Pemela Kara: "Anak Angkat yang Mengantar Saya pada Cahaya Islam"
Pamela
Kara, perempuan asal Cleveland, Ohio, AS sudah menjadi seorang muslimah
selama 12 tahun. Kara tidak pernah menyesali pilihannya itu, meski pada
masa awal, ia harus banyak berdebat dengan imam masjid tempat ia
belajar Islam.
"Jika menjadi seorang muslimah adalah satu-satunya hal yang saya lakukan dalam hidup saya, maka itulah hal terbaik yang telah saya lakukan sepanjang hidup saya. Saya sama sekali tidak menyesalinya," ujar Kara mantap.
Kara dibesarkan dalam keluarga penganut agama Kristen Protestan. Namun ia mengaku tipikal orang yang selalu mencari "sesuatu". "Saya tidak tahu pasti apa sebenarnya yang cari. Ketika saya dewasa dan menikah, saya bersiap-siap untuk mengangkat seorang anak dari negara lain, dari negeri muslim," tutur Kara.
Ia menikah dengan seorang lelaki muslim, namun Kara tetap memeluk agama Kristen. Ini ia jalani selama 16 tahun pernikahannya. Namun saat akan mengadopsi seorang anak itulah, Kara mulai tertarik dengan agama Islam. Sebelumnya, ia sama sekali tidak antusias untuk mengetahui segala sesuatu tentang Islam.
"Saya akan menjadi ibu, saya harus mempersiapkan diri, dan berpikir apa yang akan saya ajarkan pada anak angkat saya nanti. Pemikiran inilah yang membuat saya, untuk yang pertama kalinya, tertarik pada Islam," ungkap Kara.
Kara lalu mengikuti semacam kelas belajar agama Islam di sebuah masjid lokal. Ia masih ingat bagaimana pada suatu hari ia beragurmen dengan imam masjid soal agama. Kara merasa tidak yakin dengan apa yang dijelaskan imam tentang agama Islam. Di tengah argumen itu, seorang lelaki di kelas menanyakan apakah Kara punya Al-Quran. Karena ia menjawab tidak punya, lelaki itu memberikannya sebuah Al-Quran.
"Saya membaca surat Al-Fatiha, dan rasanya itu sudah cukup. Ketika membaca surat Fatihah, saya merasa seolah-olah ada suara yang mengatakan 'inilah yang engkau cari. inilah kebenaran itu'," ujar Kara mengingat saat pertama kali membuka Al-Quran.
Ia mengikuti suara itu, Kara yakin Islam-lah kebenaran yang selama ini ia cari. Ia pun mengucapkan dua kalimat syahadat, dan resmi menjadi seorang muslim. Kara belajar salat dan terus mendalami agama Islam. Ia tahu bahwa ia tidak akan mundur lagi ke belakang, tapi harus maju ke depan dengan keislamannya.
"Menjadi seorang muslimah adalah hal terbaik yang pernah saya lakukan sepanjang hidup saya," tukasnya.
Islam banyak mengubah cara hidup Kara. Ia membayangkan jika ia tidak menjadi seorang muslim, tidak memeluk Islam, tidak punya Al-Quran dan tidak mengenal Sunnah.
"Kehidupan berubah dan saya bukan lagi orang yang sama. Menjadi seorang muslim seperti membeli kaca mata baru dan mengenakannya untuk melihat dunia dengan cara yang benar," ujar Kara.
"Karena kehidupan saya sebelum masuk Islam, adalah kehidupan yang membuat saya selalu merasa kebingungan. Dibesarkan sebagai orang Amerika, tanpa memiliki dasar atau budaya tentang kebenaran, membuat Anda bingung. Ada mencari dari satu situasi ke situasi yang lain, tanpa rencana dan tak tahu mau kemana," papar Kara.
Keislaman Kara ternyata tidak begitu mendapat sambutan positif dari keluarga dan teman-temannya. Meski mereka tidak menunjukkan sikap konfrontasi, namun ada sejumlah anggota keluarga yang tidak mau menegur Kara lagi. Apalagi setelah Kara mengenakan jilbab.
"Tapi subhanallah, segala sesuatunya berjalan dengan baik. Seiring berjalannya waktu, jika kita bersabar, orang akan menerima atau setidaknya membiarkan kita menjadi diri kita sendiri dan melaksanakan ajaran agama kita. Setelah beberapa lama, semuanya kembali normal. Orang tua saya sangat baik," tutur Kara.
Sekarang, setelah lebih dari 10 tahun menjadi muslimah, Kara aktif berdakwah. Ia berpendapat, apapun yang ia lakukan saat keluar rumah adalah dakwah. Caranya bersikap pada orang lain, cara berbicara, adalah dakwah.
"Saya tidak pernah merasa dihormati sampai saya menjadi seorang muslimah dan mengenakan jilbab. Pesan saya pada dunia, pada semua orang, belilah Al-Quran dan bacalah isinya, pelajari dan cari tahu tentang apa yang terkandung di dalamnya untuk Anda sendiri. Dengan begitu, mungkin Allah Swt. akan membuka hati Anda dan menunjukkan kebenaran pada Anda. Insya Allah," tandas Kara. (kw/oi)
"Jika menjadi seorang muslimah adalah satu-satunya hal yang saya lakukan dalam hidup saya, maka itulah hal terbaik yang telah saya lakukan sepanjang hidup saya. Saya sama sekali tidak menyesalinya," ujar Kara mantap.
Kara dibesarkan dalam keluarga penganut agama Kristen Protestan. Namun ia mengaku tipikal orang yang selalu mencari "sesuatu". "Saya tidak tahu pasti apa sebenarnya yang cari. Ketika saya dewasa dan menikah, saya bersiap-siap untuk mengangkat seorang anak dari negara lain, dari negeri muslim," tutur Kara.
Ia menikah dengan seorang lelaki muslim, namun Kara tetap memeluk agama Kristen. Ini ia jalani selama 16 tahun pernikahannya. Namun saat akan mengadopsi seorang anak itulah, Kara mulai tertarik dengan agama Islam. Sebelumnya, ia sama sekali tidak antusias untuk mengetahui segala sesuatu tentang Islam.
"Saya akan menjadi ibu, saya harus mempersiapkan diri, dan berpikir apa yang akan saya ajarkan pada anak angkat saya nanti. Pemikiran inilah yang membuat saya, untuk yang pertama kalinya, tertarik pada Islam," ungkap Kara.
Kara lalu mengikuti semacam kelas belajar agama Islam di sebuah masjid lokal. Ia masih ingat bagaimana pada suatu hari ia beragurmen dengan imam masjid soal agama. Kara merasa tidak yakin dengan apa yang dijelaskan imam tentang agama Islam. Di tengah argumen itu, seorang lelaki di kelas menanyakan apakah Kara punya Al-Quran. Karena ia menjawab tidak punya, lelaki itu memberikannya sebuah Al-Quran.
"Saya membaca surat Al-Fatiha, dan rasanya itu sudah cukup. Ketika membaca surat Fatihah, saya merasa seolah-olah ada suara yang mengatakan 'inilah yang engkau cari. inilah kebenaran itu'," ujar Kara mengingat saat pertama kali membuka Al-Quran.
Ia mengikuti suara itu, Kara yakin Islam-lah kebenaran yang selama ini ia cari. Ia pun mengucapkan dua kalimat syahadat, dan resmi menjadi seorang muslim. Kara belajar salat dan terus mendalami agama Islam. Ia tahu bahwa ia tidak akan mundur lagi ke belakang, tapi harus maju ke depan dengan keislamannya.
"Menjadi seorang muslimah adalah hal terbaik yang pernah saya lakukan sepanjang hidup saya," tukasnya.
Islam banyak mengubah cara hidup Kara. Ia membayangkan jika ia tidak menjadi seorang muslim, tidak memeluk Islam, tidak punya Al-Quran dan tidak mengenal Sunnah.
"Kehidupan berubah dan saya bukan lagi orang yang sama. Menjadi seorang muslim seperti membeli kaca mata baru dan mengenakannya untuk melihat dunia dengan cara yang benar," ujar Kara.
"Karena kehidupan saya sebelum masuk Islam, adalah kehidupan yang membuat saya selalu merasa kebingungan. Dibesarkan sebagai orang Amerika, tanpa memiliki dasar atau budaya tentang kebenaran, membuat Anda bingung. Ada mencari dari satu situasi ke situasi yang lain, tanpa rencana dan tak tahu mau kemana," papar Kara.
Keislaman Kara ternyata tidak begitu mendapat sambutan positif dari keluarga dan teman-temannya. Meski mereka tidak menunjukkan sikap konfrontasi, namun ada sejumlah anggota keluarga yang tidak mau menegur Kara lagi. Apalagi setelah Kara mengenakan jilbab.
"Tapi subhanallah, segala sesuatunya berjalan dengan baik. Seiring berjalannya waktu, jika kita bersabar, orang akan menerima atau setidaknya membiarkan kita menjadi diri kita sendiri dan melaksanakan ajaran agama kita. Setelah beberapa lama, semuanya kembali normal. Orang tua saya sangat baik," tutur Kara.
Sekarang, setelah lebih dari 10 tahun menjadi muslimah, Kara aktif berdakwah. Ia berpendapat, apapun yang ia lakukan saat keluar rumah adalah dakwah. Caranya bersikap pada orang lain, cara berbicara, adalah dakwah.
"Saya tidak pernah merasa dihormati sampai saya menjadi seorang muslimah dan mengenakan jilbab. Pesan saya pada dunia, pada semua orang, belilah Al-Quran dan bacalah isinya, pelajari dan cari tahu tentang apa yang terkandung di dalamnya untuk Anda sendiri. Dengan begitu, mungkin Allah Swt. akan membuka hati Anda dan menunjukkan kebenaran pada Anda. Insya Allah," tandas Kara. (kw/oi)
0 komentar:
Post a Comment