Ingin Jadi Biarawati, Viviana Espin Malah Masuk Islam
Bagaimana
jadinya jika seorang Katolik ingin mendekat kepada Tuhan dengan
mempelajari Alkitab, namun justru menemukan banyak hal yang tidak masuk
akal di dalamnya? Viviana Espin pernah mengalaminya.
Wajahnya cantik. Ia dilahirkan di Ekuador. Semasa kesil, kesulitan ekonomi yang menghimpit keluarganya membuat sang ayah sering berbuat kasar. Sang ibu yang sayang Espin memasukkannya ke sekolah Katolik. Agar Espin tumbuh menjadi pribadi yang dekat dengan Tuhan, alasannya.
"Itu adalah salah satu sekolah terbaik di kota kami. Ia bisa menyombongkan diri bahwa aku sudah bersekolah kepada teman-temannya," kenang wanita ini.
Di sekolah, Espin dekat dengan guru-gurunya. Kehidupannya terasa nyaman saat itu. Hingga tibalah masa sulit kembali ia alami saat kedua orangtuanya bercerai. Espin yang ketika itu berusia delapan tahun sempat mengalami trauma. Ia kian suka menyendiri berada di tempat yang sepi, agar bisa berbicara dengan alam. Menyendiri ternyata sangat mengasyikkan bagi Espin. Ia pun memulai kebiasaan itu untuk memperoleh kedamaian. “Berbaring di halaman sekolah, menikmati melihat langit dan merasakan angin. Hal ini terasa begitu damai,” ujar Espin.
Selain senang menyendiri, selepas orang tuanya bercerai, Espin juga suka curhat dengan biarawati. Kedekatan dengan biarawati dan asupan kasih sayang mereka membuat Espin ingin mengabdikan diri menjadi biarawati. Ibunya kaget dan marah ketika Espin yang saat itu berusia 12 tahun menyampaikan keinginannya.
"Ibu senang kau dekat dengan Tuhan, tetapi ibu juga ingin kau memberikan ibu cucu-cucu!"
Mendapati penolakan keras dari ibunya, Espin memutuskan mendekat kepada Tuhan dengan jalan berbeda. Espin ingin memperdalam belajar Alkitab. Anehnya, setelah ia membaca halaman demi halaman Alkitab, ia justru merasakan banyak hal yang tidak masuk akal.
"Itu mendorong aku untuk perlu tahu di mana sisanya agar bagian itu menjadi lengkap. Dalam pandanganku semuanya serba tidak jelas dan tak logis,” kata Espin.
Espin merasa ada yang tidak ia temukan dalam Alkitab. Untuk menemukan "bagian yang hilang" itu Espin mempelajari banyak agama dan keyakinan: Yudaisme, Buddhisme, Agnostisisme, Hindu dan Kristen, dan sekte-sekte yang berbeda lainnya.
Semula Espin tak tertarik untuk mempelajari Islam karena persepsi buruk yang telah dibangun oleh media di negaranya. Namun setelah tak puas dengan seluruh ajaran itu, Espin pun mencaritahu tentang Islam. Ternyata apa yang dipersepsikannya selama ini salah. Espin justru menemukan hal yang sama sekali berbeda dalam Islam.
“Islam bisa menjawab pertanyaan tentang ‘berapa banyak Tuhan yang ada’,” kata Espin. Jawaban ‘hanya satu’ kemudian menjawab pertanyaanya tentang Yesus yang ada di Alkitab. Saat itu, ia sadar bahwa Alkitab telah berubah. Ia lantas membaca riwayat hidup Nabi Muhammad SAW.
Ibunya kembali marah. Kali ini kemarahannya bahkan lebih besar, karena Espin yang saat itu berusia 18 tahun mengatakan ingin menjadi muslim. Bibi Espin datang membantu sang ibu dengan membawa buku yang menyerang Islam. Espin sempat ragu-ragu dan mengurungkan niatnya masuk Islam.
Beberapa bulan kemudian, Espin bertemu dengan seorang pria Muslim dari Arab Saudi. “Kami jatuh cinta dan aku meninggalkan rumah untuk menemuinya di Mesir dan menikah dengannya,” kata Espin.
Di Mesir, Espin masih ragu-ragu dengan Islam akibat propaganda buku yang dibacanya. Beruntunglah ia bertemu dengan Raya, seorang wanita yang pengetahuan agamanya luas. Espin menjadi yakin dan hatinya mantap dengan Islam. Pada 30 Agustus 2009, Espin pun bersyahadat dan menjadi muslim. [AN/Rpb]
Wajahnya cantik. Ia dilahirkan di Ekuador. Semasa kesil, kesulitan ekonomi yang menghimpit keluarganya membuat sang ayah sering berbuat kasar. Sang ibu yang sayang Espin memasukkannya ke sekolah Katolik. Agar Espin tumbuh menjadi pribadi yang dekat dengan Tuhan, alasannya.
"Itu adalah salah satu sekolah terbaik di kota kami. Ia bisa menyombongkan diri bahwa aku sudah bersekolah kepada teman-temannya," kenang wanita ini.
Di sekolah, Espin dekat dengan guru-gurunya. Kehidupannya terasa nyaman saat itu. Hingga tibalah masa sulit kembali ia alami saat kedua orangtuanya bercerai. Espin yang ketika itu berusia delapan tahun sempat mengalami trauma. Ia kian suka menyendiri berada di tempat yang sepi, agar bisa berbicara dengan alam. Menyendiri ternyata sangat mengasyikkan bagi Espin. Ia pun memulai kebiasaan itu untuk memperoleh kedamaian. “Berbaring di halaman sekolah, menikmati melihat langit dan merasakan angin. Hal ini terasa begitu damai,” ujar Espin.
Selain senang menyendiri, selepas orang tuanya bercerai, Espin juga suka curhat dengan biarawati. Kedekatan dengan biarawati dan asupan kasih sayang mereka membuat Espin ingin mengabdikan diri menjadi biarawati. Ibunya kaget dan marah ketika Espin yang saat itu berusia 12 tahun menyampaikan keinginannya.
"Ibu senang kau dekat dengan Tuhan, tetapi ibu juga ingin kau memberikan ibu cucu-cucu!"
Mendapati penolakan keras dari ibunya, Espin memutuskan mendekat kepada Tuhan dengan jalan berbeda. Espin ingin memperdalam belajar Alkitab. Anehnya, setelah ia membaca halaman demi halaman Alkitab, ia justru merasakan banyak hal yang tidak masuk akal.
"Itu mendorong aku untuk perlu tahu di mana sisanya agar bagian itu menjadi lengkap. Dalam pandanganku semuanya serba tidak jelas dan tak logis,” kata Espin.
Espin merasa ada yang tidak ia temukan dalam Alkitab. Untuk menemukan "bagian yang hilang" itu Espin mempelajari banyak agama dan keyakinan: Yudaisme, Buddhisme, Agnostisisme, Hindu dan Kristen, dan sekte-sekte yang berbeda lainnya.
Semula Espin tak tertarik untuk mempelajari Islam karena persepsi buruk yang telah dibangun oleh media di negaranya. Namun setelah tak puas dengan seluruh ajaran itu, Espin pun mencaritahu tentang Islam. Ternyata apa yang dipersepsikannya selama ini salah. Espin justru menemukan hal yang sama sekali berbeda dalam Islam.
“Islam bisa menjawab pertanyaan tentang ‘berapa banyak Tuhan yang ada’,” kata Espin. Jawaban ‘hanya satu’ kemudian menjawab pertanyaanya tentang Yesus yang ada di Alkitab. Saat itu, ia sadar bahwa Alkitab telah berubah. Ia lantas membaca riwayat hidup Nabi Muhammad SAW.
Ibunya kembali marah. Kali ini kemarahannya bahkan lebih besar, karena Espin yang saat itu berusia 18 tahun mengatakan ingin menjadi muslim. Bibi Espin datang membantu sang ibu dengan membawa buku yang menyerang Islam. Espin sempat ragu-ragu dan mengurungkan niatnya masuk Islam.
Beberapa bulan kemudian, Espin bertemu dengan seorang pria Muslim dari Arab Saudi. “Kami jatuh cinta dan aku meninggalkan rumah untuk menemuinya di Mesir dan menikah dengannya,” kata Espin.
Di Mesir, Espin masih ragu-ragu dengan Islam akibat propaganda buku yang dibacanya. Beruntunglah ia bertemu dengan Raya, seorang wanita yang pengetahuan agamanya luas. Espin menjadi yakin dan hatinya mantap dengan Islam. Pada 30 Agustus 2009, Espin pun bersyahadat dan menjadi muslim. [AN/Rpb]
0 komentar:
Post a Comment