Suksesnya dakwah Islam di mana saja hampir
pasti disebabkan adanya andil kekuasaan (power).
Saat Rasulullah saw berdakwah di Mekkah, dakwah berjalan lambat, bahkan
berada
dalam tekanan dan ancaman. Hal itu karena kekuasaan belum dimiliki, dan
pemeluk
Islam umumnya kelas menengah bawah dan hanya beberapa gelintir kalangan
elit.
Giliran Rasulullah saw dan para sahabat berkuasa di Medinah, maka
kemajuan
Islam pun berlangsung pesat dan hampir tidak terbendung oleh kekuatan
mana pun.
Bahkan Imperium Persia dan Romanum kewalahan menghadapi kekuatan Islam.
Dakwah di Nusantara juga demikian. Suksesnya
islamisasi di Sumatra, disebabkan para ulama berhasil menjalin kerjasama
dengan
kesultanan Samudra Pasei (SP) dan Aceh.
Abdurrauf Singkel (SP) dan Nuruddin Al-Raniri (Aceh) adalah contoh ulama
besar yang sukses menjalin hubungan harmonis dengan kekuasaan untuk
kepentingan
dakwah. Begitu juga para Walisongo dan ulama lainnya sukses berdakwah di
tanah
Jawa karena dukungan Kesultanan Demak, Mataram, Banten dan seterusnya.
Islamisasi
di tanah Banjar
Keberhasilan serupa terlihat dalam Islamisasi
di tanah Banjar Kalimantan Selatan. Menurut Ahmad Basuni (1984), Islam
sudah
masuk ke Kalimantan sejak abad ke-14, yang dibawa oleh para pedagang
Cina, Arab
dan India. Namun perkembangan Islam
berjalan lambat, sebab yang menganutnya hanya masyarakat biasa yang
tinggal di pinggir pantai dan pelabuhan. Dakwah Islam baru berkembang
pesat
setelah Pangeran Samudra (bergelar Sultan Suriansyah) tahun 1495
berhasil naik
tahta Kerajaan Banjar atas bantuan tentara Kerajaan Demak, sehingga
mampu
mengalahkan pamannya Pangeran Tumenggung yang beragama Hindu, yang
sebelumnya
membunuh ayahnya Pangeran Mangkubumi. Islamisasi besar-besaran terjadi
periode
ini, sebab masyarakat Banjar yang paternalistik mudah sekali melakukan
konversi
agama meniru agama rajanya.
Perkembangan Ialam semakin pesat di masa
hidupnya ulama besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari
(1710-1812 M).
Beliau mulanya anak warga biasa yang
diangkat anak oleh Sultan Banjar, kemudian disekolahkan ke tanah suci
(Mekkah
dan Medinah). Sebagai orang biasa saat itu mustahil untuk bisa menuntut
ilmu
agama sampai ke luar negeri. Tetapi karena peranan Kerajaan Banjar yang
bersedia membantu dan membiayai secara penuh, Muhammad Arsyad bisa
berangkat ke
sana sampai menuntaskan pelajarannya. Beliau seangkatan dengan beberapa
ulama
besar Nusantara saat itu yaitu Syekh Abdul Wahab Bugis (asal Makassar),
Syekh
Abdurrahman Masri (Jakarta) dan Syekh Abdussamad Falimbani (asal
Palembang).
Mereka disebut Empat Serangkai Ulama Jawi, sebutan Indonesia saat itu
(Halidi,
1982).
Setelah menuntut ilmu selama 30 tahun di
Mekkah dan 5 tahun di Medinah, empat serangkai ini pulang ke tanah air.
Setelah
dijamu oleh pemerintah Hindia Belanda yang menaruh hormat pada mereka,
selanjutnya kembali ke daerah asal masing-masing. Syekh Muhammad Arsyad
kembali
ke banua Banjar Kalimantan Selatan, yaitu ke ibukota Kerajaan Banjar
yang sata
itu berpusat di Martapura.
Dakwah
monumental
Ada beberapa gerakan dakwah monumental yang
dilakukan oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari selama hidupnya. Di
antaranya;
Pertama, beliau membangun pusat pendidikan dan dakwah di Dalam
Pagar-Martapura,
tempat di mana beliau giat membuka pengajian agama dan pendidikan
nonformal
sambil mengkaderkan anak cucu dan
murid-muridnya dan mengirimnya ke berbagai daerah pedalaman untuk terus
menyebarkan Islam. Kedua, beliau diberi Sultan Banjar lahan perkebunan
dan
pertanian untuk dikembangkan sistem irigasi dan tata pertaniannya agar
lebih
produktif, belakangan daerah itu dinamai Sungai Tuan yang subur untuk
pertanian
dan perkebunan. Ketika wafat, beliau juga dimakamkan di kawasan ini
begitu juga
istri-istri dan anak keturunannya, yang dikenal dengan Makam Datu
Kalampayan
Astambul yang selalu ramai diziarahi orang dari berbagai daerah di
Indonesia
bahkan Asia Tenggara hingga sekarang.
Ketiga,
Syekh Muhammad Arsyad berhasil menjadikan Islam sebagai hukum Positif di
Kerajaan Banjar, dengan mendirikan Mahkamah Syariah, dengan beliau dan
anak
keturunannya sebagai Qadhi Besarnya. Keempat, salah seorang Sultan
Kerajaan
Banjar yaitu Sultan Adam al-Watsikbillah kemudian membukukan aturan
syariat
tersebut dalam Undang-Undang Sultan Adam (UU-SA), yang memuat aturan
pidana dan
perdata yang berlaku untuk seluruh kekuasaan Kerajaan Banjar yang saat
itu
selain mencakup seluruh wilayah Kalimantan Selatan, juga sampai ke Tanah
Grogot
Kaltim, Bulungan, Kotawaringin Sampit dan Pangkalan Bun (Kalteng) dan
Sambas
Kalimantan Barat. UU-SA beserta Kerajaan Banjar ini kemudian dihapuskan
oleh
Belanda.
Kelima, atas permintaan dan fasilitasi Sultan,
Syekh Muhammad Arsyad menyusun sebuah kitab fikih besar yang bernuansa
Banjar
(Nusantara), bernama Sabilal Muhtadin. Kitab ini disebarkan ke tengah
masyarakat Banjar dan terus menjadi rujukan hingga sekarang, bahkan
persebarannya sampai ke wilayah Asia Tenggara lainnya (Singapura,
Malaysia,
Brunei Darussalam dan Thailand Selatan/Fatani). Kitab ini menggunakan
bahasa
Arab Melayu dan sudah diterjemahkan (disalin) ke dalam bahasa Indonesia,
di
antaranya oleh alm Prof Drs HM Asywadie Syukur, Lc (mantan Rektor IAIN
Antasari
Banjarmasin dan Ketua MUI Kalsel). Kitab ini versi kecilnya dalam bahasa
kampung Banjar disusun dalam kitab Parukunan
Basar oleh Shafiyah, salah seorang putri Syekh Muhammad Arsyad.
Keenam, Syekh Muhammad Arsyad berhasil menyelamatkan keislaman
masyarakat Banjar, terutama golongan awam, dari aliran yang
dikategorikan sesat
tasawuf yang dibawa oleh Abdul Hamid Abulung. Ia mengajarkan aliaran
sufi wihdah al-wujud (manunggaling kawula
gusti). Sultan Banjar menghukum mati Abdul Hamid Abulung setelah minta
fatwa
dari Syekh Muhammad Arsyad.
Ketujuh, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan
ulama keturunannya berhasil menjadikan penguasa Kerajaan Banjar bersama
rakyatnya militan ketika berhadapan dengan penjajah Belanda, sehingga
terjadi
Perang Banjar yang berkepanjangan (1859-1905), yang membawa risiko
dibakarnya
istana dan dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh kolonial Belanda. Hampir
semua
elit Kerajaan Banjar berjuang bersama rakyat dengan segala risikonya
yang
berat, meskipun ada juga segelintir elit yang memihak Belanda akibat
politik
adu domba.
Andil
kekuasaan
Jelas, di luar bantuan Sultan Banjar
menyekolahkan al-Banjari ke tanah suci sehingga ia menjadi ulama besar,
minimal
ada tujuh poin besar keberhasilan dakwah al-Banjari yang kesemuanya
dikatakan
tercapai karena dukungan penguasa Kerajaan Banjar. Di samping tentunya
kebesaran keulamaan beliau sendiri yang sangat dikagumi dan dihormati
masyarakat.
Sekiranya tidak mendapat dukungan dari
Kerajaan Banjar, boleh jadi beberapa usaha besar Syekh Arsyad tidak akan
berhasil, misalnya dalam melembagakan Mahkamah Syariah, memberlakukan
UU-SA,
juga dalam membasmi aliran sempalan, yang kesemuanya sangat membutuhkan
peran
dan power dari pemegang kekuasaan.
Kesulitan ini dirasakan pasca Indonesia
merdeka hingga sekarang, misalnya betapa
sulitnya dalam mendirikan Kementerian Agama dahulu karena adanya
golongan
nasionalis sekuler yang menolaknya (Deliar Noer, 1982). Betapa sulitnya
mendirikan Mahkamah Syariah yang hingga kini belum terbentuk, betapa
banyaknya
penolakan terhadap formalisasi hukum Islam sebagai hukum Positif, dan
juga
sulitnya dalam membubarkan sesuatu aliran yang dikategorikan sesat dan
menodai
Islam semisal Ahmadiyah. Semua itu karena pemerintah yang berkuasa tidak
memberi dukungan, sehingga para ulama baik perorangan maupun kelembagaan
tidak
berhasil mengaplikasikan ajaran Islam secara komprehensif. Praktik dan
tempat-tempat maksiat serta
penyakit masyarakat sulit dibasmi kalau komitmen penguasa kurang.
Meskipun demikian tidak semua usaha dakwah
Syekh Muhammad Arsyad berhasil optimal. Pada ranah akidah, Syekh Arsyad
atas
insiatif sendiri menyusun kitab Tuhfah
al-Raghibin. Kitab ini berisi penolakan dan pelurusan kepercayaan
masyarakat Banjar yang berbau animis dan sinkretis warisan kepercayaan
pra
Islam. Di antara yang sangat ditentang oleh Syekh Arsyad adalah
kepercayaan
sebagian masyarakat Banjar saat itu bahwa asal-muasal Raja Banjar adalah
makhluk gaib. Pangeran Suryanata adalah makhluk gaib yang dihadiahkan
oleh Raja
Majapahit, kemudian istrinya Putri Junjung Buih berasal dari alam gaib
pula
yang muncul dari “buih” (pusaran air). Ketika keduanya meninggal tidak
dikuburkan sebagaimana mestinya tetapi menghilang ke Gunung Pematon
(sekitar
wilayah Taman Hutan Raya Sultan Adam Martapura - Banjarbaru). Beberapa
keturunannya juga menghilang (moksa), sehingga tidak diketahui di mana
kuburnya.
Kepercayaan ini masih hidup hingga sekarang, dan untuk mengenang dan
menghormati napak tilasnya, banyak masyarakat Kalsel yang suka berziarah
ke
situs Candi Agung Amuntai yang di situ dipercaya merupakan bekas Istana
Kerajaan Banjar pra Islam (Gusti Masyur, 1990).
Usaha dakwah Syekh Arsyad untuk meluruskan
akidah umat ini kelihatannya kurang berhasil karena tidak tampak
dukungan
optimal dari penguasa saat itu dan kemudiannya. Hal ini diduga karena
para raja
Banjar beroleh keuntungan politis dari kepercayaan masyarakat tersebut.
Masyarakat Banjar masa lalu percaya bahwa orang yang berkuasa tidak
boleh
rakjat jelata, melainkan harus titisan dewa atau makhluk gaib seperti
halnya
para Raja Banjar dan keturunannya. Kalau rakyat jelata yang berkuasa,
maka akan
terjadi kemalangan dan kesialan bagi wilayah kerajaan. Karena
kepercayaan ini
maka hampir selama berkuasanya kerajaan Banjar, baik Banjar Hindu
(1438-1595)
maupun Banjar Islam (1595-1860) tidak pernah terjadi pemberontakan oleh
rakyat,
yang ada hanya krisis internal di lingkungan istana.
Kesimpulan
sementara
Sulit disangkal, keberhasilan dakwah Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari banyak didukung oleh kekuasaan, dan
sebaliknya
ketika kekuasaan kurang mendukung, ada aspek dakwah yang tidak berhasil
optimal. Kenyataan ini fenomena yang penting untuk dijadikan
pembelajaran di
masa sekarang dan kemudian. Artinya, jika dakwah ingin sukses, maka
harus punya
dana, power, atau minimal dekat dengan kekuasaan. Begitu juga kekuasaan
jika
ingin kuat dan lestari harus dengan dukungan dakwahnya para ulama, sebab
ulama
adalah pewaris nabi dan ikutan umat. Ada benarnya ungkapan Imam
al-Ghazali, al-din bil mulki yaqwa, wa al-mulki bi
al-dini yabqa (agama dengan dukungan kekuasaan akan kuat, dan
kekuasaan
dengan dukungan agama akan lestari)
Tetapi kedekatan itu tidak dalam bentuk
perselingkuhan antara penguasa (umara) dengan ulama. Kalau berselingkuh,
maka
agama hanya akan dijadikan alat politik bagi umara untuk berkuasa, dan
umara
dijadikan sarana bagi ulama untuk mendapatkan keuntungan duniawi. Kalau
begini
Islam tidak akan maju.
Pendekatan kerjasama yang dibangun oleh Syekh
Arsyad tidak menjadikan ulama sebagai sub-ordinat dan atau diperalat
penguasa.
Beliau juga tidak menjadikan kedekatan itu sebagai sarana untuk berkuasa
atau
beroleh kekayaan materi. Syekh Muhammad Arsyad terbukti tidak pernah
berusaha
menjadikan dirinya dan atau keturunannya sebagai raja, walaupun ada di
antara
anaknya berdarah biru karena salah seorang istrinya merupakan anak raja
Banjar.
Beliau juga tetap hidup sederhana, sejarah hidupnya tidak membuktikan
beliau
punya harta.
Jadi koalisi dengan penguasa saat itu bukan
untuk kepentingan pribadi dan materi, tetapi semata untuk kepentingan
dakwah
Islam. Kehormatan diri tetap beliau jaga sampai akhir, hingga beliau
dianggap
sebagai ulama yang punya karomah besar. Pendekatan demikian terasa
relevan
untuk dikembangkan di era sekarang, mengingat dukungan penguasa untuk
keberhasilan dakwah, khususnya yang bersifat formal masih penting.
Namun ulama jangan sampai terkooptasi untuk
kepentingan politik penguasa.
http://tulisanbarjie.blogspot.com/2011/11/korelasi-umara-ulama-di-kesultanan.html
http://tulisanbarjie.blogspot.com/2011/11/korelasi-umara-ulama-di-kesultanan.html
0 komentar:
Post a Comment