semua uang minyak (petro-dollars) negara-negara Arab yang disimpan dan dititipkan dalam bank-bank di Amerika Serikat, kemudian digunakan untuk membiayai serangan-serangan biadab dan tidak berperikemanusian terhadap rakyat Palestina.
Uang minyak itu juga dipinjamkan kepada negara-negara ‘dunia ketiga’ – yang juga mayoritas penduduknya orang Islam – selaku ‘bantuan pembangunan’ yang menjebak saudara-saudara kita dalam perangkap beban hutang negara. Beban hutang negara ‘dunia ketiga’ kini berjumlah $1.4 triliun (tahun 1997 dan meningkat hari demi hari), jumlah yang tidak terbayang dalam benak kita.
Apa yang menakjubkan, uang itu tidak ada dalam dompet ‘dunia ketiga’, sebaliknya ia cuma wujud sebagai kelip-kelip angka dalam komputer bank. Tetapi kelip-kelip ini mengundang malapetaka kepada alam hewan, tumbuh-tumbuhan, bumi, air, udara dan kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Sejauh mana riba sudah melanda tubuh badan umat Islam dan betapa menyatunya amalan riba dalam urusan hidup kita terpampang dalam cara kita bertataniaga, malah cara hidup kita berbelit dan berkiblat kepada uang kertas.
“Demi Allah, Aku (Rasulullah salallahu alaihi wasallam) tidak takut atas kemiskinan kamu, tetapi apa yang Aku takutkan ialah pintu kekayaan akan terbuka kepada kamu seperti mana ia terbuka kepada bangsa-bangsa sebelum kamu, dan kamu akan berlomba satu sama lain dalam kemewahan seperti mana yang berlaku kepada bangsa-bangsa sebelum kamu, dan akibatnya kamu akan dibinasakan seperti mana bangsa-bangsa sebelum kamu dibinasakan.” (riwayat Imam Bukhari)
Sabda lain Baginda, “Setiap ummah ditimpa kejatuhan dan kejatuhan ummahku adalah kemewahan.” (riwayat Imam Tirmizi)
Karenanya, mengejar kemewahan dan kekayaan kebendaan, seperti yang digaung-gaungkan dan dipuja-puji dalam era pembangunan sekarang, bukanlah segala-galanya. Malah ia membawa bahaya bencana, lebih-lebih lagi kekayaan hasil timbunan riba. ( -penterjemah- perhatikan apa yang dijanjikan iklan-iklan bank di media cetak dan televis di Indonesia)
Era pembangunan yang dilancarkan sesudah berakhirnya perang Dunia Kedua telah digunakan untuk memukau negara-negara yang pernah terjajah yang kini disebut sebagai negara ‘ merdeka’ dari menghambat kemajuan negara-negara bekas penjajah, yang dilabel maju dan terdepan.Pembangunan selaku slogan kebangsaan (nasionalisme) dan tumpuan tampilan media, menampilkan pertumbuhan kebendaan sebagai satu-satunya penyelesaian kepada semua ketakutan dan masalah kemanusiaan. Tujuan yang diidam-idamkan ialah untuk jadi negara industri, suatu replika kebendaan dunia barat.
Sesudah ‘memerdekakan’ diri dari belenggu penjajahan, kini negara-negara bekas jajahan ini ditunggangi dan diperkuda oleh khayalan pembangunan. Dan dalam zaman pasca penjajahan ini, tukang obat menguntai-untaikan janji manis yang baru. Pembangunan menjanjikan pertumbuhan tidak berbatas, tetapi putar belit di pusat-pusat keuangan dunia dan beban hutang negara sebaliknya membukakan jurang di antara ‘negara maju’ dan ‘negara membangun’ yang semakin bertambah luas.
Negara-negara membangun tidak mungkin bisa menghambat negara-negara maju. Sebagai contoh Filipina, Brazil dan Bangladesh tak lagi dapat membangun karena negara-negara ini dihimpit dengan beban hutang negara yang berat. Malah negara-negara itu mengalami apa yang dipanggil ‘pembangunan keliru’ (negative development) karena apa yang dibangun kini kian merosot kegunaannya.
Untuk mengejar kemajuan, para pemimpin negara-negara membangun mendesak rakyatnya untuk meningkatkan pengeluaran, mutu barang dan pemakaiannya, yang sebenarnya cuma menganjurkan pertumbuhan uang. Bunga atas bunga atas bunga mengundang penggelembungan (inflation) yang tidak dapat dielakan. Pendek kata, desakan nilai bunga bank yang memacu pertumbuhan dan penggandaan uang, merangsang pertumbuhan berkepanjangan (endless growth) yang membinasakan dunia dan penghuninya. Semua ini tak memperhitungkaan kenyataan pengeluaran yang mampu dikeluarkan oleh bumi ini.
‘Bank Islam’ tidak lain adalah pintu belakang riba dan Bank lainnya berada dalam kerangka ini seumpama serangga perusak dalam ladang yang subur menghijau. Kehadiran ‘Bank Islam’ ditengah-tengah kehidupan kita ibarat benalu yang menjalar membinasakan badan yang sehat.
Badan yang sehat itu adalah umat Islam. Jika kita tidak melepaskan diri kita dari rantai dan cengkraman riba yang membinasakan, kita akan berjumpa maut seperti pelepah yang kekeringan amal dan kebaikan karena kekejian riba. (Abbas Firman, IMN-World Islamic Standard)'

Apapun namanya, bunga ataukah fawaid, tetap perlu dilihat hakekatnya. Keuntungan apa saja yang diambil dari utang piutang, senyatanya itu adalah riba walau dirubah namanya dengan nama yang indah. Inilah riba yang haram berdasarkan Al Qur’an, hadits dan ijma’ (kesepakatan) ulama. Para ulama telah menukil adanya ijma’ akan haramnnya keuntungan bersyarat yang diambil dari utang piutang. Apa yang dilakukan pihak bank walaupun mereka namakan itu pinjaman, namun senyatanya itu bukan pinjaman. Mufti Saudi Arabia di masa silam, Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata,
Secara hakekat, walaupun (pihak bank) menamakan hal itu qord (utang piutang), namun senyatanya bukan qord. Karena utang piutang dimaksudkan untuk tolong menolong dan berbuat baik. Transaksinya murni non komersial. Bentuknya adalah meminjamkan uang dan akan diganti beberapa waktu kemudian. Bunga bank itu sendiri adalah keuntungan dari transaksi pinjam meminjam. Oleh karena itu yang namanya bunga bank yang diambil dari pinjam-meminjam atau simpanan, itu adalah riba karena didapat dari penambahan (dalam utang piutang). Maka keuntungan dalam pinjaman dan simpanan boleh sama-sama disebut riba.
Tulisan singkat di atas diolah dari penjelasan Syaikh Sholih bin Ghonim As Sadlan –salah seorang ulama senior di kota Riyadh- dalam kitab fikih praktis beliau “Taysir Al Fiqh” hal. 398, terbitan Dar Blancia, cetakan pertama, 1424 H.
Dari penjelasan di atas, jangan tertipu pula dengan akal-akalan yang dilakukan oleh perbankan Syari’ah di negeri kita. Kita mesti tinjau dengan benar hakekat bagi hasil yang dilakukan oleh pihak bank syari’ah, jangan hanya dilihat dari sekedar nama. Benarkah itu bagi hasil ataukah memang untung dari utang piutang (alias riba)? Bagaimana mungkin pihak bank syariah bisa “bagi hasil” sedangkan secara hukum perbankan di negeri kita, setiap bank tidak diperkenankan melakukan usaha? Lalu bagaimana bisa dikatakan ada bagi hasil yang halal? Bagi hasil yang halal mustahil didapat dari utang piutang.
Hanya Allah yang memberi taufik.
JANGAN LUPA FOLOW @IslamTalking dan @KeajaibanSholat , dan jika ingin berkonsul bisa mention twitter saya @FebrianMaulanaP

wslam wr. wb 





0 komentar:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...