Lalai menghargai berkah atau pemberian dari Allah, menghabiskan atau menghambur-hamburkan sesuatu adalah bentuk kesia-siaan, bertentangan dengan yang Allah peringatkan dalam A-Qur’ân:
“Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isrâ’, (17):26-27)
Kelalaian atas limpahan berkah yang diberikan Allah menunjukkan kurangnya bersyukur padaNya. Seperti yang ditetapkan dalam Qur’ân, mengingkari syukur adalah sifat setan; oleh karena itu, mereka yang tidak bersyukur pada Allah dengan mengabaikan ketetapanNya, menjadi “saudara iblis” atau pengikut setan.
Sementara keberkahanssemestinyasecara logisdapat meningkatkan rasa bersyukur seseorang kepada Allah, maka menyia-nyiakannya menunjukkan sikap pengingkaran, sebuah sikap yang mungkin akan mencabut rahmat dan berkah Allah pada seseorang di hari akhirat.
Surga adalah tempatnya kemuliaan yang dihiasi oleh nikmat Allah yang sempurna dan tak terbatas. Akan tetapi, tak mungkin bagi seseorang yang tetap tidak peka terhadap limpahan berkah di dunia, dapat–dengan pantas–menghargai berkah Allah di surga dan memujiNya.
Agar layak mendapatkan surga, seseorang pertama-tama harus menghargai apa yang telah Allah berikan padanya ketika masih di dunia.
Meskipun seseorang mungkin menghindari pemborosan yang besar, tetapi ketidakpedulian, penyalahgunaan serta lalai atau salah dalam menjaga perkara-perkara yang kecil, dianggap sebagai bentuk pengingkaran syukur juga.
Seorang mu’min–terutama–harus cermat dalam persoalan-persoalan demikian karena takut menjadi ingkar atau lalai dalam menghormati Allah.
Dalam Al-Qur’ân, Allah menginginkan hamba-hambaNya memperoleh manfaat dari berkahNya menurut cara yang terbaik, sekalipun mereka dapat menghindari kesia-siaan:
“Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang bagus setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS. Al-A`râaf, (7):31)
“Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isrâ’, (17):26-27)
Kelalaian atas limpahan berkah yang diberikan Allah menunjukkan kurangnya bersyukur padaNya. Seperti yang ditetapkan dalam Qur’ân, mengingkari syukur adalah sifat setan; oleh karena itu, mereka yang tidak bersyukur pada Allah dengan mengabaikan ketetapanNya, menjadi “saudara iblis” atau pengikut setan.
Sementara keberkahanssemestinyasecara logisdapat meningkatkan rasa bersyukur seseorang kepada Allah, maka menyia-nyiakannya menunjukkan sikap pengingkaran, sebuah sikap yang mungkin akan mencabut rahmat dan berkah Allah pada seseorang di hari akhirat.
Surga adalah tempatnya kemuliaan yang dihiasi oleh nikmat Allah yang sempurna dan tak terbatas. Akan tetapi, tak mungkin bagi seseorang yang tetap tidak peka terhadap limpahan berkah di dunia, dapat–dengan pantas–menghargai berkah Allah di surga dan memujiNya.
Agar layak mendapatkan surga, seseorang pertama-tama harus menghargai apa yang telah Allah berikan padanya ketika masih di dunia.
Meskipun seseorang mungkin menghindari pemborosan yang besar, tetapi ketidakpedulian, penyalahgunaan serta lalai atau salah dalam menjaga perkara-perkara yang kecil, dianggap sebagai bentuk pengingkaran syukur juga.
Seorang mu’min–terutama–harus cermat dalam persoalan-persoalan demikian karena takut menjadi ingkar atau lalai dalam menghormati Allah.
Dalam Al-Qur’ân, Allah menginginkan hamba-hambaNya memperoleh manfaat dari berkahNya menurut cara yang terbaik, sekalipun mereka dapat menghindari kesia-siaan:
“Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang bagus setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” (QS. Al-A`râaf, (7):31)
0 komentar:
Post a Comment