Agama dan Politik di Amerika Tak Terpisahkan
Menurut pengarang buku sejarah politik, Hugh Nissenson, perhatian Amerika terhadap agama bukan sesuatu yang baru, karena sejak berdirinya, Amerika selalu terfokus pada agama.
Foto: Sourcebook Publishers
Popularitas calon presiden Amerika dari Partai Republik Mitt Romney yang beragama Mormon menarik perhatian umum berkenaan dengan peran agama dalam kehidupan di Amerika, khususnya dalam dunia politik. Namun, menurut pengarang Hugh Nissensom, perhatian Amerika terhadap agama bukan sesuatu yang baru, karena sejak berdirinya, Amerika selalu terfokus pada agama.
Arti penting agama bagi terbentuknya negara Amerika itu menjadi perhatian utama dalam buku barunya, The Pilgrim, yang mengikuti cerita tentang kelompok Separatis Puritan yang meninggalkan Inggris di tengah pergumulan agama tahun 1622, dan bermukim di wilayah Teluk Massachusetts, koloni Inggeris di Amerika.
“Di Amerika biasanya kelompok-kelompok pendatang mencari apa yang mereka anggap penyelamatan di negeri yang dijanjikan. Ini mereka anggap seperti pengulangan kejadian ketika anak-anak bani Israel berkelana di belantara padang pasir dan menemukan tanah yang dijanjikan, ujar Nissenson dalam wawancara dengan VOA.
“Cerita para penganut Mormon tidak persis sama, tetapi mengikuti alur cerita ketika mereka berkelana di hutan belantara, tiba di Salt Lake, dan merasa ‘ini pasti adalah tempatnya’ dan menemukan apa yang mereka anggap sebagai penyelamatan.”
Nissenson terkenal karena membuat sejarah menjadi seperti hidup dalam karya-karyanya, seperti Tree of Life. Ia juga melakukan hal serupa dalam buku barunya the Pilgrim. Novel itu menokohkan Charles Wenthworth yang bergabung dengan gereja Puritan yang ketat.
Di dalam novel itu Wentworth menceritakan berbagai cobaan yang dialami pada masa mudanya di Inggeris. Setelah terkena cacar air dan berduka karena kematian tunangannya, ia pergi berlayar ke Amerika. Ia bergabung dengan kelompok Separatis Puritan yang memisahkan diri dari Gereja Inggeris dengan harapan bisa mendirikan masyarakat beragama yang lebih “murni.”
Wentworth menghadapi berbagai tantangan, cuaca buruk, kelaparan, dan serangan dari orang-orang Indian, suku asli Amerika yang kemudian dibantai pada akhir cerita itu.
“Ini adalah kisah di mana drama berakhir dengan tragedi,” ujar Nissenson yang menekankan ketidakkonsistenan antara keyakinan para kolonialis Inggris dengan perlakuan mereka terhadap orang-orang Indian. “Apa yang ingin saya tunjukkan pada akhir cerita dengan pembantaian orang-orang Indian adalah buruknya perang berlatar belakang ras, dan inilah yang mencemari sejarah Amerika dari sejak awal.”
Nissesnson mengatakan pengalaman the Pilgrim terulang berkali-kali dalam sejarah Amerika sewaktu orang pindah ke benua Amerika Utara dan membentuk komunitas di mana mereka bisa memulai hidup baru.
Dalam masa kampanye politik saat ini, buku the Pilgrim mengingatkan rakyat Amerika jenis orang seperti apa yang akan memimpin mereka, di mana masalah keyakinan agama kerap menjadi sorotan, bahkan dalam kampanye pemilihan presiden.
Arti penting agama bagi terbentuknya negara Amerika itu menjadi perhatian utama dalam buku barunya, The Pilgrim, yang mengikuti cerita tentang kelompok Separatis Puritan yang meninggalkan Inggris di tengah pergumulan agama tahun 1622, dan bermukim di wilayah Teluk Massachusetts, koloni Inggeris di Amerika.
“Di Amerika biasanya kelompok-kelompok pendatang mencari apa yang mereka anggap penyelamatan di negeri yang dijanjikan. Ini mereka anggap seperti pengulangan kejadian ketika anak-anak bani Israel berkelana di belantara padang pasir dan menemukan tanah yang dijanjikan, ujar Nissenson dalam wawancara dengan VOA.
“Cerita para penganut Mormon tidak persis sama, tetapi mengikuti alur cerita ketika mereka berkelana di hutan belantara, tiba di Salt Lake, dan merasa ‘ini pasti adalah tempatnya’ dan menemukan apa yang mereka anggap sebagai penyelamatan.”
Sourcebooks Publishers
Nissenson terkenal karena membuat sejarah menjadi seperti hidup dalam karya-karyanya, seperti Tree of Life. Ia juga melakukan hal serupa dalam buku barunya the Pilgrim. Novel itu menokohkan Charles Wenthworth yang bergabung dengan gereja Puritan yang ketat.
Di dalam novel itu Wentworth menceritakan berbagai cobaan yang dialami pada masa mudanya di Inggeris. Setelah terkena cacar air dan berduka karena kematian tunangannya, ia pergi berlayar ke Amerika. Ia bergabung dengan kelompok Separatis Puritan yang memisahkan diri dari Gereja Inggeris dengan harapan bisa mendirikan masyarakat beragama yang lebih “murni.”
Wentworth menghadapi berbagai tantangan, cuaca buruk, kelaparan, dan serangan dari orang-orang Indian, suku asli Amerika yang kemudian dibantai pada akhir cerita itu.
“Ini adalah kisah di mana drama berakhir dengan tragedi,” ujar Nissenson yang menekankan ketidakkonsistenan antara keyakinan para kolonialis Inggris dengan perlakuan mereka terhadap orang-orang Indian. “Apa yang ingin saya tunjukkan pada akhir cerita dengan pembantaian orang-orang Indian adalah buruknya perang berlatar belakang ras, dan inilah yang mencemari sejarah Amerika dari sejak awal.”
Nissesnson mengatakan pengalaman the Pilgrim terulang berkali-kali dalam sejarah Amerika sewaktu orang pindah ke benua Amerika Utara dan membentuk komunitas di mana mereka bisa memulai hidup baru.
Dalam masa kampanye politik saat ini, buku the Pilgrim mengingatkan rakyat Amerika jenis orang seperti apa yang akan memimpin mereka, di mana masalah keyakinan agama kerap menjadi sorotan, bahkan dalam kampanye pemilihan presiden.
0 komentar:
Post a Comment