Tukang Becak Menunaikan Ibadah Haji Ke Mekkah
Kebahagiaan terpancar dari wajah lelaki berusia 62 tahun ini. Tak pernah disangka ia benar-benar diberi jalan untuk bertandang ke tanah suci, menunaikan rukun islam kelima.
Jika Syafawi adalah pengusaha, meski hanya pengusaha kerupuk atau tempe, tentu keinginannya berangkat naik haji musim haji tahun ini bukan sesuatu yang langka. Namun Syafawi adalah seorang pengayuh becak barang di Pelantar Satu, Tanjungpinang. Puluhan ini sudah dijalaninya puluhan tahun.
Sebelumnya, perantau asal Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur ini juga bukan pelaku bisnis yang bisa menyimpan hasil usahanya sebagai bagian dari keinginannya menabung untuk naik haji. Saat masih muda, ia hanyalah pekerja bangunan. Bukan mandor, melainkan kuli bangunan yang siap bekerja di tengah panas atau malam hari jika harus lembur.
Bapak dua anak yang tinggal di Kampung Melati, Batu 2, Tanjungpinang ini tak dapat menahan rasa bahagia ketika beberapa waktu lalu menyerahkan tabungan yang dikumpulkannya sedikit demi sedikit sebagai setoran Ongkos Naik Haji atau ONH. Puluhan juta itu diserahkannya sekaligus berniat bisa berangkat ke tanah suci. Padahal, dengan uang itu bisa saja Syafawi membeli banyak becak lalu menyewakannya kepada orang lain. Sebagai pengayuh becak tentu ia tahu bisnis ini masih menguntungkan. Atau bisa saja dibelikan lapak di pasar dan menjual berbagai kebutuhan untuk mendongkrak perekonomiannya.
Syafawi sadar, profesinya sebagai pengayuh becak barang menimbulkan pertanyaan atau bahkan ungkapan sinis saat ia mengutarakan niatnya. Namun Syafawi yakin, apa yang dilakukannya bukan atas dorongan siapa – siapa.
“Saya dipanggil Allah, bukan camat, lurah atau bupati. Kalau Dia yang sudah memanggil, Insya Allah muncul keyakinan dan kekuatan untuk melakukan apa yang kita yakini benar,” tutur Syafawi sambil bersantai di atas becak barangnya, tiga hari silam, di Pelantar Satu.
Kehidupan lelaki ini rasanya cukup pantas dijadikan patokan. Saat bekerja, ia memperlakukan diri sebagai pekerja yang patuh terhadap aturan. Ia harus bekerja keras, tak boleh mengeluh dan merasa berat dengan pekerjaannya itu. Saat mengayuh pedal becak barang, sudah pasti terasa berat. Namun saat ia mengayuhnya dengan riang hati dan selalu bersyukur atas rezekinya, ia merasakan beban yang didorongnya biasa saja. Demikian juga saat ia harus berkomunikasi dengan pencipta, ia harus meninggalkan sejenak pangkalan becak kayuhnya dan menuju masjid, surau atau pulang ke rumah untuk bersembahyang.
Saat bulan puasa, Syafawi juga berniat ingin tetap melaksanakan ibadah ini meski haus menderanya saat mengantarkan barang para pelanggan. Berbagai pendapat sampai ke telinganya. Ada yang membuatnya terharu, seperti saat menyerahkan tabungannya ke bank dan mengatakan ingin naik haji. Oleh pegawai bank, Syafawi dinasehati bahwa apa yang terjadi di hatinya tak terjadi pada semua manusia. Apalagi ia bukanlah warga yang dengan mudah bisa mendapatkan uang. Saat manasik haji, ia juga menitikkan air mata karena menyukuri nikmat Allah yang diberikan kepadanya.
Bagi yang menyindir atau mencibir, Syafawi tidak sakit hati. Ia memang merasa siap naik haji. Berkat kerja kerasnya, ia bisa membuatkan kedai di rumah yang dijaga istrinya. Semangatnya juga membuahkan hasil lain, saat ini ia memiliki tiga rumah. Dua disewakan sedangkan satu dipakai sendiri bersama keluarganya.
“Saya hanya bersyukur atas apa yang diberikan Allah. Jika yang sedikit itu kita syukuri, niscaya Allah akan memberikan lebih banyak. Itu janji Allah, dan saya selalu percaya itu,” katanya.
sumber
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=11101772
0 komentar:
Post a Comment